Pada 12 Mei 2024, tim kami yang terdiri dari lima orang (Ezmieralda Melissa, Vivien Sylvina, Mungky Diana Sari, Fitrie Handayani, dan Ferane Aristrivani Sofian) bertolak ke Lombok yang berada di propinsi Nusa Tenggara Barat. Rencananya kami memang hendak bertemu dengan para perempuan yang dibina oleh Sekolah Perempuan di Lombok Timur. Tujuan kedatangan kami adalah melakukan kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) sekaligus melakukan penelitian mengenai perempuan di wilayah tersebut. Dalam kegiatan ini kami bermitra dengan Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra (LPSDM), sebuah institusi pengembangan masyarakat lokal yang juga merupakan inisiator dari berdirinya Sekolah Perempuan di Lombok.

Salah satu kegiatan utama yang kami lakukan adalah melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan 15 perwakilan dari berbagai Sekolah Perempuan yang berada di 13 desa yang berbeda. 15 perempuan yang mengikuti FGD ini adalah mereka yang dianggap sebagai leaders di Sekolah Perempuan desanya masing-masing. FGD yang kami lakukan merupakan bagian dari desain penelitian Participatory Action Research dimana kami mencoba menggali tantangan yang dihadapi oleh perempuan-perempuan di Lombok sekaligus mencoba untuk mendampingi mereka untuk mengenali capacity building program apa yang mereka butuhkan untuk mengatasi tantangan-tantangan itu.

Dari diskusi yang kami lakukan dengan para perempuan ini, ada satu benang merah yang dapat dilihat, yaitu bahwa sebagian besar dari mereka pernah mengalami kekerasan, terutama Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menurut Komnas Perempuan merupakan kekerasan berbasis gender yang terjadi dalam ranah personal. Kekerasan ini terjadi dalam hubungan ranah personal, dimana biasanya pelaku merupakan kerabat atau orang dekat dengan korban, bisa suami, ayah, paman atau kakek. Di Lombok Timur, dimana tingkat pendidikan yang didapat oleh kaum perempuan masih rendah, kekerasan banyak terjadi. Akar permasalahan dari kekerasan tersebut salah satunya adalah perkawinan anak yang masih terjadi di Lombok, khususnya wilayah dengan tingkat ekonomi rendah seperti Lombok Timur.

Propinsi NTB adalah salah satu propinsi di Indonesia dengan tingkat perkawinan anak tertinggi. Salah satu penyebabnya adalah budaya yang mengakar dari Suku Sasak, yang merupakan suku mayoritas dari penduduk di Lombok. Bagi orang Sasak, apabila seorang anak gadis keluar rumah, tidak pulang hingga larut, dan diketahui pergi dengan lawan jenis, maka harus dinikahkan. Karena bagi keluarga pihak perempuan, anak gadis yang menginap di luar rumah dinilai sudah menjadi aib bagi keluarga, sehingga harus dinikahkan dengan pihak laki-laki yang menjadi temannya pergi.

Perkawinan anak yang terjadi tersebut juga merupakan bentuk kekerasan terhadap anak, khususnya anak perempuan. Karena dengan adanya perkawinan anak tersebut, seorang anak perempuan tidak lagi bisa bersekolah lantaran harus menjadi ibu rumah tangga di usia dini. Oleh sebab itu, Sekolah Perempuan yang sudah diinisiasi oleh LPSDM sejak tahun 2014 ini menjadi sebuah kemajuan bagi perlindungan, pemberdayaan dan pendidikan para perempuan di Lombok Timur. Para peserta FGD bercerita dimana sebelum mengikuti Sekolah Perempuan ini, mereka tidak berani sama sekali untuk berbicara kepada orang lain mengenai apa yang mereka alami. Karena budaya yang menempatkan perempuan di posisi marjinal itulah, kemudian mempengaruhi cara pandang para perempuan di Lombok ini. Inilah yang menjadi akar dari kegiatan dan penelitian kami di Lombok Timur sebagai bentuk penguatan kepada perempuan, yang merupakan tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs) khususnya poin tiga dan lima.