Fakultas Humaniora BINUS University bekerja sama dengan DAAI TV dalam rangka acara workshop yang bertemakan “Exploring Media: Navigating The World of Journalism and News Reporting” di auditorium kampus BINUS Anggrek. Tentunya, kesempatan ini tidak dilewatkan oleh mahasiswa/i dari jurusan sastra china dan mass communication karena DAAI TV merupakan pioneer jurnalistik humanis yang menayangkan konten-konten mengandung pesan positif dan kebaikan sesuai dengan tagline “Televisi Cinta Kasih. Ditambah DAAI TV mempunyai program berbahasa mandarin, yakni DAAI Mandarin.

Acara ini dibuka dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Dr. Jureynolds selaku Head of Chinese Literature Department BINUS University dan Paulus sebagai perwakilan dari DAAI TV. Hal ini merupakan bentuk dimulainya kerja sama untuk kedepannya.

Dilanjutkan dengan menonton dokumenter hasil produksi DAAI TV yang berjudul Nyala Toleransi Bagansiapiapi. Menceritakan tentang kota Bagansiapiapi di provinsi Riau yang bermayoritaskan etnis Tionghoa, tetapi tetap memegang toleransi dan keberagaman yang kuat.

Muliadi Senjaya sebagai narasumber pertama menjelaskan proses pembuatan film dokumenter Nyala Toleransi Bagansiapiapi. Pertama, Muliadi menjelaskan dua definisi dari film dokumenter. Dikutip dari John Grierson “Dokumenter adalah perlakuan kreatif terhadap aktualitas.” Sementara, menurut Timothy Corrigan dokumenter adalah “Sebuah film nonfiksi tentang peristiwa dan orang nyata, sering kali menghindari struktur naratif tradisional.” Lalu, Muliadi mengambil kesimpulan bahwa dokumenter Nyala Toleransi Bagansiapiapi menceritakan keberagaman dan toleransi yang benar-benar terjadi di dalam masyarakat dengan orang-orang yang nyata.

Dio Mairizki sebagai Director of Photography DAAI TV yang bertanggung jawab dalam visual dokumenter menjelaskan bahwa ada dua tahapan dalam pengambilan gambar yakni pre-production dan production.

  • Pre-production yakni merencanakan scene-scene apa saja yang harus diambil ketika di lokasi syuting.
  • Production menjalankan rencana visualnya, tetapi bisa berubah karena ada tambahan informasi dari narasumber di dokumenter. Misalkan, narasumber menyebutkan ada toko roti, maka penata gambar harus mengambil visualnya karena dalam dokumenter, cerita harus melengkapi visual.

Begitu juga, pengambilannya harus sesuai dengan momen seperti dokumenter Nyala Toleransi Bagansiapiapi diproduksi menjelang Imlek karena ditayangkan pada perayaan Imlek. Jadi, dalam membuat film dokumenter kita harus juga memikirkan visual yang sesuai dengan narasi dan momen.

Dokumenter Nyala Toleransi Bagansiapiapi tidak hanya menceritakan etnis Tionghoa, tetapi juga sebagai bahan refleksi bagi masyarakat mengenai toleransi di Indonesia. Candra Jap, sekjen Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) sebagai narasumber ketiga sekjen mengatakan bahwa 26 tahun yang lalu telah terjadi Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta yang menargetkan etnis Tionghoa. Sebagai orang Tionghoa, Candra tidak mengerti mengapa tidak ada perlindungan sehingga selalu menjadi korban. Apalagi, Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa Indonesia mengajarkan bahwa berbeda-beda latar belakang tapi tetap satu. Maka dari itu, INTI dibentuk untuk memperjuang kesetaraan dan keadilan bagi warga Tionghoa.

Pada masa orde baru, masyarakat Tionghoa dilarang menyelenggarakan perayaan besar seperti Tahun Baru Imlek dan mempertunjukkan tarian barongsai secara terbuka karena dianggap pengaruh yang buruk bagi masyarakat Indonesia. Kini, sudah diberikan kebebasan untuk memperingati bahkan menjadikan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional berkat Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus dur. Dengan dokumenter Nyala Toleransi Bagansiapi-api, diharapkan menjadi renungan bagi kita semua terutama warga Tionghoa betapa jauh sudah perkembangan toleransi Indonesia