Beauty standard atau standar kecantikan menjadi acuan masyarakat untuk menilai penampilan orang lain. Standar kecantikan yang selama ini beredar adalah berkulit terang, memiliki rambut yang lurus, kurus, tinggi, dan sebagainya. Sebenarnya, sudah banyak perempuan yang melakukan tindakan nyata untuk membantu perempuan lain agar memiliki pemikiran bahwa cantik itu tidak harus berkulit terang, bertubuh kurus, pintar berdandan, pintar memilih baju, dan lain-lain. Namun, pada kenyataannya, standar kecantikan yang beredar di masyarakat telah membuat sebagian perempuan kehilangan kepercayaan diri mereka. Jika perempuan tidak dapat memenuhi standar kecantikan ini, mereka akan merasa malu akan tubuh mereka. Body shaming adalah bentuk komentar negatif tentang tubuh perempuan. Body shaming tidak terlepas dari budaya patriarki yang memandang perempuan sebagai inferior. Selain budaya patriarki, media juga berperan dalam membentuk standar tubuh ideal perempuan, yang membuat mereka rentan terhadap body shaming.

 

Menurut pepatah Yunani, “kecantikan ada di mata yang melihatnya”. Namun nyatanya, standar kecantikan masa kini dianggap sama dan universal, yakni memiliki wajah kecil, pipi tirus, hidung kecil, bibir tebal, tubuh tanpa selulit atau bekas-bekas luka lain yang “menodai” kulit, bentuk tubuh seperti jam pasir dengan dada dan pinggul berisi, tetapi dengan perut rata, kulit wajah bersih, bersinar, dan tanpa noda sedikit pun. Perempuan dianggap cantik apabila tidak ada tanda-tanda bahwa ia telah melakukan berbagai prosedur untuk mencapai standar kecantikan tersebut walau sebenarnya mereka telah melakukan berbagai prosedur. Seakan-akan perempuan harus tampak cantik yang effortless atau tanpa usaha. Masyarakat juga berekspektasi bahwa perempuan tidak boleh menunjukkan tanda-tanda penuaan sama sekali. Di Asia, perempuan cantik adalah perempuan yang berkulit terang, tetapi di belahan bumi bagian barat, perempuan lebih menarik jika ia berkulit gelap. Masyarakat Indonesia cenderung satu suara dalam standar kecantikan, yaitu berkulit terang, berambut lurus, dan bertubuh kurus.

 

Standar kecantikan universal yang sudah disebutkan di atas mulanya berakar dari rasisme, klasisme, dan colourism yang disebarkan melalui kolonialisasi bangsa Eropa terhadap bangsa lain, terutama negara-negara Asia dan Afrika. Ada anggapan bahwa orang-orang Eropa berkulit terang dan menganggap rendah orang-orang yang berkulit lebih gelap dari mereka karena orang yang berkulit lebih gelap kemungkinan besar adalah masyarakat tanah jajahan yang inferior.

 

Perempuan masih berada di dalam budaya yang seksis dan melestarikan narasi cantik yang ideal. Perempuan punya peran dalam melanggengkan patriarki dan menjadikan perempuan sebagai subordinat. Perempuan sedikit banyak menginternalisasi narasi bahwa perempuan itu harus cantik. Pada akhirnya, perempuan akan merasa puas jika mereka mencapai standar kecantikan yang ada. Perempuan akan senang jika terlihat cantik.

 

Namun, yang harus ditekankan adalah perempuan harus sadar akan apa yang dilakukan oleh sistem patriarki terhadap mereka. Perempuan harus membuat konsep cantik supaya lebih beragam dan inklusif, serta merangkul perempuan lain yang merepresentasikan masyarakat tempat mereka berada. Media adalah salah satu entitas yang berkontribusi dalam melestarikan standar kecantikan dan objektifikasi terhadap perempuan. Eksistensi standar kecantikan ini membawa dampak negatif tak hanya di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya, terutama di media sosial. Beberapa dampak buruk yang ada adalah cyberbullying dan kekerasan berbasis gender online atau KBGO.

 

Media memainkan peran krusial dalam pembentukan dan pelanggengan standar kecantikan yang ada di masyarakat. Salah satu bentuk pelanggengan tersebut adalah thin ideal internalization, yaitu bentuk internalisasi standar kecantikan pada tubuh dengan memiliki tubuh yang kurus. Contoh nyata dari thin ideal internalization yang terjadi adalah cyberbullying yang dialami oleh Jeongyeon TWICE dan bentuk tubuh ideal yang ditampilkan anggota Keluarga Kardashians di media pada acara televisi Keeping Up with the Kardashians dan kasus yang terjadi pada Prilly Latuconsina.