Negara multikultural yang masih kental colorisme, itulah Indonesia

Indonesia, tanah yang penuh keragaman dan orang-orang dari berbagai latar belakang berbeda. Dari suku, ras, budaya, hingga warna kulit. Namun, sayang, dengan beragam warna kulit yang ada, sebagian besar orang masih keukeuh kepada pilihannya untuk lebih menyukai warna kulit yang lebih terang. Hal ini disebut sebagai “Colorisme”, memuja warna kulit yang lebih terang di atas segalanya.

Seperti yang mungkin diketahui, colorisme bukanlah tentang warna seperti pelangi, tetapi tentang warna seperti warna kulit. Kamus Merriam-Webster (t.t.) mendefinisikan, “Colorisme adalah prasangka atau diskriminasi terutama dalam kelompok ras atau etnis yang menyukai orang dengan kulit lebih terang daripada mereka yang berkulit lebih gelap”. Singkatnya, lebih memilih kulit yang lebih terang daripada kulit yang lebih gelap. Colorisme terjadi di mana-mana di seluruh dunia, termasuk Benua Asia. Salah satunya, Indonesia, fokus pada saat ini.

 

Terjadinya Colorisme di Indonesia

Sejarah dibalik colorisme di Indonesia berawal dari dongeng “Ramayana” yang menggambarkan karakter berkulit terang berkonotasi positif dan karakter berkulit gelap berkonotasi negatif. Selain itu, kolonisasi juga berperan dalam keberadaan colorisme di Indonesia. Di mana keduanya, Belanda dan Jepang membawa konsep keputihan mereka sendiri, yang sama-sama lebih menyukai warna kulit yang lebih terang ke Indonesia. Serta, ketika pengaruh Barat melanda Indonesia, salah satu dampaknya adalah membawa standar kecantikan eurosentris ke sini yang sangat kontras dengan fitur Asia Tenggara. Sejak saat itu, konsep kulit lebih terang lebih baik, tertanam dalam pikiran masyarakat Indonesia dan diteruskan kepada keturunannya.

Pertanyaan dari orang terdekat seperti, “Mengapa kulit Anda jadi lebih gelap?” dengan ketidaksukaan di wajah mereka, atau orang merekomendasikan barang untuk mencerahkan kulit, atau orang tua yang menyuruh anaknya untuk berdiri di bawah naungan demi mencegah kulitnya dari menjadi gelap. Berbagai situasi tersebut tidaklah jarang dialami. Bahkan, setiap orang kemungkinan besar pernah mengalami colorisme di beberapa titik dalam hidup mereka, mengingat bagaimana colorisme begitu diinternalisasi dan diterima di Indonesia. Bahwa, berprasangka terhadap warna kulit yang lebih gelap adalah hal yang normal, padahal seharusnya tidak demikian.

Media pun berperan besar dalam hal itu, dengan mengomunikasikan kepada masyarakat bahwa kulit lebih terang, lebih unggul. Misalnya, lewat menampilkan iklan pemutih kulit dan hanya menampilkan model berkulit terang terutama untuk produk kecantikan dan perawatan kulit. Society mendesak orang-orang Indonesia untuk percaya bahwa kulit yang lebih gelap berposisi lebih rendah dibandingkan kulit yang lebih terang. Serta, dengan memiliki warna kulit yang lebih terang, secara otomatis seseorang memiliki privilege.

Akibatnya, orang berkulit gelap mengembangkan masalah kepercayaan diri, serta orang-orang mendiskriminasi dan memandang rendah mereka yang berkulit gelap. Colorisme sangatlah merusak, hingga banyak orang berkulit gelap akan melakukan apa saja untuk memiliki kulit yang lebih terang dan mengubah warna kulit mereka dengan menggunakan produk pemutih kulit. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fadhila et al. (2020), sebanyak 89 responden (67,4%) menjawab alasan penggunaan produk pemutih dan pencerah adalah untuk mencerahkan kulit. Di samping itu, bahkan, ada juga yang sampai melakukan prosedur pemutih kulit seperti suntik putih. Padahal, terdapat beberapa dampak atau efek samping bagi kesehatan dari perawatan suntik putih vitamin C seperti memicu masalah pencernaan, beserta mengganggu kinerja hati dan ginjal (Makarim, 2022).

 

Bagaimana Cara Menghentikan Colorisme di Indonesia?

Pertanyaan tersebut barangkali muncul dalam benak seseorang dan jawabannya adalah seperti pernyataan ini, “Communication is key” atau “Komunikasi adalah kunci”. Yaitu, dengan berkomunikasi, colorisme di Indonesia dapat berakhir. Pengaruhi orang lain dan sebarkan awareness terutama di media. Edukasi mereka tentang colorisme, tentang kesalahan memiliki prasangka, serta bagaimana dampak buruk yang dihasilkan dari kata-kata negatif yang dihubungkan dengan warna kulit yang lebih gelap dan kata-kata positif yang dihubungkan dengan warna kulit yang lebih terang.

Mungkin sulit untuk sepenuhnya menghapus colorisme karena seberapa terinternalisasinya colorisme dalam diri masyarakat, namun ingat untuk tidak pernah meremehkan kekuatan suara. Bicaralah dan komunikasikan bahwa baik warna kulit yang lebih gelap, maupun yang lebih terang itu indah, serta sampaikan ke publik untuk berhenti mengagungkan warna kulit yang lebih terang. Buka suara dan beri tahu kepada orang banyak akan pentingnya mengangkat isu colorisme dan menghentikan siklus normalisasi colorisme. Dengan itu, suara yang terkumpul dapat perlahan merubah pemikiran masyarakat Indonesia terhadap warna kulit menuju lebih baik. Di mana tidak ada lagi, “Warna kulit lebih terang > Warna kulit lebih gelap” tetapi, “Warna kulit lebih terang = Warna kulit lebih gelap”.

 

Tidak bisa dipungkiri, colorisme begitu lazim di Indonesia. Padahal, colorisme telah membawa banyak dampak negatif bagi masyarakat Indonesia. Sebagai generasi penerus, sudah saatnya mengakhiri kelaziman tersebut dan ingat bahwa, “Just because some people have more melanin to them, doesn’t mean that they are worth less” atau “Hanya karena beberapa orang memiliki lebih banyak melanin,

bukan berarti mereka berharga lebih rendah”. Oleh karena itu, mari bersama-sama berupaya menghentikan colorisme di Indonesia, menebarkan pemahaman akan indahnya seluruh warna kulit yang ada, serta yang paling penting adalah mendorong masyarakat untuk mulai belajar mencintai warna kulit yang dimiliki dengan sepenuh hati.

 

References:

Devi, G. S. (2020, Juli 8). Ketika warna kulit bikin hidup sulit | Beropini eps. 59 [Video]. YouTube. https://youtu.be/QuHWnC6xBg8

Ikhsanty, A. (2020, Desember 28). Bagaimana colorism menjadi bentuk standarisasi di tengah masyarakat Indonesia. Kumparan. https://kumparan.com/alifya-heryana/bagaimana-colorism-menjadi-bentuk-standarisasi-di-tengah-masyarakat-indonesia-1urbEW0fYQC/full

Merriam-Webster. (t.t.). Colorism. Dalam kamus Merriam-Webster.com. https://www.merriam-webster.com/dictionary/colorism

Muhibati, N. (2021, Februari 25). Colorism is real and it must stop. Magdalene. https://magdalene.co/story/colorism-is-real-and-it-must-stop

Fadhila, K. R., Ningrum, D. R., Rahmawati, A. F., Azzahrya, A. B., Muntari, D. F. A., Agustin, R. A., … & Nita, Y. (2020). Pengetahuan dan Penggunaan Produk Pemutih dan Pencerah Di Kecamatan Sukolilo Surabaya. Jurnal Farmasi Komunitas, 7(2), 56.

Makarim, F. R. (2022, Agustus 22). Ketahui 4 efek samping suntik putih dengan vitamin C. Halodoc. https://www.halodoc.com/artikel/ketahui-4-efek-samping-suntik-putih-dengan-vitamin-c