Kita pasti sudah pernah mendengar kata-kata “narsis” dalam hidup kita sebelumnya. Mungkin biasanya kata tersebut sering digunakan untuk mendeskripsikan orang yang hobi untuk berfoto dan menerima pujaan. Tapi apakah Anda mengetahui sebutan “narsis” dalam konteks negatif yang dapat merugikan orang lain? Narsistik merupakan sebuah gangguan kepribadian atau kondisi mental yang membuat pengidapnya merasa bahwa dirinya adalah orang yang sangat penting dan harus mendapatkan atensi setiap saat, namun orang Narsistik biasanya kurang berempati dengan orang lain. Narsistik dapat terjadi kepada siapa pun, pasangan kita, orang tua kita, maupun kita sendiri. Menurut Kristina Hallett, PhD, ABPP, seorang profesor psikologi, sarjana dan direktur pelatihan klinis di Bay Path University di Connecticut, kondisi Narsistik ini biasanya bermula pada saat memasuki umur remaja yaitu 18 tahun ke atas. Orang Narsistik biasanya tidak ragu untuk memanfaatkan orang lain untuk keinginannya dan sangat percaya diri. Namun pada kenyataannya, mereka merasa sangat rapuh saat menerima kritik dan tidak mendapatkan atensi yang diharapkan.
Lalu, bagaimana jika keadaan tersebut terjadi kepada orang tua? Apakah hal tersebut akan memengaruhi anaknya dalam skala yang besar? Dalam kesempatan kali ini, mari kita membahas secara singkat mengenai dampak perilaku Narsistik orang tua terhadap perkembangan anak.

Gambarannya, orang tua dengan kepribadian Narsistik menganggap dirinya terlalu tinggi. Dalam konteks ini, bukan harga diri atau kepercayaan diri yang tinggi, melainkan pengabaiannya terhadap orang lain demi diri sendiri yang tinggi. Pola asuh Narsistik berdampak besar pada anak-anak. Sang anak dapat merasakan trauma emosional dan dampak psikologisnya ini dapat terbawa sampai mereka beranjak dewasa. Menurut Määttä, et al., (2020), masa kanak-kanak merupakan fase kehidupan yang paling penting dalam kaitannya dengan pertumbuhan sosial, psikologis, dan emosional. Efek tersebut akan sangat terlihat dari tipe pola asuh orang tua dengan kondisi Narsistik tersebut. Karakteristik dan Pola Asuh Orang Tua Narsistik Orang tua dengan sifat Narsistik kerap melupalan kebutuhan emosional anaknya, bahkan menyiksa anaknya secara emosional. Menurut Brown (1998,2001, 2006), berikut ini adalah karakteristik pola asuh dari orang tua yang memiliki Destructive

Narcisstic Pattern: Mereka biasanya memiliki ekspektasi yang amat tinggi dan tidak rasional. Mereka menganggap dirinya sebagai sosok superhuman yang harus selalu menang dan mengetahui
apa yang terbaik bagi semua orang. Orang tua dengan sifat Narsistik juga kerap memiliki persepsi yang menyimpang cara kerja hubungan emosional. Mereka kurang dalam merasakan empati kepada orang lain, namun memiliki ekspektasi bahwa semua orang harus memahami dan berempati kepadanya. Hal tersebut menyebabkan orang tersebut kerap mengharapkan semua orang untuk senantiasa mementingkan kebutuhan dan kemauan mereka. Dan sering juga menyalahkan orang lain bila ada sesuatu yang berjalan di luar ekspektasi mereka.
Lalu, mereka memberikan perintah dan berharap untuk segera dikerjakan, sering juga mereka ingin orang lain membaca pikirannya mengenai apa saja yang mereka butuhkan. Orang tua dengan sifat Narsistik juga kerap menanyakan pertanyaan pribadi yang mengganggu dan memberi perintah apa yang bisa dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan, namun mereka tidak menghormati privasi dan batasan anaknya. Selain itu, orang tua Narsistik kerap mencari simpati dengan terus-menerus menarasikan bagaimana mereka dirampas, ditinggalkan, dan dikucilkan, walaupun terkadang tidak ada bukti yang mendukung timbulnya perspektif tersebut. Dapat dilihat juga bahwa mereka kerap mencari perhatian melakukan gestur berlebihan, seperti berbicara terlalu keras atau
berbicara terlalu banyak. Selain mencari perhatian, sering juga mereka mencari kekaguman yang dimana mereka terus mencari pengakuan publik dengan membual mengenai prestasi,
penghargaan, atau pengakuan lainnya.

Karakteristik lain dari orang tua Narsistik adalah kurangnya mengekspresikan perasaan, sering menghina orang lain untuk membuat dirinya terlihat lebih baik, serta arogan. Mereka memiliki miskonsepsi terhadap hubungan yang dimana mereka beranggapan bahwa hubungan emosional hanya diperlukan jika mendapat keuntungan. Oleh sebab itu, mereka kesulitan memiliki koneksi emosional dengan orang lain dan menjadi sangat gelisah saat ditinggalkan sendirian. Selain itu, pola asuh orang tua Narsistik yang berdampak besar terhadap pertumbuhan anak adalah pengasuhan terbalik. Perngasuhan terbalik adalah saat dimana anak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan orang tuanya, terbalik dengan aturan yang biasanya terjadi. Salah satu pertanda dari sikap ini adalah dengan seringnya muncul perkataan seperti “Kalau kamu sayang aku kamu akan…”, “Apakah kamu tidak mau membuatku sayang padamu?”, “Apakah kamu tidak bisa melakukan apa yang aku inginkan?”, dan masih banyak lagi. Anak dengan orang tua Narsistik akan dididik untuk memenuhi ekspektasi dan keinginan orang tuanya. Sering juga orang tua tersebut tidak membolehkan anaknya lebih sukses, namun tetap harus tidak boleh mempermalukan orang tuanya.

Orang tua dengan kepribadian Narsistik juga tidak bisa toleransi dengan fakta bahwa anaknya memiliki kepercayaan, kebutuhan, dan merupakan individual terpisah karena dianggap sebagai seseorang yang ‘menyambung’ dari dia, atau milik dia. Dengan itu, orang tua tersebut tidak bisa menerima perbedaan pendapat ataupun kritik. Efeknya Terhadap Anak Anak dari orang tua Narsistik sering kali harus mengikuti agenda orang tuanya, sehingga muncul dampak pada perkembangan emosionalnya yang mengganggu kehidupannya dan cara mereka berhubungan dengan orang lain. Salah satunya adalah kerentanan emosional. Bagi anak tersebut, menyuarakan perasaan atau pikiran dapat menyebabkan masalah dengan orang tua yang mungkin berakhir menjadi kemarahan, air mata, atau hukuman. Melalui ini, anak belajar bahwa perasaan dan pikirannya tidak penting, tidak valid, dan tidak penting, dan sering kali akan menahan perasaannya sendiri untuk menjaga kedamaian. Narsisis tidak selalu kejam. Mereka sangat sering bersikap baik. Tetapi kebaikan ini hampir selalu datang dengan syarat. Hal itu akan membuat anak merasa bahwa kebaikan orang tua mereka membuat mereka berutang budi kepada orang tua mereka. Maupun itu terselubung atau terang-terangan seperti ucapan”Jika saya melakukan ini untuk Anda, Anda berutang kepada saya.” Kebaikan dan cinta yang bersyarat. Dampak lainnya adalah anak tumbuh tetap dalam control orang tua tersebut. Biasanya mereka tetap harus hidup memenuhi ekspektasi orang tuanya, walaupun sudah menjadi dewasa dan memiliki tanggung jawabnya sendiri. Tentu ini memengaruhi kehidupan anak dalam sehari-hari juga seperti kesulitan menjalin hubungan yang melengkapi, kesulitan berekspresi, sulit menerima komentar dan kritik, sulit mengontrol emosi negatif, cemas setiap saat karena merasa harus membuat semua orang senang dan kesulitan dalam membuat keputusan.

Hingga saat ini ada juga anak-anak yang telah tumbuh dewasa dan mengatasi trauma masa kecilnya dengan belajar sendirinya. Ada juga yang tumbuh menjadi co-narcissist. Namun, agar anak dapat tumbuh dari luka emosional ini, bisa juga diberi dukungan terapeutik yang kuat untuk “mengupas bawang” dan menyembuhkan kenangan buruk masa kecilnya.

Referensi:
Brown, N. W. (2008). Children of the self-absorbed: A grown-up’s guide to getting over narcissistic parents. New Harbinger Publications.
Leggio, J. N. (2018). Mental health outcomes for adult children of narcissistic parents (Doctoral dissertation, Adler School of Professional Psychology).
Love, S., & Feldman, Y. (1961). The disguised cry for help: Narcissistic mothers and their children. Psychoanalytic Review, 4
Määttä, M., Määttä, K., Uusiautti, S., & Äärelä, T. (2020). “She Does Not Control Me Anymore but I Can Hear Her Voice Sometimes”-A Phenomenographic Research on
the Resilience Perceptions of Children Who Have Survived From Upbringing By A Narcissistic Parent. European journal of education studies.