“Dara… Dara…” Samar, suara lembut penuh kasih sayang melantun indah terdengar di telinga seorang gadis kecil yang masih tergelung di bawah selimutnya. Usapan demi usapan berlabuh di kepala Gadis bernama lengkap Dara Faranisa itu.

“Dar… Bangun, Nak. Ini sudah pagi,” ucap Valdi pada putri sematawayangnya. “Ayah, Dara masih ngantuk,”

“Dar, ini hari pertama kamu di sekolah baru, loh. Sekarang kamu mandi dan siap-siap, Ayah tunggu di bawah.” Valdi membantu putrinya yang masih setengah sadar untuk duduk.

Sejenak Dara mengucek kedua matanya dan menatap sang Ayah yang telah siap dengan seragam kebanggannya.

Kerap disebut dengan panggilan Dara, ia adalah gadis kecil 14 tahun putri semata wayang dari seorang abdi negara yang telah mengabdikan dirinya untuk bangsa semenjak berpuluh tahun lamanya. Ia telah terbiasa tinggal hanya berdua dengan sang Ayah sejak kematian Ibunya saat ia berumur delapan tahun, tepat sekitar enam tahun yang lalu.

“Selamat pagi, Dar. Sini duduk, ayah sudah membuatkan sarapan untuk Dara,” sapa valdi setelah sekilas mencium kening putri sematawayangnya.

“Dar, nanti siang Tante Kiya akan datang dan—”

“Ayah akan tugas di luar kota lagi?”

“Dar, kali ini hanya untuk tiga bulan. Setelah Ayah kembali Ayah janji akan—”“Ayah…bolehkahDaraikutAyah?”pintaDara

 

“Dara, kamu itu sudah besar!” Tapan disadarinya, suara Valdi yang tak sengaja meninggi menggores tipis perasaan putrinya.

“Baiklah,” jawab Dara pelan dan menundukkan kepalanya.

Tanpa menjawab, Dara melangkah menapaki satu persatu anak tangga menuju kamarnya. Sungguh, ia sudah tau kalau ini akan terjadi pada dirinya. Sebab bukan untuk pertama atau kedua kalinya ia dititipkan bersama adik Ayahanya yang ia sebut Tante itu dan ia selalu mendapat perlakukan buruk dan kejam.

“Tante, tangan Dara merah-merah lagi,” ujar Dara menunjukkan sepanjang lengannya yang timbul ruam-ruam.

“Bawa saja mandi, mungkin saat kamu membersihkan halaman tadi terkena serangga,” jawab Kiya, adik kandung dari Ayahnya Dara.

“Tapi biasanya Ayah akan—”

 

“Tapi Tante lelah, Dara!” potong wanita itu dengan suara cukup tingga. Seketika Dara menunduk dan kembali ke kamarnya.

Ia membalut lengannya dengan handuk yang sudah dibasahi dengan air hangat dengan hati-hati. Namun kali ini bukannya membaik, ruam-ruam itu justru semakin menyebar bahkan juga terdapat di pipi dan area hidungnya.

Hingga mulai hari itu, Dara jadi lebih sering sakit dan terkadang ia juga seperti orang linglung yang tak tahu apa-apa. Tapi tak sedikitpun Kiya berusaha membawa Dara ke rumah sakit atauun menghubungi Ayahnya Dara.

Sampai tibalah hari kepulangan Valdi, terpukul bukan main saat ia melihat putrinya yang tak sama seperti ia tinggalkan terakhir kali. Miris, putri kecilnya terlelap dengan napas tampak terengah dengan benjolan sebesar buah jeruk di bawah mata sebelah kanannya.

Berderai bukan main, Valdi sungguh tak sanggup menahan air matanya dan langsung memeluk putri sematawayangnya itu. Sedikit banyaknya penyesalan menyelimuti dirinya yang telah tega meninggalkan putrinya itu.

Malam itu juga Valdi membawa Dara ke Jakarta dan menemui dokter keluarganya di sebuah rumah sakit. beberapa jam Valdi berdiri gelisah di depan sebuah ruangan dengan putrinya yang masih berada di dalam.

Hingaa empat jam kemudian, dokter yang memang sudah biasa menangani keluarga mereka keluar.

“Bagaimana keadaan putriku, Wil?” tanya Valdi tak sabaran.

“Tenang dulu, Bung. Ayo ke ruanganku,” ucap Dokter Wilian yang juga sahabat

Valdi.

“Dara mengidap penyakit lupus stadium 3, Val.” Ucapan Dokter Wilian yang sungguh membuat dunia seorang Ayah seperti runtuh seketika.

“Apa yang harus aku lakukan untuk menyelamatkan putriku?” “Operasi, tapi kemungkinan berhasilnya hanya 20 persen saja,”

Hingga setelah berfikir beberapa saat, Valdi mengizinkan tindakan operasi terhadap  putrinya.

“Ayah, maafkan Dara yang selalu merepotkan, Ayah,” lanjut Dara mengetahui Ayahnya yang menangis sampai sesegukan.

“Tidak, Nak. Ini salah Ayah, salah Ayah yang kurang memperhatikanmu.

“tidak,Ayah. Ini bukan salah Ayah.

“Dar, Ayah akan selalu memberikan yang terbaik untuk Dara. Jadi tolong jangan tinggalkan Ayah.

“Dara ga mau sakit lagi, Yah.

“Iya.MakanyaDaraharussembuh,ya.”Senyumandaraterukirdibibirnya.

“Dar… Daraaa? Dara bangun sayang…” Valdi benar-benar kalap dan tak tau harau berbuat apa. Hingga kesaadarannya kembali dan segera membawa Dara ke rumah sakit.

 

“Lapor, Komandan! Siap nama, Dara Faranisa izin menyampaikan pesan!

Ayah, Dara minta maaf karena selalu menyusahkan Ayah. Ayah adalah Ayah terbaik sepanjang masa. Andai Dara punya ksempatan, Dara ingin memberi tahu dunia bahwa Ayah adalah laki-laki terhebat yang pernah ada. Ayah jangan lupa makan, istirahat yang cukup. Dara sayang, Ayah.

Asal Ayah tau, Dara sudah tidak sudah tidak sakit lagi. Sudah tidak ada semut- semut yang menggigiti sekujur tubuh Dara, juga tidak ada lagi buah jeruk yang menempel di wajah Dara. Oh iya, kemarin Ayah bilang akan membawa Dara ke Jerman untuk mengembalikan wajah Dara supaya cantik lagi, kan? Ayah simpan saja uangnya, karena sekarang wajah dara sudah kembali seperti semula…

Laporan Selesai!

Terima kasih Ayah tersayang, Dari Daranya Ayah”

Itulah surat terakhir Dara yang ditemukan Valdi di diary kesayangan putrinya yang tak pernah siapapun boleh menyentuhkan, bahkan Valdi sekalipun.