Pada era yang modern ini, teknologi dan komunikasi telah menjadi suatu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan. Generasi baru cenderung lebih memilih berkomunikasi dengan menggunakan peralatan teknologi yaitu dengan smartphone pribadi nya. Lantas salah satunya merupakan media sosial, yang sekarang kerap menjadi “kehidupan” bagi masyarakat. Instagram, tiktok,  whatsapp, adalah beberapa dari media sosial yang paling sering digunakan bagi semua kalangan. Membuat konten, memberikan like dan komentar, hingga scrolling media sosial telah menjadi kegiatan sehari-hari masyarakat zaman sekarang. Menurut Varinder Taprial dan Priya Kanwar, media sosial merupakan media yang digunakan oleh individu agar menjadi sosial, atau menjadi sosial secara daring dengan cara berbagi isi, berita, foto dan lain-lain dengan orang lain.

Bagi sebagian besar pengguna media sosial, jumlah followers atau pengikut menjadi hal yang sangat penting. Beberapa menganggap hal itu menunjukkan identitas mereka, seperti seberapa terkenal dia? Atau apakah dia secantik itu? Hal-hal ini menjadikan lingkungan masyarakat terutama pada gen milenial dan gen z menjadi terpaku dengan jumlah pengikutnya. Banyak pemikiran yang membuat kurangnya pengikut akan membuatnya terlihat buruk, jelek, dan sebagainya. Tapi seberapa penting sih jumlah pengikut? Bagi orang-orang dengan pekerjaan seperti selebgram, influencer yang membutuhkan pengikut untuk mendapatkan penghasilan, tentunya menjadi penting bagi mereka untuk memiliki jumlah pengikut yang banyak.

Jumlah pengikut tidak lagi menjadi penting di saat seseorang telah memiliki banyak pendukung aktif terhadap konten-kontennya. Banyak sekali dapat kita temukan orang-orang dengan jumlah pengikut sedikit, namun memiliki lebih banyak penggemar aktif dibandingkan dengan orang dengan jumlah pengikut yang lebih banyak. Cara terbaik untuk mendapatkan pengikut adalah dengan cara membuat konten yang berkualitas dan disukai banyak orang. Namun, tentunya tidak jarang kita temukan mengenai adanya orang-orang yang memiliki jumlah pengikut yang banyak, tanpa adanya konten pada media sosialnya. Media sosial yang sebelumnya menjadi ajang pertukaran pesan, pembagian ide-ide kreatif dan branding sosial atas diri sendiri menjadi kehilangan jati dirinya.

Banyak sedikitnya pengikut tentunya tidak menjadi masalah selama kita tidak menjadi orang yang menilai orang lain berdasarkan jumlah pengikutnya. Penilaian masyarakat ini yang menjadikan beberapa orang merasa insecure dengan dirinya sendiri. Beberapa orang memutuskan untuk membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain, dan beberapa bahkan memutuskan untuk “beli pengikut”. Hal-hal seperti inilah yang menjadikan media sosial yang seharusnya menjadi tempat seseorang untuk membentuk branding sosialnya, menjadi tempat untuk sekedar adu ketenaran. Mereka melupakan kegunaan media sosial yang sesungguhnya adalah berkomunikasi, dan bahwa jumlah pengikut hanyalah angka, yang jauh lebih penting pada dasarnya adalah mereka yang mengikuti kita karena ketertarikan pribadi. Kasus ini tentunya menjadikan media sosial kehilangan fungsi utamanya dan menjadi toxic untuk sebagian besar masyarakat.

Beberapa orang cenderung menilai seseorang berdasarkan apa yang ia unggah di media sosialnya. Padahal, di balik itu setiap orang tentunya memiliki kehidupan pribadinya masing-masing yang tentunya tidak ia unggah ke media sosialnya. Mengunggah foto-foto saat makan di restoran mewah tidak berarti ia melakukannya setiap hari. Seseorang cenderung hanya mengunggah momen-momen indah dan penting dalam hidupnya ke media sosial. Hal-hal inilah yang pada akhirnya membuat media sosial menjadi pengaruh besar terhadap kesehatan mental sebagian besar masyarakat. Mulai dari rasa tidak percaya diri terhadap diri sendiri yang perlahan berkembang menjadi rasa cemburu terhadap orang lain. Rasa ketagihan atas bertambahnya jumlah pengikut, jumlah orang yang menyukai, jumlah komentar dan lainnya yang membuat kita depresi disaat hal-hal tersebut tidak terpenuhi. Terlalu banyak menggunakan media sosial juga berdampak buruk bagi kesehatan dan produktivitas.

Penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa media sosial bukanlah sebagai prioritas utama dalam hidup. Hal itu dapat diwujudkan dengan cara berhenti menjadikan media sosial sebagai tempat untuk mengukur tinggi-rendahnya ketenaran, ekonomi, status sosial dan lain sebagainya. Berhenti menilai orang hanya berdasarkan apa yang kita lihat di media sosialnya. Jumlah pengikut hanyalah angka yang tidak membuktikan apapun terhadap diri seseorang. Oleh karena itu, jadikanlah media sosial tempat berkomunikasi yang positif, untuk berkarya, menyimpan momen-momen terbaik, serta membentuk personal branding kita.

Referensi

Dollarhide, M., & Drury, A. (2021). Social Media: Definition, Effects, and List of Top Apps. Investopedia. Retrieved November 26, 2022, from https://www.investopedia.com/terms/s/social-media.asp

Feldscher, K. (2021, October 8). Social media’s toxic content can harm teens | News | Harvard T.H. Chan School of Public Health. Harvard T.H. Chan School of Public Health. Retrieved November 26, 2022, from https://www.hsph.harvard.edu/news/features/how-social-medias-toxic-content-sends-teens-into-a-dangerous-spiral/

S, R. N. (2017, December 23). Pentingkah Jumlah “Followers”? Kompasiana.com. Retrieved November 26, 2022, from https://www.kompasiana.com/nunungsuryani/5a3e54e516835f6e3c6c25f2/pentingkah-jumlah-followers

Taprial, V., & Kanwar, P. (2012). Understanding Social Media. Bookboon, London.