Tentang kepedulian terhadap hak-hak perempuan, khususnya para perempuan Indonesia. Terinspirasi dari beberapa kisah baik yang sudah menjadi berita, maupun yang sekedar bercerita pengalaman pribadi. Tentang ungkapan keresahan para perempuan yang sampai saat tulisan ini dibuat, kesetaraan dan kebebasannya masih berada dalam ambang.

Pemaksaan kehamilan adalah satu dari beberapa keresahan para perempuan yang diambil untuk dituang dalam tulisan ini. Adalah situasi ketika perempuan dipaksa dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau ancaman-ancaman lainnya, untuk melanjutkan kehamilan yang tidak ia inginkan. Termasuk para perempuan korban pemerkosaan, dan para istri yang dilarang menggunakan kontrasepsi oleh sang suami sehingga mereka tidak dapat mengatur jarak kehamilan.

Di Indonesia sendiri, kasus pemaksaan kehamilan ini terhitung banyak walau belum ada yang bisa memastikan jumlahnya. Tanpa melupakan para pejuang hak asasi perempuan di Indonesia, namun kurangnya sosialisasi tentang hal tersebut yang sudah seharusnya dimiliki oleh setiap perempuan Indonesia tanpa terkecuali, menjadikan kasus-kasus diskriminasi terhadap perempuan Indonesia ini agak terabaikan. Disisi lain para korban pemaksaan kehamilan ini merasa kesulitan untuk melaporkan kejadian yang mereka alami karena mereka takut tidak terfasilitasi.

Saat ini kesadaran dalam hal pemaksaan kehamilan di Indonesia perlahan sudah mulai terwujud, dapat dilihat dari beberapa artikel dan gerakan-gerakan yang tersebar di beberapa media sosial. Oleh komnas perempuan, pemaksaan kehamilan sudah diperkenalkan sebagai kekerasan seksual. Dalam kategori kekerasan seksual terhadap perempuan terdapat 14 bentuk yang tercatat selain pemaksaan kehamilan sendiri.

14 bentuk kekerasan seksual lainnya adalah perkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual baik verbal maupun non-verbal, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman yang tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan dan mendiskriminasi perempuan, kontrol seksual termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Menurut sebuah artikel pada situs resmi yang diluncurkan pada Bulan Desember 2018, 9 dari 15 bentuk kekerasan tersebut sudah masuk kedalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUPKS). Rancangan Undang-Undang ini bertujuan untuk menjadi payung hukum yang mencegah kekerasan seksual dengan menindak pelakunya, serta melindungi, dan memulihkan korban korban kejahatan ini.

Seperti yang kita semua ketahui, Rancangan Undang-Undang harus terus didukung agar bisa dapat segera disahkan. Dengan ikut mensosialisasikan bentuk-bentuk kekerasan seksual sehingga para korban yang mendapat perlakuan tersebut lebih sadar dan tidak takut untuk melaporkan kasus mereka yang pada nantinya laporan mereka akan dijadikan sebagai catatan bahwa banyaknya kasus kekerasan seksual harus segera ditangani dan dihapuskan.

Landasan hukum dan jaminan perlindungan para perempuan dari tindak kekerasan seksual yang sudah tercatat dalam Undang-Undang, yaitu ;

Nasional – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285, 286, 287, 290, 291

  • UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Pasal 8(b), 47, 48
  • UU No.21 tahun 2007 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 (3, 7)
  • UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 (15), 17 (2), 59 dan 66 (1, 2), 69, 78 dan 88

Internasional

  • Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1 & 2, Pasal 68
  • Resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) 1820 tentang Kekerasan Seksual dalam Konflik Bersenjata
  • Deklarasi penghapusan tindak kekerasan seksual terhadap perempuan (ICPD) pada Bulan Desember 1993
  • Deklarasi Wina Tahun 1993

Diantara landasan hukum yang tertera tersebut belum ada hukum bagi para pelaku dan korban kekerasan seksual dalam kaitannya dengan pemaksaan kehamilan. Dalam Statuta Roma terdapat hukum mengenai kehamilan paksa dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan, namun hal tersebut berbeda dimensi dari pemaksaan kehamilan. Dimana hukum kehamilan paksa adalah situasi pembatasan secara melawan hukum terhdapa seorang perempuan untuk hamil secara paksa, dengan maksud untuk membuat komposisi etnis dari suatu populasi atau untuk melakukan pelanggaran hukum internasional lainnya.

RUUPKS harus segera disahkan untuk melindungi para korban dan semua yang berpotensi menjadi korban, yang sampai saat ini masih terus berjatuhan. Beberapa teguran keras untuk para pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah dilayangkan dari para pejuang hak asasi perempuan sampai Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, namun penyikapannya masih belum beranjak. Indonesia darurat kekerasan seksual sejak 2014 (Azriana, Ketua Komnas Perempuan, 15/09/19).

Maka dengan harapan terciptanya keadilan dan menghilangkan kasus pemaksaan kehamilan bagi para perempuan, semua orang baik perempuan maupun laki-laki dapat membantu mensosialisasikan atau mengedukasi diri mereka sendiri dan untuk orang lain. Karena masih banyak sekali orang-orang yang belum mengetahui secara detail apa itu kekerasan seksual dan apa saja yang menjadi bagian atau bentuk-bentuknya.

Bahkan dengan kurangnya edukasi akan hal tersebut, banyak juga yang masih menutup mata dan menyepelekan nya. Tidak ada kesadaran bahwa kekerasan seksual adalah suatu hal yang sangat buruk untuk kehidupan ini dan harus segera dihapuskan. Terutama bagi para korban yang sudah terlanjur mengalami kekerasan seksual berupa pemaksaan kehamilan, mereka adalah orang-orang yang sangat membutuhkan dukungan dan dipulihkan demi melanjutkan kehidupan yang lebih baik.