LGBT ( LESBIAN , GAY , BISEXUAL , TRANSGENDER ) khususnya di Indonesia banyak sekali mendapat olokan dan juga banyak sekali masyarakat beranggapan bahwa LGBT adalah kaum yang menyimpang, kaum berdosa. LGBT juga mempunyai simbol tersendiri yaitu bendera pelangi. Dalam sejarahnya, bendera pelangi ini dibuat oleh Gilbert Baker, seniman San Fransisco pada tahun 1978. Ketika itu ia menyanggupi permintaan seorang gay, Harvey Milk, untuk mendesain bendera mendukung hak-hak kaum gay.

Di Indonesia LGBT menghadapi tantangan hukum dan prasangka yang tidak dialami oleh warga non-LGBT. Adat istiadat tradisional kurang menyetujui homoseksualitas dan berlintas-busana, yang berdampak pada kebijakan publik. Misalnya, pasangan sesama jenis di Indonesia, atau rumah tangga yang dikepalai oleh pasangan sesama jenis, dianggap tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan perlindungan hukum yang lazim diberikan kepada pasangan lawan jenis yang menikah.

Sebagian besar wilayah Indonesia tidak memiliki hukum sodomi dan saat ini tidak mengkriminalisasi perilaku homoseksual pribadi dan non-komersial di kalangan orang dewasa, tetapi hukum di Indonesia tidak melindungi komunitas LGBT terhadap diskriminasi dan kejahatan kebencian. Pada Juli 2015, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan bahwa hal itu tidak dapat diterima di Indonesia, karena norma-norma agama berbicara keras menentang hal tersebut.

Pentingnya harmoni sosial di Indonesia menyebabkan penekanan kepada kewajiban daripada hak, yang berarti bahwa hak asasi manusia bersama dengan hak-hak LGBT tergolong sangat rapuh. Namun, komunitas LGBT di Indonesia perlahan-lahan menjadi terus lebih terlihat dan aktif secara politik.

Sejauh ini hukum nasional Indonesia tidak mengkriminalisasikan homoseksualitas. Hal ini berbeda dengan hukum mengenai sodomi di negara jiran, Malaysia, produk hukum warisan kolonial Inggris yang mengkriminalisasikan tindakan homoseksual, atau lebih spesifik tindakan anal seks. Hukum pidana nasional tidak melarang hubungan seksual pribadi dan hubungan homoseksual non-komersial antara orang dewasa yang saling bersetuju.

Hal ini berarti, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak menganggap perbuatan homoseksual sebagai suatu tindakan kriminal; selama tidak melanggar hukum-hukum lain yang lebih spesifik; antara lain hukum yang mengatur mengenai perlindungan anak, kesusilaan, pornografi, pelacuran, dan kejahatan pemerkosaan.

Perbuatan homoseksual tidak dianggap sebagai tindakan kriminal, selama hanya dilakukan oleh orang dewasa (tidak melibatkan anak-anak atau remaja di bawah umur), secara pribadi (rahasia/tertutup, tidak dilakukan di tempat terbuka/umum, bukan pornografi yang direkam dan disebarluaskan), non-komersial (bukan pelacuran), dan atas dasar suka sama suka (bukan pemaksaan atau pemerkosaan).

Sebuah RUU nasional untuk mengkriminalisasi homoseksualitas, beserta dengan hidup bersama di luar ikatan pernikahan (kumpul kebo), perzinahan dan praktik sihir, gagal disahkan pada tahun 2003 dan tidak ada undang-undang berikutnya yang diajukan kembali.