Banyak muda-mudi jaman sekarang yang asyik masuk terseret dalam pergaulan bebas. Pacaran seolah menjadi budaya. Pacaran menjadi nuansa bagi mereka untuk menuangkan rasa cinta pada sang kekasih. Rasa rindu ingin bertemu selalu menghantui mereka, para remaja yang sedang dimabuk cinta. Malangnya, ajang bercengkerama dua anak manusia berlainan jenis (bukan muhrim) ini lebih digemari daripada membaca buku-buku motivasi atau kegiatan positif lainnya. Lebih malang lagi, tontonan sinetron-sinetron di televisi lebih memperparah lagi keadaan ini.

Tak dapat dipungkiri lagi, di masa sekarang, ada keprihatinan mendalam di balik fenomena itu. Dengan “mengatasnamakan cinta”, muda-mudi itu banyak yang lupa akan batasan-batasan yang digariskan agama. Melalui ajang yang disebut pacaran itu, terjadilah sebuah interaksi intensif dari perasaan saling suka, sering bertemu, dan seterusnya yang berujung pada terjadinya berbagai kontak fisik dalam kesempatan yang sepi berdua. Tak jarang mereka sampai terjerumus ke jurang perzinaan, karena tak bisa mengendalikan diri. Akhirnya, hubungan yang awalnya istimewa bagi mereka, menjadi penyebab terjadinya dosa besar dan hancurnya masa depan bagi pelakunya. Sekali lagi, sebelumnya mereka melakukannya dengan “mengatas namakan cinta”.

Ada kisah nyata yang pernah dialami oleh teman dekat saya sendiri. Waktu itu umurnya baru sekitar 17tahun, dia masih duduk di bangku SMA. Dia adalah gadis yang cantik menurut penilaian para cowok-cowok di sekolah saya. Badannya bagus, wajahnya cantik, lumayan pintar di sekolah sehingga menjadi idaman para lelaki. Malangnya, saat kelas 12 akhir saya merasa ada yang curiga dengan teman saya ini. Dia jadi sering memakai jaket yang oversize, lalu saya bertanya “kok lu jadi sering pake hoodie yang oversize sih?” tanya saya. Lalu dia menjawab “ngak papa”. Hampir 3 bulan terakhir sikapnya menjadi berubah, yang dulunya periang, bawel, dan asik sekarang berubah menjadi pendiam dan lebih senang menyendiri di kelas. Saya berfikir ada yang salah dengan dia. Karena hubungan saya dengan teman saya ini cukup dekat, akhirnya saya memberanika diri untuk menanyakan apa yang sebenarnya sedang dia alami. Ketika hari libur sekolah, saya pergi kerumahnya untuk mengobrol dengan dia. “Sorry kalau gue terlalu kepo, tapi akhir-akhir ini lo berubah. Gue tau lo lagi ada masalah, sebenernya ada apa?” ucap saya kepada teman saya. Ketika saya menanyakan hal tersebut, mukanya langsung merah dan menangis.

“Gue hamil” jawab dia sambil menangis. Sontak saya teramat sangat terkejut. Saya tidak pernah menyangka hal itu bisa terjadi kepada teman saya. Di lain sisi, dia sudah di kelas 12, dan sekitar 2 atau 3 bulan lagi kami lulus. “Kok bisa? Sama si A?” tanya saya dengan nada cukup tinggi. Saya tidak ingin menyebutkan nama asli teman saya dan pacarnya. “Iya. Gue juga bingung, gue pusing, gue ngak tau harus gimana” jawab dia.

Begitu naifkah, kata cinta yang harusnya dijaga kesuciannya, menjadi ternoda. Lalu, benarkah itu cinta? Ataukah hanya nafsu yang terkamuflase? Jadi, ketika sepasang muda-mudi sedang asyik berduaan, sebenarnya cinta ataukah nafsu mereka yang “berbicara”? Apakah emosi ataukah akal sehat mereka yang lebih dominan?

Begitu mudahkah mengatas namakan “cinta” untuk suatu perbuatan dosa. Apakah itu benar cinta, atau itukah yang dinamakan nafsu? Yah, sebagai makhluk jenius yang dikaruniai akal budi yang sempurna, kita sebagai manusia pasti tahu perbedan keduanya, antara nafsu dan cinta. Dan sebagai generasi muda yang terpelajar, sudah sepantasnyalah kita tidak mencampuradukkan kedua hal itu untuk melegalkan hasrat kita.

Sekarang adalah era informasi yang serba canggih, bukan era manusia gua ratusan abad yang lalu. Manusia semakin cerdas dan punya peradaban tinggi. Jadi, harus tahu apa itu arti cinta yang sesungguhnya, dan jangan menodai makna cinta dengan pelampiasan hasrat nafsu birahi dengan mengatasnamakan cinta. Begitu memprihatinkan pergaulan bebas muda-mudi di jaman ini, yang melegalkan perbuatan maksiat sebagai sebuah kebiasaan yang wajar. Hal itu bukan tanpa bukti. Ada wanita yang berkisah langsung dan katanya ingin bertaubat. Ada juga laki-laki yang berkisah dengan perasaan bangga tanpa ada niat memperbaiki diri sedikitpun. Ada juga cerita dari teman yang sering dijadikan curhat teman-temannya. Pendek kata, kita harus mengurut dada mengetahui realitas kelabu ini. Mereka ada di tengah-tengah kita dan itu terjadi di tengah-tengah kita.

Menurut saya, ini jaman sekarang ini keperawanan wanita sudah tidak harganya. Dianggap remeh dan ditidak dihargai. Pikirkanlah masa depan kita. Pikirkanlah, bila takdir berkata lain dan ternyata tidak berjodoh dengan pasangan kita. Aib dan rasa malu itu akan kita bawa sepanjang masa hidup kita. intinya adalah, berpacaran, memiliki teman laki-laki dan teman dekat itu tidak salah. Yang salah adalah gaya berpacarannya. Mungkin, hal ini tidak hanya terjadi di jaman sekarang. Tetapi yang memprihantinkan adalah banyak anak-anak muda yang kehilangan masa mudanya. Mereka harusnya bisa menghabiskan waktu mereka dengan teman-temannya atau bisa menjadi yang lebih berguna untuk keluarganya malah sudah mengurus anak dirumah. Dan kalau si cowok ingin bertanggung jawab, kalau tidak? Hancur sudah semuanya. Harus berjuang sendiri untuk membesarkan anak dari hasil hawa dan nafsu. Cinta hanya sesaat, disaat sudah terjadi sesuatu ditinggalkan. Berpintar-pintarlah mencari pasangan, jangan gampang itu meberikan tubuh kita kepada seseorang yang belum tentu akan menjadi pendamping hidup kita. Jangan samapi menyesal dan mengambil langkah yang salah.

 

Nama : Nathasya Susanto

NIM  : 2101669594