Sumber: medan.tribunnews.com

Pada tanggal 25 November 2018 bangsa Indonesia memperingati hari yang merupakan hari berharga bagi para guru. Hari dimana para guru merasa bahwa keringat, ilmu, serta jasa yang mereka salurkan selama ini di hargai oleh orang lain. Hari berharga tersebut adalah Hari Guru Nasional. Seorang guru adalah tenaga pengajar di sekolah-sekolah. Seorang guru adalah orang yang selalu bersabar dan berdedikasi tinggi terhadap murid-muridnya. Bahkan seorang guru dapat dikatakan sebagai orangtua kedua untuk para murid.

Namun menurut berita yang didapatkan dan di dengar oleh masyarakat luas selama ini, guru bukanlah orang yang di posisikan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa atau orangtua kedua bagi murid-muridnya. Bahkan tidak mengherankan jika terdengar kabar dan banyak kasus bahwa pekerjaan sebagai seorang guru khususnya di Indonesia banyak yang tidak merasa dihargai dan tidak dihormati. Tindakan tidak terpuji seperti kekerasan terhadap guru menjadi hal yang wajar dan lazim bagi murid zaman sekarang ini. Anak-anak abad millenial tersebut menjadikan para orangtua kedua mereka sebagai samsak kesombongan sendiri demi mencerminkan bahwa zaman sekarang ini guru tidak bisa melakukan hal yang sewenang-wenang terhadap muridnya. Memang peraturan tersebut sudah di resmikan oleh pemerintah sejak beberapa tahun yang lalu. Namun setelah peraturan tersebut di resmikan, murid-murid zaman milenial menganggap diri mereka memiliki status yang lebih tinggi dari seorang guru sehingga menjadikan seorang guru sebagai santapan kesewenang-wenangan dari para murid.

Seperti yang terdapat dalam kasus guru kesenian yang tewas akibat dipukuli di bagian pelipis wajahnya akibat mencoret pipi salah satu siswanya menggunakan tinta. Guru tersebut bernama Achmad Budi Cahyanto. Pak Budi, sapaan akrabnya merupakan guru honorer yang mengajar kesenian di SMAN 1 Toju, Kabupaten Sampang. Beliau tewas akibat di hantam dengan tinjuan dari seorang muridnya yang mengenai pelipis wajahnya hanya karena mencoret pipi muridnya yang tertidur dengan menggunakan tinta. Tidak puas dengan mengenai pelipis gurunya, murid tersebut menunggu Budi seusai jam sekolah untuk dianiaya. Setiba di rumah, Budi pingsan kemudian beliau dibawa ke RS Dr Soetomo di Surabaya dan dinyatakan tewas saat dokter mendiagnosis bahwa Budi mengalami mati batang otak dan seluruh organ dalam sudah tidak berfungsi.

Kisah tersebut mencerminkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Lantas pemerintah tidak melakukan tindakan lebih lanjut dalam menanggapi kasus-kasus seperti ini. Keadilan tidak diberikan kepada seorang guru melainkan hanya kepada para murid. Saat seorang guru melakukan tindak kekerasan pada murid, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) akan langsung bertindak. Namun saat guru menjadi “samsak” penganiayaan bagi murid, tidak ada tempat bagi seorang guru untuk berlindung. Banyak masyarakat yang sudah memaksa pemerintah untuk membentuk komisi perlindungan guru. Tetapi sampai tahun 2018 ini, lembaga yang seharusnya penting untuk kesejahteraan para guru belum juga terbentuk. Lantas, para guru hanya bisa menerima ketidakadilan yang ada dalam dunia pendidikan.

Hasil keringat mengajar dan ilmu yang telah susah payah dibagikan dan kesabaran dalam mendidik murid-murid di sekolah hanya dianggap hal sepele. Lalu sebutan pahlawan tanpa tanda jasa dan orangtua kedua kemudian tidak memiliki arti apa-apa. Panggilan dan sebutan yang tertanam dari masa lalu kini hanyalah sebuah formalitas. Dapat dilihat meski tidak adanya rasa hormat dari pihak murid dan pemerintah, seorang guru tetap akan melakukan tugasnya sebagai seseorang yang mengayomi, mendidik, menyayangi dan mendoakan setiap muridnya untuk menjadi seseorang yang sukses dan berhasil di masa depan. Entah apakah muridnya akan teringat pada jasanya atau tidak. Tujuan seorang guru tidak muluk-muluk, yaitu memberikan murid-muridnya ilmu dan didikan yang baik agar anak-anak didiknya dapat menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang maju di kemudian hari. Karena negara Indonesia dipenuhi dengan orang pintar tapi licik dan sombong.

Oleh karena itu sangat disayangkan jika generasi penerus bangsa justru menjadi oknum utama yang merusak bangsa bahkan dari usia dini dari segi moral. Dalam kasus seperti ini, faktor internal dan faktor eksternal akan sangat berpengaruh pada anak. Dihimbau kepada seluruh orangtua agar dapat lebih mendekatkan diri dan memberikan pendidikan yang baik mengenai sikap dan perilaku kepada anak agar tidak ada lagi kasus-kasus yang membuat dunia pendidikan di Indonesia tercoreng. Orangtua juga dihimbau agar memberikan perhatian lebih terhadap pergaulan anak dan aktivitasnya di luar rumah agar tidak salah jalan. Orangtua juga harus menanamkan sikap dan tindakan bahwa dunia pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup seorang anak baik di masa kini atau masa mendatang. Dan sikap seperti apa yang harus ditanamkan dalam diri anak saat sedang menjalani pendidikan.

Meidy Krista Arlian – 2101658400 – Mass Communication