Apa yang terlintas dalam pikiran bila kita mendengar elektronik kartu tanda penduduk atau biasa disingkat E-KTP ? Elektronik kartu tanda penduduk digunakan sebagai identitas penduduk Indonesia. E-KTP dibuat secara elektronik dalam bentuk fisik dan penggunaanya melalui komputerisasi.

Keberadaanya dimulai sejak Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia meluncurkan program itu pada Febuari 2011. Lalu, E-KTP bagi penduduk Indonesia tentunya tidak asing karena sejak awal diumumkannya sudah memicu pro dan kontra hingga terjadinya beberapa konflik yang menyebabkan tersendatnya proses pembuatan E-KTP bagi penduduk Indonesia.

Sebelum menggunakan E-KTP, Indonesia pernah mengalami perubahan KTP beberapa kali. Awal hadirnya KTP pada zaman penjajahan Belanda disebut sebagai sertifikat kependudukan. Lalu berubah saat penjajahan Jepang disebut sebagai KTP propaganda. Kembali bertransformasi pada awal-awal kemerdekaan 1945 disebut sebagai surat tanda kewarganegaraan Indonesia. Setelah kemerdekaan 1945 tepatnya tahun 1967-1970 surat tanda kewarganegaraan Indonesia sedikit direvisi dengan menambahkan tanda tangan untuk mendukung legalitas oleh Kepala Urusan Pendaftaran Penduduk. Tahun 1978, KTP kembali mengalami perubahan dengan dilaminatingnya blangko kertas. Perubahan kecil kembali tejadi pada tahun 2002 saat KTP diubah warnanya menjadi kuning. KTP khusus untuk daerah Aceh hadir sebgai KTP darurat Aceh, sebab Aceh mengalami masa darurat militer pada tahun 2003. Transformasi selanjutnya KTP Nasional bisa digunakan di seluruh Indonesia dan memiliki sistem dan bentuk yang sama. Demi menyempurnakan data kependudukan Indonesia pemerintah kembali melakukan perubahan melalui elektronik KTP pada tahun 2011 yang bahkan berlaku Internasional karena sistem metode yang ditampilkan lebih akurat.

Awal kemunculan program pemerintah untuk menerbitkan E-KTP memiliki beberapa pertimbangan terutama hal-hal menguntungkan yang bisa didapat yaitu identitas jati diri tunggal, tidak dapat dipalsukan, tidak dapat digandakan, bisa dipakai dalam pemilu atau pilkada bahkan secara online. Selain itu, data didukung dengan penyimpanan sepuluh sidik jari walaupun data yang tersimpan dalam chip pada E-KTP hanya dua tapi memiliki maksud agar bisa menekan biaya daripada tambahan biometrik lain, bentuk pada sidik jari akan selalu sama dan tidak mengalami perubahan walau tergores ataupun luka, lebih akurat karena semua orang memiliki sidik jari yang berbeda-beda bahkan bagi kembar sekalipun, sebab setiap manusia unik dan berbeda-beda. Alasan tadi dirasa tepat bagi kementerian memunculkan E-KTP untuk mengurangi kemungkinan penduduk menggandakan KTP, mendukung data yang akurat, meningkatkan kualitas dan mempermudah pelayanan kepada masyarakat.

Bila terdapat keunggulan pada E-KTP tentu terdapat pula kelemahannya. Kekurangan pada E-KTP yaitu tidak menggunakan tanda tangan sehingga saat melakukan transaksi perbankan E-KTP tidak diakui dan perlu bagi pemegang E-KTP melakukan surat rekomendasi dari Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk memenuhi syarat perbankan. Memenuhi syarat perbankan menjadikan pemegang E-KTP harus lebih ekstra dalam usaha memenuhi syarat perbankan dalam data kependudukan.

Sejak awal kemunculan program pemerintah dengan hadirnya E-KTP menimbulkan pro dan kontra. Beberapa pihak merasa hadirnya E-KTP merupakan solusi tepat untuk menghindari dan mengurangi pemalsuan data kependudukan di Indonesia. Sementara yang lain kontra dan diragukan oleh masyarakat karena risiko yang besar terhadap data komputerisasi bisa terancam diretas. Setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda-beda tapi sudut pandang itu semata-mata agar tanda pengenal penduduk Indonesia bisa lebih baik dan minim bahkan tidak ada kekurangan yang berarti dengan segala kemungkinannya.

Berlangsungnya proses pelaksanaan E-KTP tidak secara instan dan memiliki beberapa kendala diantaranya terdapat kesalahan data saat operator keliru memasukan data, banyak penduduk yang tidak melakukan aktivasi karena jarak tempuh yang jauh ke kantor pemerintahan, terjadi kesalahan foto dengan data sehingga tidak sesuai, adanya kerusakan pada peralatan pendukung perekam data kependudukan yang menyebabkan terhentinya operasional sementara, pelayanan publik yang tidak maksimal, adanya penolakan dari beberapa bank karena dirasa E-KTP belum memenuhi syarat transaksi perbankan. Proses pelaksanaannya tidak berjalan dengan mulus dan masih memiliki kendala internal dari pemerintah dan eksternal dari pihak luar yang memerlukan kepastian data kependudukan. Pemerintah terlihat kurang siap dalam menjalankan program E-KTP dan kurang mengantisipasi kendala-kendala yang mungkin akan terjadi.

Sampai pada munculnya konflik yang ditimbulkan beberapa pihak tidak bertanggung jawab untuk memperjual belikan blangko E-KTP karena proses penerimaan E-KTP yang lama bahkan sampai dua tahun penduduk  Indonesia belum mendapatkan E-KTP. Sehingga membuka celah untuk memanfaatkan situasi ini demi mendapat keuntungan. Berbagai alasan bermunculan atas kasus ini diantaranya habisnya blangko yang disebabkan beberapa pejabat korupsi sehingga anggaran untuk blangko tidak cukup memenuhi jumlah kapasitas penduduk di Indonesia. Kasus jual beli blangko yang bisa diakases secara online sedang marak diperbincangkan dan menjadi fokus bagi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam evaluasi pengawasan data kependudukan. Data yang sifatnya rahasia ini justru sangat rawan untuk disalahgunakan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Terkait data yang bisa disalahgunakan untuk kepentingan pemilihan umum, juga rawan diperjual belikan untuk kepentingan lain. Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh memastikan insiden jual beli blangko E-KTP di toko online tidak akan mengganggu berlangsungnya pemilihan umum pada 17 April 2019.

Kasus jual beli blangko E-KTP menimbulkan beberapa risiko diantaranya dipakai sebagai transaksi jual beli narkoba dan koruptor. Risiko yang sangat mengkhawatirkan ini diserahkan pada pihak kepolisian. Penyalahgunaan ini dipakai koruptor untuk membuka rekening baru. Disalahgunakan untuk bisnis haram narkoba sebagai data palsu pada transaksinya.

Mudahnya menjual dan mendapatkan E-KTP di Pasar Pramuka, Jakarta Pusat semakin membebaskan akses untuk penyalahgunaan data di berbagai hal. Tidak terlewatkan pula blangko E-KTP dijual secara online melalui Tokopedia. Penjual online itu tak lain merupakan anak Kepala Dinas Dukcapil Lampung. Pelaku memiliki akses untuk menyalahgunakan tanggung jawabnya untuk kepentingan pribadi.

Terlepas itu semua diperlukan kerjasama oleh pihak-pihak lain untuk antisipasi E-KTP palsu. Cara pertama dengan bekerjasama bagi seluruh lembaga menggunakan card reader. Lalu, bekerjasama dengan Dukcapil untuk mengakses data agar Nomor Induk Kependudukan (NIK) bisa terlihat. Cara antisipasi yang bisa digunakan untuk memperketat penyalahgunaan blangko E-KTP.

Apa yang terlintas dalam pikiran bila kita mendengar elektronik kartu tanda penduduk atau biasa disingkat E-KTP ? Elektronik kartu tanda penduduk digunakan sebagai identitas penduduk Indonesia. E-KTP dibuat secara elektronik dalam bentuk fisik dan penggunaanya melalui komputerisasi.

Keberadaanya dimulai sejak Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia meluncurkan program itu pada Febuari 2011. Lalu, E-KTP bagi penduduk Indonesia tentunya tidak asing karena sejak awal diumumkannya sudah memicu pro dan kontra hingga terjadinya beberapa konflik yang menyebabkan tersendatnya proses pembuatan E-KTP bagi penduduk Indonesia.

Sebelum menggunakan E-KTP, Indonesia pernah mengalami perubahan KTP beberapa kali. Awal hadirnya KTP pada zaman penjajahan Belanda disebut sebagai sertifikat kependudukan. Lalu berubah saat penjajahan Jepang disebut sebagai KTP propaganda. Kembali bertransformasi pada awal-awal kemerdekaan 1945 disebut sebagai surat tanda kewarganegaraan Indonesia. Setelah kemerdekaan 1945 tepatnya tahun 1967-1970 surat tanda kewarganegaraan Indonesia sedikit direvisi dengan menambahkan tanda tangan untuk mendukung legalitas oleh Kepala Urusan Pendaftaran Penduduk. Tahun 1978, KTP kembali mengalami perubahan dengan dilaminatingnya blangko kertas. Perubahan kecil kembali tejadi pada tahun 2002 saat KTP diubah warnanya menjadi kuning. KTP khusus untuk daerah Aceh hadir sebgai KTP darurat Aceh, sebab Aceh mengalami masa darurat militer pada tahun 2003. Transformasi selanjutnya KTP Nasional bisa digunakan di seluruh Indonesia dan memiliki sistem dan bentuk yang sama. Demi menyempurnakan data kependudukan Indonesia pemerintah kembali melakukan perubahan melalui elektronik KTP pada tahun 2011 yang bahkan berlaku Internasional karena sistem metode yang ditampilkan lebih akurat.

Awal kemunculan program pemerintah untuk menerbitkan E-KTP memiliki beberapa pertimbangan terutama hal-hal menguntungkan yang bisa didapat yaitu identitas jati diri tunggal, tidak dapat dipalsukan, tidak dapat digandakan, bisa dipakai dalam pemilu atau pilkada bahkan secara online. Selain itu, data didukung dengan penyimpanan sepuluh sidik jari walaupun data yang tersimpan dalam chip pada E-KTP hanya dua tapi memiliki maksud agar bisa menekan biaya daripada tambahan biometrik lain, bentuk pada sidik jari akan selalu sama dan tidak mengalami perubahan walau tergores ataupun luka, lebih akurat karena semua orang memiliki sidik jari yang berbeda-beda bahkan bagi kembar sekalipun, sebab setiap manusia unik dan berbeda-beda. Alasan tadi dirasa tepat bagi kementerian memunculkan E-KTP untuk mengurangi kemungkinan penduduk menggandakan KTP, mendukung data yang akurat, meningkatkan kualitas dan mempermudah pelayanan kepada masyarakat.

Bila terdapat keunggulan pada E-KTP tentu terdapat pula kelemahannya. Kekurangan pada E-KTP yaitu tidak menggunakan tanda tangan sehingga saat melakukan transaksi perbankan E-KTP tidak diakui dan perlu bagi pemegang E-KTP melakukan surat rekomendasi dari Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk memenuhi syarat perbankan. Memenuhi syarat perbankan menjadikan pemegang E-KTP harus lebih ekstra dalam usaha memenuhi syarat perbankan dalam data kependudukan.

Sejak awal kemunculan program pemerintah dengan hadirnya E-KTP menimbulkan pro dan kontra. Beberapa pihak merasa hadirnya E-KTP merupakan solusi tepat untuk menghindari dan mengurangi pemalsuan data kependudukan di Indonesia. Sementara yang lain kontra dan diragukan oleh masyarakat karena risiko yang besar terhadap data komputerisasi bisa terancam diretas. Setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda-beda tapi sudut pandang itu semata-mata agar tanda pengenal penduduk Indonesia bisa lebih baik dan minim bahkan tidak ada kekurangan yang berarti dengan segala kemungkinannya.

Berlangsungnya proses pelaksanaan E-KTP tidak secara instan dan memiliki beberapa kendala diantaranya terdapat kesalahan data saat operator keliru memasukan data, banyak penduduk yang tidak melakukan aktivasi karena jarak tempuh yang jauh ke kantor pemerintahan, terjadi kesalahan foto dengan data sehingga tidak sesuai, adanya kerusakan pada peralatan pendukung perekam data kependudukan yang menyebabkan terhentinya operasional sementara, pelayanan publik yang tidak maksimal, adanya penolakan dari beberapa bank karena dirasa E-KTP belum memenuhi syarat transaksi perbankan. Proses pelaksanaannya tidak berjalan dengan mulus dan masih memiliki kendala internal dari pemerintah dan eksternal dari pihak luar yang memerlukan kepastian data kependudukan. Pemerintah terlihat kurang siap dalam menjalankan program E-KTP dan kurang mengantisipasi kendala-kendala yang mungkin akan terjadi.

Sampai pada munculnya konflik yang ditimbulkan beberapa pihak tidak bertanggung jawab untuk memperjual belikan blangko E-KTP karena proses penerimaan E-KTP yang lama bahkan sampai dua tahun penduduk  Indonesia belum mendapatkan E-KTP. Sehingga membuka celah untuk memanfaatkan situasi ini demi mendapat keuntungan. Berbagai alasan bermunculan atas kasus ini diantaranya habisnya blangko yang disebabkan beberapa pejabat korupsi sehingga anggaran untuk blangko tidak cukup memenuhi jumlah kapasitas penduduk di Indonesia. Kasus jual beli blangko yang bisa diakases secara online sedang marak diperbincangkan dan menjadi fokus bagi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam evaluasi pengawasan data kependudukan. Data yang sifatnya rahasia ini justru sangat rawan untuk disalahgunakan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Terkait data yang bisa disalahgunakan untuk kepentingan pemilihan umum, juga rawan diperjual belikan untuk kepentingan lain. Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh memastikan insiden jual beli blangko E-KTP di toko online tidak akan mengganggu berlangsungnya pemilihan umum pada 17 April 2019.

Kasus jual beli blangko E-KTP menimbulkan beberapa risiko diantaranya dipakai sebagai transaksi jual beli narkoba dan koruptor. Risiko yang sangat mengkhawatirkan ini diserahkan pada pihak kepolisian. Penyalahgunaan ini dipakai koruptor untuk membuka rekening baru. Disalahgunakan untuk bisnis haram narkoba sebagai data palsu pada transaksinya.

Mudahnya menjual dan mendapatkan E-KTP di Pasar Pramuka, Jakarta Pusat semakin membebaskan akses untuk penyalahgunaan data di berbagai hal. Tidak terlewatkan pula blangko E-KTP dijual secara online melalui Tokopedia. Penjual online itu tak lain merupakan anak Kepala Dinas Dukcapil Lampung. Pelaku memiliki akses untuk menyalahgunakan tanggung jawabnya untuk kepentingan pribadi.

Terlepas itu semua diperlukan kerjasama oleh pihak-pihak lain untuk antisipasi E-KTP palsu. Cara pertama dengan bekerjasama bagi seluruh lembaga menggunakan card reader. Lalu, bekerjasama dengan Dukcapil untuk mengakses data agar Nomor Induk Kependudukan (NIK) bisa terlihat. Cara antisipasi yang bisa digunakan untuk memperketat penyalahgunaan blangko E-KTP.

(Chlarisa/ 2101663211)