medi11Saya (kedua dari kiri) bersama kawan-kawan saat berkunjung ke mesjid Grande Mosquèe de Paris

Menjalani kehidupan di Eropa, bukan hanya dituntut untuk dapat hidup mandiri, tetapi juga dituntut untuk bisa beradaptasi dengan keadaan. Contohnya, saya sebagai seorang muslim ingin beribadah ke mesjid, tetapi disana jarang sekali saya temukan sebuah mesjid, kebanyakan adalah gereja karena mayoritas disana adalah umat Kristen dan Katolik. Selama tinggal di Lille, saya tidak pernah pergi ke mesjid karena sekalinya ada pun letaknya sangat jauh dari tempat tinggal saya sehingga sulit untuk dicapai. Namun, jika di kota besar seperti Paris, setidaknya ada satu mesjid besar yang terkenal dan sering menjadi tempat kunjungan banyak orang, baik sebagai turis, atau untuk beribadah. Mesjid tersebut ialah Grande Mosquèe de Paris, letaknya berada di tengah kota dan tidak sulit untuk diraih. Walaupun saya tidak pernah beribadah ke mesjid selama di Lille, tetapi setidaknya saya pernah beribadah di mesjid besar di Paris.Tidak ada mesjid pun tidak menjadi hambatan bagi saya untuk melakukan ibadah wajib, saya masih bisa melakukannya dimana saja yang memungkinkan dan tepat waktu.

Selain ibadah wajib, saya juga melakukan ibadah sunnah (tidak diwajibkan), yaitu puasa senin – kamis. Melakukan puasa ini juga banyak manfaatnya. Selain mendapat pahala, saya juga dapat berhemat karena tidak perlu makan siang. Namun, saya menghadapi keadaan yang tidak pernah saya temui sebelumnya selama di Indonesia.Keadaan tersebut dikarenakan oleh adanya empat musim di Eropa. Pada awal tahun, yang merupakan masih musim winter saya rajin sekali melaksanakan puasa senin-kamis karena ternyata durasi waktu yang harus ditempuh lebih pendek dari yang biasanya saya lakukan di Indonesia. Waktu subuh berkumandang pukul 7 pagi, sedangkan waktu magrib berkumandang sekitar pukul 5 sore, sehingga saya hanya berpuasa selama 10 jam. Pada minggu-minggu itu saya sangat senang dan rajin untuk berpuasa, karena bebannya pun tidak terlalu berat, walaupun kadang cuaca dingin suka membuat perut menjadi lapar.

Namun, lama kelamaan musim berganti,dari winter menjadi spring. Semakin musim berganti, semakin lama pula waktu siang yang ditempuh. Waktu subuh yang tadinya berkumandang pukul 7 pagi, lama kelamaan maju menjadi pukul 5 pagi, sama seperti di Indonesia. Namun, waktu matahari tenggelam pun semakin mundur, dari yang biasanya pukul 5 sore lama kelamaan menjadi pukul 9 malam. Hal itu menandakan bahwa waktu yang ditempuh untuk puasa pun semakin lama, yang tadinya hanya membutuhkan waktu 10 jam kemudian berganti menjadi 16 jam, bahkan lebih lama daripada waktu puasa di Indonesia yang hanya membutuhkan waktu 13 jam. Apalagi jika sudah memasuki musim summer, yaitu musim panas yang waktu puasanya bisa mencapai 20 jam. Untungnya, sebelum memasuki musim panas, saya sudah pulang ke Indonesia, jadi tidak perlu melakukan puasa ramadhan disana (Siti Meidina, mahasiswa pertukaran pelajar Marcomm Binus-ISTC, Lille, Prancis)