Oleh Romanus Ndau Lendong  

Akademisi Universitas Bina Nusantara, Jakarta

Partai Golkar (PG) sedang dilanda krisis hebat. Cita-cita double winner, yakni memenangkan Pileg dan Pilpres 2014 berantakan. Perolehan kursi DPR RI tinggal 91 buah alias kehilangan 15 kursi dari Pemilu 2009. PG juga gagal mengajukan Capres/Cawapres. Inilah kado pahit PG memasuki Ulang Tahun Emas, 20 Oktober 2014.

Situasi ini menyulut ketidakpuasan, kekecewaan bahkan kemarahan sebagian besar kader. Lemahnya kepemimpinan Aburizal Bakrie (ARB) dituding sebagai penyebab terpuruknya prestasi dan reputasi PG. Tokoh-tokoh senior PG seperti Prof. Suhardiman, Ginandjar Kartasasmita, Andi Mattalata, Agung Laksono,  dan Zainal Bintang secara terbuka mendesak agar Munas segera digelar demi menyelamatkan citra dan martabat PG.

Imbas Pilpres

Nasib PG akan sedikit tertolong andaikata ARB mau mendengar suara rakyat. Mengetahui dukungan rakyat atasnya sebagai capres minim, termasuk dari kader dan pemilih PG, ARB seharusnya meneladani Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarno Putri. Tanpa ragu, Megawati menepi dan membuka jalan bagi Joko Widodo sebagai capres.

Sayangnya, keteladanan Mega diabaikan ARB. Bukannya mendukung JK Kalla sebagai salah satu kader terbaik  PG, ARB justru merapat ke Prabowo-Hatta. Tampaknya ARB tidak ikhlas menerima kenyataan bahwa rakyat lebih menghendaki JK ketimbang dirinya.

Diukur dari sisi apa pun, pilihan merapat ke Prabowo-Hatta sulit diterima nalar normal.  Pertama, PG adalah peraih suara terbanyak kedua sehingga dari logika politik tidak masuk akal untuk mendukung Prabowo-Hatta yang perolehan suara partainya berada di bawah PG.

Kedua, koalisi dengan Prabowo-Hatta bukan didasarkan pada kesamaan ideologi dan idealisme partai  melainkan semata-mata atas gairah power seeking, yakni tawaran posisi menteri utama dan posisi-posisi strategis lainnya di kabinet. Idealisme partai untuk mendorong demokrasi dan good governance terkubur oleh pragmatisme kekuasaan.

Ketiga, bagi sebagian besar kader dan pemilih PG, mendukung  JK jauh lebih rasional dan prospektif.  Rasional karena JK pernah menjadi pemimpin tertinggi PG dan telah berjasa membesarkan partai ini. Kedekatan emosional kader dan pemilih PG dengan JK tidak mungkin dilenyapkan begitu saja. Prospektif karena andaikata pasangan ini dinyatakan menang pada 22 Juli nanti, maka posisi  strategis tokoh yang dikenal cekatan ini akan membawa kontribusi besar bagi kemajuan PG.

Saat partai dilanda ancaman perpecahan, ARB semestinya bersikap arif. Tindakan provokatif seperti memecat tiga kadernya, yakni Agus Gumiwang Kartasasmita, Poempida Hidayatulloh dan Nusron Wahid karena mendukung Jokowi-JK, jelas tidak produktif  sebaliknya berpotensi memperlemah soliditas internal partai. Keselamatan partai harus menjadi prioritas sehingga berbagai potensi konflik harus dicarikan solusi dalam semangat kebersamaan. Cara-cara otoriter sudah tak layak lagi diterapkan. Sebagai partai modern, ARB harus mampu membangun sistem yang demokratis sehingga semua kader memiliki posisi yang setara dan patut didengar. Keputusan politik yang bersifat strategis harus tumbuh dari semangat kebersamaan.

Atas dasar itu, patut disesalkan ketika ARB menandatangani koalisi permanen tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan segenap kader PG. Tindakan tersebut mencerminkan tingginya antagonisme ARB dan Koalisi Merah-Putih terhadap Jokowi-JK yang oleh mayoritas lembaga survei diprediksi akan memenangkan Pilpres 2014. ARB sepertinya ingin menunjukkan bahwa dirinya masih memiliki kekuatan untuk mengendalikan partai.

Munas Dipercepat

Krisis PG merupakan indikasi buruknya kinerja ARB. Pasca Munas Riau Desember 2009, partai ini tidak dikelola secara professional. Agenda-agenda pembaruan yang didengungkan ARB tidak lebih dari macan kertas. Konsolidasi partai lemah, kaderisasi asal-asalan, dan penguatan demokrasi serta pembangunan tidak dilandasi formula jelas. ARB juga tidak memiliki respek terhadap kader-kader yang setia bekerja dan berkorban untuk memajukan dan membesarkan partai.

Saat parpol lain giat melakukan konsolidasi untuk memenangkan Pileg, ARB justru sibuk dengan upaya mengamankan posisinya sebagai capres tunggal PG. Padahal berbagai survei menunjukkan  popularitas dan elektabilitasnya tidak beranjak naik meski segenap sumber daya sudah dikerahkan. Saran Ketua Dewan Pertimbangan, Dr. Akbar Tandjung agar pencapresan ARB dievaluasi tidak diakomodasi bahkan ditanggapi emosional. Banyak kader yang kritis juga akhirnya memilih diam demi mengamankan posisi masing-masing.

Meski bertekad memenangkan Pemilukada dan Pileg, namun proses rekrutmen calon dilakukan secara tertutup dan dikendalikan segelintir elite yang merasa diri paling hebat dan berkuasa. Kriteria calon pun dikerucutkan pada kepemilikan modal ekonomi ketimbang kapasitas intelektual dan integritas. The party of ideas yang kerap didengungkan ARB tidak lebih dari jargon kosong. Semua ini berakhir tragis bagi PG karena banyak kader yang bertumbangan di Pemilukada dan Pileg.

Saatnya PG untuk berbenah diri. Munas harus dipercepat untuk meminta pertanggungjawaban ARB atas semua kebijakannya selama ini. Di atas segalanya, Munas harus mampu melahirkan kepemimpinan yang sungguh-sungguh ingin membesarkan partai dan bukan sekadar menguasainya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. ***