Kebutuhan Kritis Akan Ruang Publik yang Ideal
“Negara demokrasi yang sehat ditentukan oleh ruang publik yang sehat.”
Kalimat ini merupakan sepenggal konsep ruang publik yang dikenalkan oleh Habermas (1989) dan sangat dibutuhkan oleh NKRI saat ini.
Menurut Habermas, di dalam ruang publik yang ideal masyarakat bebas berpendapat dan menyatakan sikap apapun, tanpa intervensi serta terbebas dari tekanan. Namun, yang terjadi saat ini, ruang publik kita belum sampai pada tahapan yang ideal. Masih banyak anggota masyarakat minoritas yang belum dapat berpendapat dengan bebas, atau belum mendapatkan akses ke ruang publik yang netral.
Konsep ruang publik ini juga disinggung oleh Denny JA dalam artikelnya yang berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?” Dalam artikel ini, Denny mempertanyakan mengenai konsep NKRI Bersyariah dan menyatakan negara saat ini lebih membutuhkan ruang publik manusiawi daripada mengganti dasar negara. Hanya saja Denny tidak membahas ruang publik seperti apa yang ideal dan seharusnya diperjuangkan ini.
Kembali ke konsep ruang publik dari Habermas, arena untuk berbagi gagasan ini diharapkan menghasilkan solusi-solusi atas permasalahan yang dialami bersama. Ruang publik sendiri tidak perlu selalu bersifat fisik (dalam bentuk gedung pertemuan atau taman), namun juga dapat bersifat virtual (kanal media cetak atau digital), asalkan mudah diakses oleh semua orang dan tidak adanya intervensi.
Perkembangan ruang publik erat kaitannya dengan pertumbuhan literasi dan timbulnya jurnalistik di Eropa. Perkembangan jurnalisme publik mendorong media massa menjadi alat yang mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Hanya sayangnya media massa hingga saat ini masih menjadi corong bagi kalangan tertentu saja dan belum bisa bergerak tanpa adanya intervensi dari pihak lain. Salah satu contoh termudah adalah munculnya iklan-iklan di berbagai media massa yang menjadikannya sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan.
Konsep yang ditawarkan oleh Habermas memang dianggap masih banyak kelemahannya dan bentuk idealnya sulit untuk diwujudkan. Melalui artikelnya, Denny seakan menawarkan “bentuk lain” dari ruang publik, yaitu ruang publik yang manusiawi. Jika dikaji dari perkembangan konsep ruang publik, maka seharusnya mencakup berbagai lapisan masyarakat dan bukan hanya memberikan ruang bagi satu golongan saja. Tetapi bagaimana mengukur ruang publik yang selain transparan, mudah diakses, tanpa intervensi, namun juga manusiawi? Bagaimana mengukur kadar manusiawi?
Jika ditilik arti kata manusiawi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka berarti bersifat manusia atau memiliki sifat-sifat manusia. Sedangkan sifat-sifat manusia merupakan sifat dasar bawaan, baik alamiah maupun lahiriah dari manusia. Sifat-sifat paling esensial yang dibawa sejak penciptaan manusia.
Sifat manusia adalah suatu hal yang kompleks karena mencakup psikologis, perasaan, dan prilaku, di mana ketiganya tidak sepenuhnya negatif maupun tidak sepenuhnya positif. Manusiapun terlahir dengan membawa berbagai sifat di dalam dirinya. Dan setiap manusia pasti menghadapi tantangan untuk menyeimbangkan sifat-sifat bawaan ini serta mengikuti norma-norma yang berlaku.
Pandangan akan sifat manusia ini juga dijabarkan oleh Kluckhohn dan Strodtbeck (1961) yang menyatakan latar belakang budaya juga mempengaruhi pandangan terhadap sifat dasar manusia. Ada tiga pandangan yaitu manusia pada dasarnya baik, jahat, atau campuran diantara keduanya. Jadi kalau dianggap sifat manusiawi sepenuhnya positif adalah tidak benar, begitu pula jika dianggap sepenuhnya negatif. Lantas manusiawi seperti apa yang dimaksud oleh Denny? Karena sifat manusia tidak sepenuhnya terdiri dari yang baik saja, yang jahat pun termasuk sifat manusiawi.
Mungkin lebih baik kalau kita juga melihat permasalahan ruang publik yang tejadi di Indonesia. Masalah pertama terkait ruang publik secara fisik. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan proyeksi dari badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), penduduk Indonesia akan terus meningkat hingga tahun 2050. Meningkatnya jumlah penduduk juga berarti semakin minimnya ruang publik, termasuk Ruang Terbuka Hijau Publik (RTHP) yang idealnya 30% dari luas wilayah.
Masalah kedua terkait pertukaran informasi dan pembentukan wacana umum yang terjadi di dalam ruang publik. Di sinilah biasanya hak masyarakat untuk menggunakan ruang publik menjadi terabaikan. Sebagian besar ranah publik dikuasai oleh media massa, yang hampir semuanya menjual jam tayang untuk mencapai keuntungan. Hingga saat ini televisi masih menjadi media massa yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia, dan hampir seluruh program di televisi berorientasi pada rating. Fokus utama pada rating membuat media sebagai bisnis yang paling menjanjikan. Kembali hak-hak publik yang dilecehkan.
Pembentukan ruang publik yang ideal memang membutuhkan usaha serta komitmen perubahan dari berbagai pihak. Keberadaan dan kualitas ruang publik yang ada harus dijaga dan dikembangkan. Jaminan kebebasan berpendapat, ketersediaan akses, dan transparansi harus diperjuangkan selama kita menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh: Mia Angeline
Comments :