22 Desember, hari Ibu atau hari Perempuan?
Sabtu pagi, sejak dini hari bertubi ucapan selamat hari hadir Ibu melalui telepon selular, dan berbagai akun media sosial yang saya miliki yang membuat saya tetap terpapar dengan berbagai informasi baru yang tersebar di seantero jagat.
Sungguh menarik mencermati berbagai kalimat yang digunakan untuk memuji dan memuja ibu dalam kaitan hubungannya dengan anak-anak mereka, yang memenuhi hampir seluruh ucapan selamat yang saya terima dan baca. Kalimat-kalimat yang seakan memperteguh bahwa peran perempuan hanya dalam ranah domestik.
Diantara deru ucapan selamat hari Ibu yang memperteguh peran “sempit” perempuan, ada pula beberapa teman yang berupaya meluruskan makna 22 Desember sebagai hari penghargaan terhadap perempuan yang telah sejak pra kemerdekaan berjuang bagi kesetaraan perempuan dengan kaum adam, serta bahu membahu bersama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kalimat yang ingin menunjukkan kepada mereka yang belum memahami secara benar, atau yang mencoba melupakan, bahwa di Indonesia sudah sejak lama perempuan tidak hanya berkiprah di ranah domestik, tetapi perempuan juga memiliki kemampuan dan akses untuk berperan aktif di ranah sosial, dan politik, serta disegani oleh mitranya, kaum laki-laki.
Merujuk pada sejarah ditetapkannya tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu oleh Presiden Sukarno melalui Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959, menujukkan bahwa Negara dan Pemerintah sejak awal kemerdekaan telah mengakui peran perempuan dalam Negara; mengingat bahwa tanggal 22 Desember 1928 adalah tanggal pertama kali para pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah Nusantara berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan kualitas Bangsa melalui sebuah Kongres Perempuan yang diselenggarakan di Yogyakarta.
Memahami fakta ini, dan kemudian fakta lain yang menempatkan perempuan dalam posisi “tertindas” dan “terlindas”, yang banyak sekali mewarnai berita di media cetak maupun elektronik, hati saya berkecamuk dan otak segera berswapolemik, manakah yang sebetulnya yang paling bermakna bagi kehidupan, Ibu atau Perempuan? Apakah memang perlu kedua kata tersebut (yang tentu memiliki makna masing-masing) kita pertentangkan dalam peringatan Hari Ibu tanggal 22 Desember?
Ibu sebagai Pelopor Perubahan
Geliat otak yang rumit dengan mempertimbangkan perlakuan Negara terhadap perempuan dalam kaitan Tenaga Kerja Indonesia, perlakuan para pejabat yang cenderung memposisikan perempuan sebagai pemuas khayal seksual, peraturan daerah yang seakan menempatkan perempuan sebagai penyebab perilaku haram kaum lelaki, mendorong saya kemudian untuk menetapkan pilihan bahwa bagi saya tanggal 22 Desember adalah hari Ibu, bukan hari Perempuan; karena bagi saya kata Ibu tidak menghilangkan peran perempuan dalam ranah-ranah lain selain ranah domestik. Bahkan Ibu adalah tokoh utama dalam kemajuan sebuah Bangsa dan Negara. Jargon yang sudah bertahun-tahun didengungkan namun sirna dalam pelaksanaan kehidupan Negara.
Pendapat saya tentu mengundang gerutu dan protes, namun bukan tanpa dasar. Pendapat tersebut muncul dari pertanyaan utama: Bagaimana mungkin perempuan Indonesia sebelum kemerdekaan, ketika akses terhadap pendidikan amat terbatas, jauh lebih maju daripada perempuan Indonesia setelah kemerdekaan, ketika pendidikan dapat diakses oleh setiap orang? Artinya pendidikan yang menurut Romo Mangunwijaya seharusnya memerdekakan individu agar seluruh potensinya tergali, alih-alih memerdekakan perempuan dari jerat konstruksi sosial, bahkan semakin membelenggu perempuan ke dalam ikatan budaya yang menempatkannya pada posisi tidak setara dengan mitranya, kaum adam.
Bilamana di kepala sebagian orang memahami kesetaraan sebagai peperangan untuk mengambil peran yang lain, maka yang sebenarnya kesetaraan adalah ketika perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang sama untuk memilih peran masing-masing secara bebas dan sadar, dan dihargai atas pilihan tersebut. Hanya ibulah yang bisa menciptakan perempuan dan laki-laki yang bisa menghargai lawan jenisnya berdasarkan potensi yang dimiliki, bukan berdasarkan peran yang telah ditentukan oleh budaya, terutama jika pendidikan formal di sekolah-sekolah tidak mampu mencerdaskan pikiran muridnya untuk keluar dari budaya yang telah menyempitkan peran perempuan dan membuatnya sebagai kaum lemah yang pantas ditindas. Kesetaraan tidak mungkin dapat diraih apabila kedua belah pihak yang bermitra tidak mampu menghargai mitranya sebagai seorang manusia serta peran yang dipilihnya.
Berdasarkan pada pertimbangan itulah saya memilih tanggal 22 Desember sebagai hari Ibu, bukan hari Perempuan, karena Ibu adalah pelopor perubahan, Ibu dapat masuk pada ranah-ranah lain selain rana domestik dalam perkembangan kehidupan anak-anaknya, baik perempuan maupun laki-laki.
Dennis Stevenson dalam Blogsnya tanggal 15 April 2008 menterjemahkan pelopor perubahan sebagai seseorang yang mampu merubah kemampuan manusia atau sistem organisasi untuk meraih derajat yang lebih tinggi atau aktualisasi diri (“alters human capability or organizational systems to achieve a higher degree of output or self actualization”).
Sebagai seorang manusia yang memiliki keistimewaan, sejak dalam kandungan Ibu sudah dapat menanamkan harapan-harapannya, atau bahkan menanamkan nilai, norma, aturan kepada janin yang dikandungnya. Dalam perkembangan berikutnya Ibu mempengaruhi anak-anaknya dalam menetapkan siapa diri mereka dan bagaimana posisi diri mereka dalam kehidupan bermasyarakat, melalui berbagai pelatihan dan motivasi kepada anak-anaknya untuk meraih kemampuan-kemampuan terbaik dari potensi mereka. Dimanakah peran ayah, tentu saja ada, namun ketika Ibu tidak dapat bermitra setara dengan ayah, maka pilihan pengetahuan kesetaraan harus dipelajari seorang anak dari tempat lain dan pengaruhnya terhadap penetapan identitas dirinya akan tergantung kepada seberapa dini pengetahuan itu diperolehnya. Oleh sebab itu tidak ada pilihan, peran pelopor perubahan harus dipercayakan kepada Ibu.
Bila kita melihat berbagai acara di media elektronik, yang sudah menggantikan peran buku, dongeng, serta tonil, maka harapan diperolehnya pengetahuan kesetaraan oleh seorang anak di Indonesia sangat tipis. Sinetron, film, dan berita tak henti memperteguh perempuan sebagai mahluk cerewet yang senang dengan barang mewah dan mendorong suaminya untuk korupsi, sehingga ia pantas dianiaya. Bahkan penetapan kuota 30% bagi perempuan untuk duduk sebagai wakil rakyat, tidak mampu mengubah kebijakan yang menempatkan perempuan sebagai mahluk terpinggirkan. Oleh sebab itulah harapan saya besar kepada Ibu, karena Ibulah yang dapat melepaskan belenggu budaya, memampukan dan mencerdaskan anak laki-laki dan perempuannya untuk menolak kebiasaan-kebiasaan yang tidak memberi ruang kepada setiap orang untuk dapat dihargai.
Sudah waktunya Negara, mendudukan Ibu tidak hanya sebagai sosok yang membesarkan dan mendidik anak, tetapi sebagai pelopor perubahan yang mendobrak budaya yang mengkerdilkan sebuah Bangsa untuk dapat menjadi Bangsa yang besar sebagaimana maksud ditetapkannya tanggal 22 Desember sebagai hari Ibu.
Selamat hari Ibu kepada para perempuan yang telah berhasil mendidik anak laki-lakinya untuk menghargai pikiran dan pendapat isteri-isteri mereka serta perempuan-perempuan lain yang menjadi mitra kerjanya, dan yang telah berhasil mendidik anak perempuannya untuk menghargai dirinya sebagai individu merdeka dan mandiri yang menghargai laki-laki sebagai mahluk yang setara dengan dirinya.
Oleh:
Nursamsiah Asharini
Pengajar pada Universitas Bina Nusantara
Anggota Forum Kajian Antropologi Indonesia
Comments :