Pembentukan Karakter Mindful Communication pada Anak Usia Emas melalui Proses Pembuatan dan Presentasi Karya Seni
Ketua:
Bhernadetta Pravita Wahyuningtyas, S.Sos., M.Si (D3494)
Anggota:
Dr. Dra. Ulani Yunus, M.M (D4643)
Maria Anggia Widyakusumastuti, S.Sos., M.M (D4466)
Daniel Bermo Satria Wiguna, S.I.Kom., M.Si (D4935)
Jurusan Marketing Communication
Fakultas Ekonomi Dan Komunikasi
Universitas Bina Nusantara
E-Mail: bhernadetta@gmail.com; bwahyuningtyas@binus.edu
ABSTRAK
Penelitian ini memaparkan tentang bagaimana karakter mindful communication pada anak-anak usia emas dibentuk melalui proses pembuatan dan presentasi hasil karya seni yang mereka ciptakan di institusi pendidikan di tempat mereka belajar. Karakter mindful communication merupakan salah satu karakter penting yang idealnya dimiliki oleh setiap individu, yang pembentukannya sudah dimulai ketika seseorang berusia nol hingga tujuh tahun.Karakter mindful communication merupakan karakter yang menitikberatkan pada perilaku komunikasi yang maksimum dalam simpati serta empati, namun minim iritasi.Teori yang digunakan adalah teori dari komunikasi antar pribadi, yang dikenal dengan namaMindful Communication.Penelitian ini menggunakan Paradigma Konstruktivis. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, metode penelitian yang digunakan adalah fenomenologi.Seseorang yang tidak memiliki karakter mindful communication pada diri mereka, berpotensi untuk mengalami kesulitan komunikasi dan mengiritasi perasaan orang lain, bahkan juga menyakiti lingkungan sosialnya secara umum.
Kata Kunci: Mindful Communication, Anak Usia Emas, Pembentukan karakter, Pendidikan Dasar Usia Dini
ABSTRACT
This study describes how mindful communication characters of the children in their golden age is formed through the process of creating and presenting the art work that they created in the educational institutions. Mindful communication character is one of the important characters are ideally held by each individual, whose formation had already started when someone aged zero to seven years old. It is a character that focuses on the behavior of the maximum communication in sympathy and empathy, but minimal irritation. This study used Mindful Communication as the main concept. Constructivist paradigm and descriptive qualitative approach are used by this study. The research method is phenomenology. people who do not have the character of a mindful communication have the potential to experience difficulties in communication and irritate others, even hurt their social environment in general.
Key words: Mindful Communication, Golden Age Children, Character Building, Early Learning.
PENDAHULUAN
Pernahkah Anda salah menyampaikan sesuatu sehingga orang lain merasa terluka? Tanpa kita pernah sadari, setiap kejadian dan/atau peristiwa dalam hidup kita adalah peristiwa komunikasi. Kejadian tersebut kita warnai sendiri tergantung dari kuas berbentuk apa yang ada di tangan kita, dan warna apa yang kita sediakan, karena pada hakikatnya komunikasi itu seumpama melukis diatas kanvas dengan kata-kata (Nadrich, 2013).
Dalam berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya, seseorang bisa saja menemui masalah atau hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Hambatan bisa berbentuk penggunaan bahasa yang berbeda, nilai-nilai, norma masyarakat, atau perilaku komunikasi yang berbeda di tiap budaya. Syarat terjalinnya hubungan yang baik adalah melalui komunikasi yang terbangun atas dasar saling pengertian sehingga pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya dalam budaya yang berbeda dapat berlangsung tanpa kendala.
Perbedaan gaya berkomunikasi kerap kali menjadikan komunikasi tidak efektif.Hal ini terjadi karena perilaku komunikasi yang berbeda sering menimbulkan perbedaan persepsi.Kenyataan tersebut menunjukan pentingnya memiliki karakter mindful communicationdari setiap individu.Adaptasi terjadi dalam dan melalui komunikasi. Ruben (1975) menyebutkan karena komunikasi melibatkan interaksi dari seseorang dan lingkungan, maka kita dapat meneliti pola komunikasi pada anak usia nol sampai tujuh tahun dalam proses pembuatan dan presentasi karya seni ciptaan mereka. Atau dengan kata lain, kita dapat melihat bagaimana seorang anak mendengarkan instruksi, menceritakan kembali apa yang mereka buat dan menghargai hasil karya orang lain.
Karakter mindful communication tidak bisa dibentuk dengan tiba-tiba. Pembentukan karakter ini memerlukan sebuah proses yang tidak sebentar, dan sebaiknya dimulai sejak dini. Pembentukan karakter mindful communication ini dapat dilakukan sejak anak usia emas, yaitu usia nol hingga tujuh tahun. Karakter mindful communicationpada anak-anak usia emas dapat dibentuk melalui proses pembuatan dan presentasi hasil karya seni yang mereka ciptakan di institusi pendidikan di tempat mereka belajar.
Karakter mindful communication merupakan salah satu karakter penting yang idealnya dimiliki oleh setiap individu, yang pembentukannya sudah dimulai ketika seseorang berusia nol hingga tujuh tahun. Karakter mindful communication merupakan karakter yang menitikberatkan pada perilaku komunikasi yang maksimum dalam simpati serta empati, namun minim iritasi.Teori yang digunakan adalah teori dari komunikasi antar pribadi, yang dikenal dengan namaMindful Communication.
Setiap anak merupakan pribadi yang unik, yang memiliki minat, bakat, dan gaya komunikasinya masing-masing. Seperti memahami sebuah buku, apakah makna dan kesimpulan cerita di buku bisa didapat hanya dengan membaca awal dan akhirnya? Bukti paling kuat dan nyata akan minat, bakat dan tingkat pemahaman anak adalah yang dilakukan dan dikatakan anak saat proses pembuatan karya seni.
Permasalahan
Sesuai uraian di atas, maka penelitian ini diarahkan pada pembentukan karakter komunikasi pada anak berusia 0 hingga 7 tahun.Karakter komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang penuh pengertian ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Interaksi ini meliputi proses pembuatan karya seni hingga mempresentasikan karya seni yang telah mereka ciptakan di depan kelas.
Pertanyaan penelitian
Dalam penelitian ini disusun pertanyaan sebagai berikut:
- Bagaimana cara membentuk karakter mindful communication pada anak usia emas?
- Bagaimana institusi pendidikan dasar usia dini membentuk karakter mindful communication pada anak usia emas melalui proses pembuatan karya seni?
- Bagaimana karakter mindful communication tersebut ditunjukkan ketika anak-anakdan/atau teman-teman mereka mempresentasikanhasil karya seni ciptaan mereka?
Metodologi
Penelitian ini menggunakan Paradigma Konstruktivis. Paradigma Konstruktivis memulai premis yang menganggap bahwa dunia manusia berbeda dengan dunia ilmu alam sehingga harus diteliti secara berbeda pula. Hal ini karena manusia mengembangkan kapasitas untuk menginterpretasi dan mengkonstruksi realitas bukan sebaliknya. Dunia persepsi manusia bukanlah kenyataan yang sebenarnya sebagaimana dunia ilmu alam seperti matahari terbit dari arah Timur, melainkan dibuat dan dibentuk oleh konstruksi budaya dan bahasa, sehingga paradigma konstruktivis meneliti berbagai realita yang dikonstruksi oleh orang dan implikasi dari hasil konstruksi tersebut terhadap kehidupan dan interaksinya dengan orang lain(Patton, 2002).
Penelitian ini menggunakan dua metode secara beriringan. Penelitian tahun pertama adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan melakukan studi banding ke Melbourne, Australia. Penelitian deskriptif memfokuskan pada pertanyaan ”bagaimana” dan ”siapa”. Penelitian ini lebih memfokuskan pada penggambarkan bagaimana sebuah peristiwa terjadi, dibandingkan dengan penggalian isu-isu yang baru. (Neuman, 2003). Tahun selanjutnya tetap menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, namun dengan melakukan studi banding pada anak usiaemas di Manila, Filipina. Dilanjutkan dengan penelitian pada tahun ketiga dengan format advokasi dalam bentuk kurikulum dan materi ajarpendidikan dasar usia dini sebagai pedoman pembentukan karakter mindful communication pada anak usia emas di Indonesia.
Peneliti deskriptif menggunakan berbagai teknik pengumpulan data antara lain survei, penelitian lapangan, analisis isi, komparasi sejarah, atau pada kasus-kasus tertentu digunakan penelitian eksperimental. Penelitian deskriptif menyuguhkan gambaran atas detil-detil secara spesifik dari sebuah peristiwa,setting sosial, atau hubungan antar pihak yang diteliti.
Metode penelitian yang digunakan adalah fenomenologi. Fenomenologi adalah sebuah pendekatan metodologis yang mencakup berbagai variasi metode. Fenomenologi membantu peneliti untuk masuk dalam kehidupan seseorang dan memahami mengapa mereka mengalami kehidupan tersebut. Fenomenologi bisa berbuat lebih banyak karena menyediakan sebuah cara bagi peneliti untuk menyimpan dugaannya tentang sebuah kejadian atau pengalaman untuk memahami kehidupan informannya dari lingkungan kehidupan informan. (Daymon & Holloway, 2003)
Bahasa merupakan unsur terpenting dalam proses klasifikasi atau dalam istilah Holstein dan Gubrum disebut sebagai tipifikasi ini. Bahasa merupakan media sentral untuk melakukan tipifikasi ini yang kemudian menghasilkan makna. Hal ini memberikan suatu orientasi metodologis bagi fenomenologi dari kehidupan sosial dengan perhatian pada hubungan antara bahasa dan obyek dari pengalaman seseorang. Makna dari sebuah kata terbentuk dari apa yang menjadi acuan, kesesuaian, atau kecocokannya dengan dunia nyata, yang akhirnya sesuai dengan teori makna. Dalam kerangka ini, bahasa bertugas untuk menyampaikan informasi dan menggambarkan realita. Bahasa dipandang sebagai suatu sistem tipifikasi sehingga kata-kata merupakan bangunan konstitutif dari realita sehari-hari. Maka dari itu fenomenologi sosial bersandar pada pemikiran bahwa interaksi sosial membentuk dunia sebanyak menyampaikan makna. Pengalaman seseorang menegaskan dan menguatkan tanda bahwa individu yang saling berinteraksi dengan orang lain yang mempunyai pengalaman yang sama meski kerapkali bisa saja terjadi kesalahan pengertian.(Denzin & Lincoln, 1994: 263)
Ada dua implikasi dari penggunaan fenomenologi dalam penelitian ilmu sosial. Implikasi pertama adalah apa yang penting kita ketahui adalah apa yang dialami oleh objek kajian kita dan bagaimana mereka menginterpretasi dunia kehidupannya. Implikasi kedua adalah implikasi metodologis. Satu-satunya cara bagi kita untuk benar-benar mengetahui apa yang dialami oleh orang lain adalah dengan mengalami sendiri fenomena itu selangsung mungkin. Oleh sebab itu metode utama dalam penelitian Fenomenologi adalah melalui observasi partisipatif dan wawancara mendalam. Sementara cara melaporkan temuan dari penelitian fenomenologi adalah dengan cara mendeskripsikannya secara penuh dan mendalam. (Patton, 2002)
Subyek Kajian dalam penelitian ini pada tahun pertama adalah anak usia emas (0 – 7 tahun). Tahun kedua adalah anak usia sekolah (7-10 tahun) di Australia.Tahun ketiga adalah penggabungan hasil penelitian tahun pertama dan tahun kedua.
Hasil pengamatan dan wawancara akan dianalisis secara secara naratif dengan menyertakan beberapa kutipan pendapat para informan secara verbatim yang dapat mendukung interpretasi peneliti atas situasi dan jawaban yang diberikan oleh tiap-tiap informan.
Analisis naratif adalah sebuah analisis yang menggambarkan secara kronologis tentang peristiwa yang terjadi atau pengalaman subyek kajian. Dalam analisis naratif sosok peneliti menghilang dari proses analisis dan menggantikannya dengan suguhan detil yang konkrit secara kronologis sebagaimana adanya. (Neuman, 2003)
Peneliti yang menggunakan metode analisis naratif mengggabungkan data ke dalam gambaran deskriptif atau tergantung dengan peristiwa apa yang terjadi, tetapi peneliti akan membuat data penelitian bisa bercerita sendiri. Peneliti menerangkan data dengan menggunakan terminologi dan konsep-konsep yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya tentang subyek kajian. Analisis akan muncul dalam bagaimana peneliti mengorganisir data untuk dipresentasikan dan menceritakan peristiwanya secara detil.
Analisis naratif mendasarkan diri pada literatur yang digunakan, seperti pemilihan kata yang khusus dan kreatif untuk menceritakan tentang subyek kajian, menggambarkan sebuah setting, menunjukkan sebuah karakter, menekankan sesuatu secara dramatis, baik berupa intrik atau ketegangan.
PEMBAHASAN
Konsep Pendidikan Anak Usia Emas
Otak manusia berkembang sangat cepat hingga 80 persen pada usia 0 sampai 7 tahun. Pada usia tersebut otak menerima dan menyerap segala macam informasi, tanpa memfilter pesan baik maupun buruk. Pada masa ini perkembangan fisik, mental maupun spiritual anak mulai terbentuk. Dengan demikian maka masa usia tersebut disebut dengan masa emas anak (golden age).
Penelitian tentang perkembangan dan perilaku anak menyebutkan bahwa pengalaman anak pada tahun pertama kehidupannya sangat menentukan apakah anak ini akan mampu menghadapi tantangan dalam kehidupannya dan apakah ia akan menunjukkan semangat tinggi untuk belajar dan berhasil dalam pekerjaannya (Brazelton, 1976).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anak usia 0 sampai 7 tahun disebut dengan usia emas karena pendidikan karakter sudah mulai berjalan. Disadari atau tidak, pendidikan karakter akan membentuk bagaimana anak tersebut mampu beradaptasi dan berkembang pada masa dewasanya. Jika ada masalah dalam komunikasi ketika masa usia tersebut ada kemungkinan akan menjadi masalah pula ketika dewasanya. Penghambat akan tampak dalam proses berpikir dan berperilaku ketika dewasa dalam meraih dan mewujudkan keinginannya. Contoh, dia tidak mampu menjadi public speaker karena memiliki informasi yang buruk tentang dirinya ketika masa usia 0 sampai 7 tahun. Juga banyak ditemukan, orang dewasa yang tidak berani mengambil peluang emas karena ia tidak mau mengambil resiko dan takut akan kegagalan. Sebaliknya jika anak mengalami komunikasi yang sehat di masa usia emasnya, dia akan bersikap positif dalam hidup. Bahkan sebuah resiko akan diubahnya menjadi tantangan untuk meraih keberhasilan.
Betapa pentingnya kita fokus pada cara kita berkomunikasi dengan anak di usia golden age, karena kesuksesan mereka tidak ditentukan oleh kecerdasan otaknya saja. Kesuksesan lebih dominan ditentukan oleh kecakapan membangun hubungan emosional seseorang dengan dirinya sendiri, orang lain dan lingkungannya.
Usia dini adalah masa penentu perkembangan karakter (golden age). Pada usia dini, karakter anak akan terbentuk dari hasil belajar dan menyerap dari perilaku orang tua dan lingkungan sekitarnya. Pada usia ini perkembang mental berlangsung sangat cepat. Anak menjadi sangat sensitif dan peka dalam mempelajari dan berlatih sesuatu yang dilihatnya, dirasakannya dan didengarkannya dari lingkungan. Dengan demikian diperkirakan, komunikasi yang sehat di usia tersebut akan membentuk karakter yang positif dan sukses si anak di masa dewasanya.
Karakter anak terbentuk sebagai hasil pemahaman 3 hubungan yang pasti dialami setiap manusia (triangle relationship), yaitu hubungan dengan diri sendiri (intrapersonal), dengan lingkungan (hubungan sosial dan alam sekitar), dan hubungan dengan Tuhan (spiritual). Setiap hasil hubungan tersebut akan memberikan pemaknaan/pemahaman yang pada akhirnya menjadi nilai dan keyakinan anak. Cara anak memahami bentuk hubungan tersebut akan menentukan cara anak memperlakukan dunianya. Pemahaman negatif akan berimbas pada perlakuan yang negatif dan pemahaman yang positif akan memperlakukan dunianya dengan positif. Biasakan anak bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Selanjutnya adalah membangun hubungan spiritual dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan spiritual dengan Tuhan terbangun melalui pelaksanaan dan penghayatan ibadah ritual yang terimplementasi pada kehidupan sosial. (Hawking, 2011)
Membangun Karakter Mindful Communication Anak Usia Emas
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosio-kultural dikelompokkan menjadi: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and Kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) (Muslich, 2011). Berdasarkan kelompok tersebut maka alur pendidikan karakter mindful communication pada anak usia emas melibatkan hal-hal sebagai berikut:
- a) unsur agama yang didapatnya pada usia emas
b)unsur teori pendidikan, psikologi, nilai, sosial, budaya yang didapat dari lingkungan
- c) pengalaman terbaik (best practice) dan praktik nyata yang dilihat, didengar dan
dirasakannya
Dalam proses pengimplentasian tersebut, perlu juga didukung oleh kebijakan, pedoman, sumber daya, lingkungan, sarana dan prasarana, kebersamaan, dan komitmen pemangku kepentingan pada anak usia emas. Sehingga out-put nya adalah anak usia emas tersebut mempunyai perilaku berkarakter mindful communication.
Pengembangan Pendidikan Karakter Mindful Communication.
Dalam proses pendidikan karakter, secara aktif anak usia dini diberi kesempatan mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul dengan masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera
Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan karakter Mindful Communication dilakukan oleh kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan (konselor) secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidik dan diterapkan ke dalam kurikulum (Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2010) sebagai berikut:
Program Pengembangan Diri Dalam program pengembangan diri, perencanaan dan pelaksanaan pendidikan karakter Mindful Communication dilakukan melalui pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari, yaitu melalui hal-hal berikut:
1) Kegiatan Rutin
Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan anak usia dini secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh: kesadaran anak pada kebersihan dirinya (kuku, telinga, rambut, dan lain-lain) beribadah dengan keluarga secara bersama, memulai dengan berdoa waktu mulai dan selesai untuk suatu kegiatan tertentu ( misalnya : makan), mengucap salam atau sapaan bila bertemu orang yang dikenalnya seperti teman atau guru di sekolahnya.
2) Kegiatan Spontan
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilakukan secara spontan pada suatu kejadian di luar rencana. Kegiatan ini dilakukan biasanya dilakukan jika orang tua mengetahui adanya perbuatan yang kurang baik dari anak di usia dini yang harus dikoreksi pada saat itu juga. Apabila orang dewasa mengetahui adanya perilaku dan sikap yang kurang baik, maka pada saat itu juga orang tua harus melakukan koreksi sehingga anak usia dini tidak akan melakukan tindakan itu berulang. Contoh: membuang sampah tidak pada tempatnya, berteriak-teriak sehingga mengganggu pihak lain, berkelahi, mencuri, berpakaian tidak sesuai dengan yang seharusnya misalnya anak laki-laki mengenakan rok wanita. Kegiatan spontan berlaku untuk perilaku dan sikap anak usia dini yang baik sehingga layak dipuji, misalnya: membantu ibu mencuci piring, menolong orang lain dalam kesulitannya, memperoleh prestasi dalam olah raga atau kesenian, berani menentang perilaku teman yang tidak terpuji misalnya jika dia melihat teman pria yang menggangu teman wanita.
3) Keteladanan
Keteladanan adalah perilaku dan sikap orang tua dalam memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi anak usia dini. Orang tua adalah orang yang pertama dan utamamemberikan contoh berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai itu. Misalnya, berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih sayang, perhatian terhadap kepentingan orang lain, jujur, menjaga kebersihan.
4) Pengkondisian
Untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan budaya dan karakter Mindful Communication, orang tua harus dikondisikan sebagai pendukung kegiatan itu.
Budaya Sekolah
Selain hal-hal tercantum di atas, maka juga perlu dikaji budaya sekolah. Budaya sekolah cakupannya sangat luas, umumnya mencakup ritual, harapan,hubungan, demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, prosesmengambil keputusan, kebijakan maupun interaksi sosial antar komponen di sekolah.
Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antaranggota kelompok masyarakat sekolah. Interaksi internal kelompok dan antarkelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam budaya sekolah.
Mempertahankan Karakter Mindful Communication Anak Usia Emas
Mindfulness communication dimulai dari kebiasaan yang diajarkan oleh orang tua dan lingkungan sekitar pada anak – anak. Salah satu dari kebiasaan yang diajarkan adalah bagaimana bersikap pada orang tua, biasanya ini terjadi kalau mereka sedang berinteraksi dengan teman – teman sebaya, atau yang tidak terlalu jauh usianya.
Untuk mempertahankan karakter Mindfulness communication apabila sudah terbentuk adalah dengan tidak menyalahkan – nyalahkan anak atau menjatuhkan mental anak tersebut. Walaupun karakter apabila sudah terbentuk akan bertahan lama, tetapi seiring berjalannya waktu apabila individu (anak) tersebut ketika dewasanya ditekan, maka bisa ada kemungkinan karakter baiknya pun akan berubah ke arah yang lain. Anak butuh selalu diingatkan oleh orang tuanya yang berperan sebagai pembimbing sehingga apabila sudah mantap karakternya, anak ini ketika dewasa bisa mengajarkan karakter baik untuk lingkungannya dan ketika dia mengajarkan karakter baik pada lingkungan, disaat itulah karakter ini dapat bertahan dalam waktu yang lebih panjang.
Kemampuan mendengarkan (Listening) daripada anak juga dapat membantu mempertahankan karakter Mindfulness communication untuk jangka panjang. Dalam konteks Komunikasi antar pribadi, Listening didefinisikan sebagai sebuah proses aktif yang mana didalam proses tersebut terdapat lima tahap, yaitu menerima, memahami, mengingat, mengevaluasi, dan memberi respon dalam sebuah komunikasi.
DISKUSI
Dalam berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya, seseorang bisa saja menemui masalah atau hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Hambatan bisa berbentuk penggunaan bahasa yang berbeda, nilai-nilai, norma masyarakat, atau perilaku komunikasi yang berbeda di tiap budaya. Syarat terjalinnya hubungan yang baik adalah melalui komunikasi yang terbangun atas dasar saling pengertian sehingga pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya dalam budaya yang berbeda dapat berlangsung tanpa kendala.
Karakter mindful communication tidak bisa dibentuk dengan tiba-tiba. Pembentukan karakter ini memerlukan sebuah proses yang tidak sebentar, dan sebaiknya dimulai sejak dini. Pembentukan karakter mindful communication ini dapat dilakukan sejak anak usia emas, yaitu usia nol hingga tujuh tahun. Karakter mindful communicationpada anak-anak usia emas dapat dibentuk melalui proses pembuatan dan presentasi hasil karya seni yang mereka ciptakan di institusi pendidikan di tempat mereka belajar.
Komunikasi Antar Pribadi mengartikan Mindfulness sebagai sebuah kondisi dimana kita secara sadar berpikir dan berkomunikasi dengan cara tertentu. Sebaliknya, mindlessness adalah kurangnya kesadaran dalam berpikir dan berkomunikasi. Komunikasi antar pribadi dapat berjalan dengan tepat dan efektif apabila kita sepenuhnya menyadari keunikan situasi komunikasi, pilihan komunikasi yang tersedia, dan alasan mengapa pilihan tersebut adalah pilihan yang terbaik dari sekian banyak pilihan yang ada.
Berpikir cermat sebelum bertindak merupakan komponen penting dalam komunikasi, terutama dalam situasi-situasi yang sensitive, peka, dan canggung. Situasi yang canggung tidak dapat dihindari, dan ketika berada dalam situasi semacam itu yang harus dilakukan adalah menghadapinya. Ada baiknya kita hening sebentar dan bepikir masak-masak tentang tindakan atau ekspresi seperti apa yang akan kita berikan pada lingkungan tersebut, sehingga reaksi yang kita berikan adalah reaksi terbaik yang dapat kita tunjukkan.
Disadari atau tidak, pendidikan karakter akan membentuk bagaimana anak tersebut mampu beradaptasi dan berkembang pada masa dewasanya. Jika ada masalah dalam komunikasi ketika masa usia tersebut ada kemungkinan akan menjadi masalah pula ketika dewasanya.
Penghambat akan tampak dalam proses berpikir dan berperilaku ketika dewasa dalam meraih dan mewujudkan keinginannya. Contoh, dia tidak mampu menjadi public speaker karena memiliki informasi yang buruk tentang dirinya ketika masa usia 0 sampai 7 tahun. Juga banyak ditemukan, orang dewasa yang tidak berani mengambil peluang emas karena ia tidak mau mengambil resiko dan takut akan kegagalan. Sebaliknya jika anak mengalami komunikasi yang sehat di masa usia emasnya, dia akan bersikap positif dalam hidup. Bahkan sebuah resiko akan diubahnya menjadi tantangan untuk meraih keberhasilan.
Usia dini adalah masa penentu perkembangan karakter (golden age). Pada usia dini, karakter anak akan terbentuk dari hasil belajar dan menyerap dari perilaku orang tua dan lingkungan sekitarnya. Pada usia ini perkembang mental berlangsung sangat cepat. Anak menjadi sangat sensitif dan peka dalam mempelajari dan berlatih sesuatu yang dilihatnya, dirasakannya dan didengarkannya dari lingkungan. Dengan demikian diperkirakan, komunikasi yang sehat di usia tersebut akan membentuk karakter yang positif dan sukses si anak di masa dewasanya.
Dalam proses pendidikan karakter, secara aktif anak usia dini diberi kesempatan mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul dengan masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera
Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antaranggota kelompok masyarakat sekolah. Interaksi internal kelompok dan antarkelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam budaya sekolah.
Simpulan
Pembentukan karakter mindful communication pada anak usia emas dilakukan dengan cara memahami 3 hubungan yang pasti dialami setiap manusia (triangle relationship), yaitu hubungan dengan diri sendiri (intrapersonal), dengan lingkungan (hubungan sosial dan alam sekitar), dan hubungan dengan Tuhan (spiritual). Setiap hasil hubungan tersebut akan memberikan pemaknaan/pemahaman yang pada akhirnya menjadi nilai dan keyakinan anak.
Cara anak memahami bentuk hubungan tersebut akan menentukan cara anak memperlakukan dunianya. Pemahaman negatif akan berimbas pada perlakuan yang negatif dan pemahaman yang positif akan memperlakukan dunianya dengan positif. Awalnya adalah untuk membiasakan anak bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Selanjutnya adalah membangun hubungan spiritual dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan spiritual dengan Tuhan terbangun melalui pelaksanaan dan penghayatan ibadah ritual yang terimplementasi pada kehidupan sosial.
Institusi pendidikan dasar usia dini membentuk karakter mindful communication pada anak usia emas melalui proses pembuatan karya seni dengan cara menjalankan program pengembangan diri, perencanaan dan pelaksanaan pendidikan. Selain itu pembentukan karakter Mindful Communication dapat dilakukan melalui pengintegrasian ke dalam kegiatan sehari-hari, yaitu melalui kegiatan rutin, kegiatan spontan, keteladanan, pengkondisian.
Ketika anak-anak dan /atau teman-teman mereka mempresentasikan hasil karya seni ciptaan mereka, karakter mindful communication ditunjukkan melalui kemampuan mendengarkan (Listening) daripada anak tersebut. Dalam konteks Komunikasi antar pribadi, Listening didefinisikan sebagai sebuah proses aktif yang mana didalam proses tersebut terdapat lima tahap, yaitu menerima, memahami, mengingat, mengevaluasi, dan memberi respon dalam sebuah komunikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Beckman, H., Wendland, M., Mooney, C., Krasner, M., Quill, T., Suchman, A., et al. (2012). The IMpact of a Program in Mindful Communication on primary care physicians. Journal of Acad Med , 87(6):815-9.
Brazelton, T. B. (1976). Clinics in Developmental Medicine No.50. Neonatal Behavioral Assessment Scale. Lavenham, Suffolk: The Lavenham Press Ltd.
Daymon, C., & Holloway, I. (2003). Qualitative Research Methods in Public Relations and Marketing Communications. New York: Routledge.
Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (1994). Handbook of Qualitative Research. Third Edition. . Thousand Oaks: Sage Publications.
DeVito, Joseph A. (2013). The Interpersonal Communication Book, Thirteenth Edition. Boston, USA: Pearson Education, Inc.
Gudykunst, W. B., & Bella, M. (2002). Handbook of International and Intercultural Communication. Second Edition. California: Sage Publications.
Gudykunst, W. B., & Kim, Y. Y. (1997). Communicating With Strangers: An Approach to InterculturalCommunications.Third Edition. New York: McGraw-.
Gudykunst, W. B., Ting-Toomey, S., & Chua, E. (1988). Culture and Interpersonal Communication. New Delhi: Sage Publication.
Harvey, B. (2011). Climate Airwaves: Community Radio, Action Research, and Advocacy for Climate Justice in Ghana. International Journal of Communication , 2035-2058.
Hawking, S. (2011). A Brief History of Time: From Big Bang To Black Holes. New York: Bantam Books.
Investment in Workforce Health: Exploring The Implications for Workforce Safety Climate and Commitment2010International Journal of Accident Analysis and Prevention Vol. 42, Issue 5
Littlejohn, S. W. (2002). Theories of Human Communication 7th Edition. USA: Wadsworth Thomson Learning.
Media and Transtitional Justice: Toward a Systemic Approach2012International Journal of Communication 6 1077-1099
Mitchelstein, E. (2011). Catharsis and Community: Divergent Motivations for Audience Participation in Online Newspapers and Blogs. International Journal of Communication 5 , 2014-2034.
Moment of Hope, Mode of Realism: On the Dynamics of a Transnational Journalistic Field During UN Climate Change Summits2012International Journal of Communication 6 266-285
Mundy, P., Kasari, C., & Sigman, M. (1992). Nonverbal Communication, affective sharing, and intersubjectivity. Journal of Infant Behavior and Development Vol. 15, Issue 3 , 377-381.
Muslich, M. (2011). Pendidikan karakter: menjawab tantangan krisis multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Nadrich, O. (2013, May 23). Huffpost Healthy Living. Retrieved October 4, 2013, from Huffington Post: http://www.huffingtonpost.com/ora-nadrich/mindful-communication_b_3342760.html
Nakayama, T. K., & Martin, J. N. (2003). Intercultural Communications in Contexts. New York: McGraw-Hill.
Neuman, W. L. (2003). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. 5rd Edition. Boston: Pearson Education Inc.
Optimizing Population and Secondary Data for Disaster Management
Patton, M. Q. (2002). Qualitative Research and Evaluation Methods.3rd Edition. Thousand Oaks, California: Sage Publications.
PeaceMaker: Changing Students’ Attitudes Toward Palestinians and Israelis Through Video Game Play2012International Journal of Communication vol.6 356-380
Rahardjo, T. (2005). Menghargai Perbedaan Kultural, Mindfulness dalam Komunikasi Antar Etnis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Samovar, L. A., & Potter, R. E. (2001). Communication Between Culture. Fourth Edition. Boston: Wadsworth.
Samovar, L. A., & Potter, R. E. (1988). Intercultural Communication: A Reader. Fifth Edition. Boston: Wadsworth.
West, Richard & Turner, Lynn. H.Introducing Communication Theory: Analysis and Application, Fourth edition2010Mc.Graw-Hill
Comments :