Makna Hari Kesehatan Mental Sedunia 10 Oktober 2025
Akses Layanan di Masa Bencana & Darurat
Setiap 10 Oktober, dunia memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia (HKMS) untuk meningkatkan edukasi, kesadaran, dan aksi kolektif di bidang kesehatan jiwa. Peringatan ini pertama kali digagas oleh World Federation for Mental Health (WFMH) pada 1992 dan kini didukung luas oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) serta jejaring lembaga kesehatan di berbagai negara.
Tema 2025: “Access to Services — Mental Health in Catastrophes and Emergencies”
Tahun 2025 menyoroti akses layanan kesehatan jiwa pada situasi bencana dan kedaruratan. Fokus globalnya adalah memastikan dukungan Mental Health and Psychosocial Support (MHPSS) tersedia dan mudah dijangkau ketika krisis terjadi—mulai dari konflik, bencana alam, hingga darurat kesehatan.
Intinya: saat krisis, orang tidak hanya membutuhkan makanan, tempat tinggal, dan layanan medis—dukungan psikologis adalah kebutuhan dasar untuk bertahan, pulih, dan membangun kembali kehidupan.
Skala Masalah dan Mengapa Penting
- WHO memperkirakan hampir 1 dari 7 orang di dunia hidup dengan gangguan jiwa; depresi dan kecemasan adalah yang paling umum. Banyak yang belum memperoleh perawatan efektif.
- Dalam kondisi darurat kemanusiaan, kebutuhan meningkat drastis dan layanan kerap terganggu—karena itu aksesmenjadi kata kunci kampanye 2025.
Tantangan Akses di Masa Krisis
- Rantai layanan terputus: fasilitas rusak/evakuasi, tenaga kesehatan terbatas.
- Stigma & informasi terbatas: banyak orang tidak tahu harus menghubungi siapa, atau ragu mencari bantuan.
- Kelompok rentan: anak-remaja, lansia, penyandang disabilitas, penyintas kekerasan, serta petugas/responden pertama (first responders) sering membutuhkan dukungan intensif.
Apa yang Bisa Dilakukan (Praktik Nyata)
Individu
- Terapkan “higiene mental harian” 5–10 menit: napas 4-4-6, jurnal syukur 3 hal, batasi paparan berita/medsos pada jam tertentu.
- Jaga ritme dasar: tidur 7–9 jam, bergerak 20–30 menit per hari, makan cukup.
- Simpan 3 kontak darurat emosional (keluarga/teman/mentor) untuk check-in cepat.
Keluarga & Komunitas
- Check-in rutin (telepon/obrolan) terutama ke anggota yang paling terdampak.
- Gunakan bahasa tanpa stigma: “Terima kasih sudah cerita. Aku dengar kamu.”
- Ketahui jalur rujukan lokal (hotline/RS/puskesmas) dan bagikan informasinya.
Kampus/Perusahaan
- Sediakan kebijakan ramah kesehatan mental (fleksibilitas, akses konseling).
- Latih Psychological First Aid (PFA) untuk dosen/atasan/ketua tim.
- Tempelkan nomor bantuan di ruang publik, email footer, dan aplikasi internal.
Layanan dan Kontak Bantuan di Indonesia
- SEJIWA – Dukungan psikologis awal: 119 ext. 8 (gratis). Diluncurkan pemerintah dan dikelola bersama HIMPSI; Kemenkes/KSP menegaskan akses dapat langsung melalui 119 ext. 8.
- Halo Kemenkes – Informasi & rujukan layanan kesehatan: 1500-567 (tersedia juga kanal WhatsApp/SMS sesuai laman resmi Kemenkes).
- Darurat umum: 112 (beberapa daerah), dan PSC 119 untuk gawat darurat kesehatan. Simpan nomor yang berlaku di domisilimu.
Catatan: Saat ada pikiran menyakiti diri atau ancaman keselamatan, hubungi layanan darurat terdekat dan minta pendampingan segera.
Bagaimana Media & Institusi Bisa Berperan (Checklist Singkat)
- Edukasi publik tentang gejala, rujukan, dan hak atas pelayanan—hindari sensasionalisasi isu kesehatan jiwa.
- Aktivasi 10–10 (10 Oktober): gelar webinar singkat tentang PFA, sesi napas/grounding, kampanye pita hijau, dan bagikan materi MHPSS.
- Kolaborasi lintas sektor: puskesmas/RS, BPBD, sekolah, kampus, tempat ibadah, komunitas relawan—integrasikan dukungan psikososial dalam protokol bencana.
Peringatan 10 Oktober mengingatkan kita bahwa tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa. Tahun ini, pesan utamanya jelas: akses layanan harus dijamin, terutama ketika krisis melanda. Kurangi stigma, perluas rujukan, dan bangun jejaring dukungan—karena meminta bantuan itu wajar, dan bantuan memang ada.
Comments :