Self Harm: Rawan dikalangan Generasi Z
Masa remaja merupakan masa yang rentan dalam konflik, hal ini bisa disebabkan oleh pencarian jati diri, pola prilaku dan peran sosial. Perubahan yang terjadi pada remaja biasa disebut sebagai masa peralihan atau masa transisi. Ketika seseorang dituntut untuk dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi pada masa remaja mereka hal ini dapat meningkatkan stres dan menjadi tekanan jika tidak dapat beradaptasi dengan baik. Hal tersebut dapat berdampak pada emosi negatif dan dapat menyebabkan prilaku yang merugikan diri mereka sendiri.
Prilaku yang merugikan diri mereka sendiri disebut sebagai prilaku Self injury atau self harm yang merupakan kelainan psikologis di mana seseorang dengan sengaja melukai diri sendiri seperti mengiris, menggores, melukai, membakar kulit, mencabuti rambut, mencakar, memukul. Pada tingkat yang lebih parah, penderita memasukan sesuatu kedalam tubuh sebagai upaya mengatasi tekanan emosional atau rasa sakit secara emosional.
akan tetapi Masih ada orang-orang yang menyepelekan self harm dan menganggap bahwa hal tersebut hanya aksi untuk mencari perhatian, tidak bersyukur pada hidup atau sesuatu yang buruk turut menjadi alasan.
Karakteristik dari Generasi Z
Generasi Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1995 sampai 2010 yang tumbuh dan berkembang bersama dengan teknologi berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi Z dibesarkan pada era keresahan ekonomi dan nasional, dianggap lebih rapuh dan kurang tangguh dari generasi sebelumnya. Beberapa hal yang dianggap dapat menjadi perhatian dari Generasi Z:
- Paparan kekerasa di media
- Lebih banyak orang tua yang protektif
- Lebih enggan menggambil resiko
- Lebih mudah kewalahan dan menyerah
- Harapan yang tinggi untuk sukses
- Lebih mementingkan penampilan dan popularitas di media sosial
Generasi Z mencapai masa puber pada saat teknologi dan media sosial menjadi sebuah kebutuhan dan mengubah prilaku masyarakat. Menurut Janis Whitlock, direktur Program Penelitian Cornell tentang Self Injury dan Recovery, mengatakan “jika kamu ingin menciptakan lingkungan untuk membuat Gen Z menjadi gelisah, kita sebenarnya telah melakukannya. Stres terhadap sekolah dan konflik dalam keluarga adalah faktor-faktor kecil yang tidak dapat mereka hindari, atau tidak ingin dihindari, atau tidak tahu bagaimana cara untuk menghidar dari masalah-masalah tersebut”
Siapa saja yang bisa melakukan Self Harm?
Menurut peneliti dari Uni Research di Bergen, Norwegia, menyatakan bahwa remaja dengan pola tidur yang buruk cenderung memiliki prilaku self injury, atau menyiksa diri sendiri. Faktor lainnya adalah termasuk merokok, penggunaan narkoba dan alkohol. Presentase usia remaja yang melakukan perilaku tersebut adalah sekitar 13-17 tahun (World Health Organization, 2017). Masalah kesehatan mental diperkirakan mempengaruhi anak-anak dan remaja sekitar 10-20% diseluruh dunia. Sekitar 6% perilaku self-harm adalah penyebab dari kematian yang terjadi pada populasi yang berusia 15-29 tahun. Hal ini menunjukan bahwa dalam kasus internasional perilaku self-harm sebagian besar pelajar pernah melakukan prilaku tersebut.
Generasi Z juga secara signifikan melaporkan terkait kesehatan mental mereka bahwa telah melakukan perawatan dan terapi dari seorang perofesional sebanyak 37% lebih banyak dari generasi sebelumnya, diikuti oleh Millenials sebanyak 25%, Generasi X 26%, lalu Baby Boomer 22% dan diurutan terakhir sebanyak 15% adalah orang yang lebih tua (APA, 2019)
Di Indonesia sendiri pada tahun 2012 menunjukkan bahwa perilaku self harm terdapat sekitar 3,6%, namun pada tahun 2015 meningkat menjadi 3,9% dari populasi yang berusia 13-17 tahun.
Mengapa mereka melakukan Self Harm?
Generasi Z juga lebih tertekan daripada orang dewasa secara keseluruhan, terkait laporan pelecahan seksual dan kekerasan seksual sebanyak 53% berbanding 38% hal tersebut juga dapat menjadi pemicu seseorang melakukan Self-Harm.
Seseorang yang melakukan self harm sebagai bentuk ungkapan untuk meyalurkan emosi dan perasaan mereka, atau karena tekanan hidup yang menurut mereka terlalu berat. Pengalaman masa lalu juga bisa menjadi alasan mereka melakukan self harm. Contohnya, seseorang yang sejak kecil diejek karena sering menangis, dan orang-orang disekitar lingkungannya berkata “masa gitu aja nangis” atau “ih anak mami banget sih, karjaannya nangis mulu” Tanpa disadari pengalaman seperti itu dapat membuat seseorang terbiasa untuk tidak mengunggapkan emosinya, dan memilih jalan untuk melukai dirinya sendiri sebagai luapan emosinya.
Remaja juga mungkin lebih terbuka terkait permasalahan mereka di media sosial daripada secara langsung, jutaan hasil untuk tagar terkait self harm per tahun, tidak termasuk tagar yang disensor oleh aplikasi seperti Instagram. Hal ini menyimpulkan 60% dari remaja memiliki masalah self harm adalah perempuan, yang mereka kaitkan dengan fokus remaja perermpuan adalah pada citra tubuh mereka, tuntutan untuk harus selalu terlihat menarik, cantik, langsing yang membuat mereka tertekan. Walaupun bertolak belakang dengan masalah citra tubuh yang mengarah pada prilaku merusak diri sendiri, bagi mereka itu adalah cerminan dari bagimaan perasaan mereka tentang diri mereka sendiri dan ada juga yang menganggap sebagai sikap pembemberontakan terhadap standar kecantikan konvensional tersebut.
Internet pun dapat menjadi alasan seseorang melalukan self harm, seperti banyaknya video atau gambar seseorang yang melukai diri, hal tersebut bisa memicu orang lain untuk melakukannya juga karena rasa penasaran. Contoh nyata seorang remaja asal Belfast ketika melihat gambar (luka) di internet mendorong dia untuk melakukannya karena merasa hal tersebut adalah kompetisi.
Pola pikir juga dapat menjadi alasan mereka untuk melukai dirinya sendiri. Misalnya, sebagian orang melakukan self harm sebagai bentuk untuk menghukum dirinya sendiri karena merasa telah melakukan kesalahan dan sebagai bentuk untuk pengampunan mereka merasa pantas untuk menderita.
Beberapa orang yang melakukan self harm, didiagnosis mengalami gangguan mental dalam dirinya. Seperti, depresi, kecemasan, skizofrenia, atau gangguan kepribadian lainnya. Survey yang dilakukan di Inggris menyatakan, orang yang memiliki gejala gangguan mental cenderung lebih banyak menyakiti dirinya.
Pengobatan untuk mereka yang membutuhkan
Bisa dengan cara berkonsultasi dengan psikolog maupun psikiater, Berikut layanan psikolog puskesmas di area DKI Jakarta
Kementrian Kesehatan juga membuka nomor layanan gawat darurat 119 yang dapat digunakan untuk mencegah aksi bunuh diri, selain itu bisa dimanfaatkan untuk melaporkan dan mencegah jika melihat aski bunuh diri. Konseler swasta seperti pijarpsikologi.org/konsulgratis dan pulihcounseling@gmail.com dapat menjadi alternatif juga bagi mereka yang membutuhkan dan dapat menampung keluh kesah bagi seseorang yang tidak bisa terbuka untuk menceritakan masalahnya kepada orang terdekat
Comments :