Digitalisasi menjadikan semua urusan manusia terasa lebih cepat, namun tidak otomatis menjadi lebih mudah. Kecepatan utama yang diperopleh dari sistem digital adalah informasi, saat ini manusia di seluruh belahan bumi bukan hanya kebanjiran informasi, tetapi sudah tenggelam dalam informasi. Berbagai informasi setiap detik menghampiri para pengguna media digital, mulai dari informasi yang diperoleh melalui platform digital personal seperti WhatsApp, Line, Telegram, ataupun Discord, sampai platform yang bersifat publik seperti Facebook, Instagram, X, ataupun LinkedIn. Informasi ini tidak mudah kita saring, karena tidak jarang hadir tanpa diminta, misalnya ketika kita berada di group WhatsApp (WAG) tanpa kita inginkan selalu saja ada anggota group yang mengirimkan pesan yang belum tentu kebenarannya. Anggota lain, sering kali tanpa melakukan cek dan ricek, jika dirasa informasi yang diterima dianggap penting serta merta akan membagikan kepada group lainnya atau perseorangannya yang dianggap akan tertarik dengan informasi yang diterima.

Illustrated by ChatGPT

Informasi tentang banjir bandang misalnya, secara realtime serta merta akan menyebar di berbagai platform media sosial, karena pada saat kejadian saksi mata seringkali akan langsung merekam dengan smartphone dan menyebarkannya dengan caption atau tambahan pesan yang tidak jarang tidak sesuai realita. Melalui media sosial informasi awal ini seringkali semakin meluas, ditambahkan oleh dengan foto atau video lain, yang tidak jarang diambil dari sembarang sumber atau dari kejadian yang bukan dari tempat dimana kejadian banjir itu berasal. Tujuan awal dari share itu tentunya ingin memberikan informasi tentang keberadaan bencana alam, sehingga membuat orang waspada atau jika dibutuhkan tindakan lanjutan dengan memberikan bantuan. Perilaku membagikan informasi tentang becana dengan menambahkan pesan-pesan tentang sikap dan tindakan yang dilakukan menunjukkan bahwa orang tersebut adalah komunikator lingkungan, dengan kata lain peristiwa tersebut sejalan dengan fungsi komunikasi lingkungan.

Menurut Pezzulo dan Cox (2018) terdapat dua fungsi komunikasi lingkungan yakni:

  1. Komunikasi lingkungan bersifat pragmatis, yang berfungsi untuk meyapa, memberitahu, meminta, berjanji, memesan, mendidik, mewaspadai, membujuk, menolak dan lainnya, tentang isu-isu lingkungan melalui pesan dan non-verbal.
  2. Komunikasi lingkungan bersifat konstitutif, yang befungsi untuk mengundang suatu perspektif tertentu, membangkitkan kepercayaan dan perasaan tertentu (dan bukan lainnya), memelihara cara-cara lainnya, dan menciptakan perasaan-perasaan gambaran yang mungkin menggerakan individu untuk bertindak, secara verbal dan non-verbal.

Mengacu pada fungsi tersebut maka tantangan terbesar komunikasi lingkungan di era digital adalah bagaimana kita sebagai komunikator lingkungan dapat mengawal agar pesan-pesan yang kita sampaikan dapat menjawab tantangn media sosial yang memiliki karakteristik: memiliki jaringan yang luas, informatif, tersimpan dalam jangka waktu lama, interaktif, mampu membangun jaringan sosial dan semua pengguna bisa membuat konten. Oleh karena itu untuk mencegah tersebarnya misinformasi dan disinformasi maka dalam menyebarkan informasi berbagai isu lingkungan, penting untuk memahami psikologi komunikator dan psikologi pesan.

Psikologi komunikator dan komunikasi pesan, bila merujuk pada definisi komunikasi Laswell (1948) yang menyebutkan komunikasi sebagai who says what, in what channels to whom with what effect, psikologi komunikator berada di ranah who says dan psikologi pesan ada di what. Ketika petugas BMKG menyampaikan gempa dalam laut  yang tidak berpotensi tsunami misalnya, maka yang berpengaruh bukan hanya apa yang dia katakan, tetapi juga keadaan si penyampai pesan itu sendiri. He doesn’t communicate what he says, but he communicate what he is, artinya kita sebagai penerima pesan bukan saja harus menerima apa isi pesannya tetapi siapa yang menyampaikan pesan. Kondisi ini seperti dikatakan Aristoteles 2000 tahun lalu bahwa karakteristik komunikator atau penyampai pesan disebut sebagai ethous. Ethous terdiri dari pikiran baik, ahlak baik dan maksud baik. Jadi cermati apakah penyampai pesan menunjukkan ethous atau tidak. Carl Hovland dan Wlater Weiss (1951) menyebut konsep ethous Aristotels dengan credibility atau kredibilitas yang memiliki dua komponen yakni keahlian dan sifat dapat dipercaya.

Psikologi pesan terkait dengan penggunaan bahasa. Bahasa dapat mengatur pikiran dan gerak langkah manusia. Secara formal bahasa didefinisikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan yang dapat dibuat menurut peraturan tata bahasa (Rakhmat, 2015). Bahas juga dapat didefinisikan secara fungsional yakni sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan (socially shared means for expresing ideas). Scocially shared, karena bahasa hanya dapat dipahami jika ada kesepakatan diantara para penggunnanya. Di era digital ini, banyak berkembang kata-kata dan bahasa-bahasa yang hanya dipahami oleh sekelompok orang yang aktif di dunia digital, oleh karena itu menjadi krusial memahami perkembangan bahasa di dunia digital, sehingga pesan-pesan yang disampaikan dapat dimaknai sama oleh audiens dan penyampai informasi.