Identitas Komunikasi Media Siber di Indonesia dan Malaysia: Kunci Bertahan di Era Dominasi Media Sosial
Penelitian terbaru mengungkap bagaimana media siber di Indonesia dan Malaysia membangun identitas komunikasi untuk bersaing dengan media sosial. Temukan strategi mereka dalam menjaga kredibilitas dan keberlanjutan bisnis di era digital.
Di tengah banjir informasi yang diproduksi oleh media sosial, media siber di Indonesia dan Malaysia menghadapi tantangan berat: bagaimana mempertahankan kredibilitas sekaligus bersaing untuk mendapatkan pendapatan iklan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Muslikhin et al. (2025) mengungkap bahwa kunci bertahan bukan hanya terletak pada kecepatan pemberitaan, melainkan pada konstruksi identitas komunikasi yang kuat di empat level—personal, tampilan, relasional, dan komunitas. Studi ini melibatkan 12 media siber terkemuka di kedua negara, termasuk Kompas.com, Detik.com, dan Malaysiakini.my, serta survei terhadap 108 pembaca. Hasilnya menunjukkan bahwa meski media siber berusaha memproyeksikan diri sebagai “jurnalisme berkualitas tanpa clickbait,” audiens justru sering mempersepsikan sebaliknya. Bagaimana celah identitas ini memengaruhi keberlanjutan bisnis mereka?
Media siber di Indonesia dan Malaysia menekankan kecepatan dan akurasi sebagai identitas utama. Faktanya, 70% pembaca di kedua negara mempercayai media siber, sesuai temuan Alliance of Independent Journalists (2023). Namun, penelitian ini menemukan celah antara niat media dan persepsi audiens. Banyak pembaca menganggap judul provokatif (clickbait) masih dominan, terutama di media peringkat bawah. Seorang narasumber dari Tirto.id mengungkapkan, “Kami punya tim fact-checking ketat, tapi audiens sering menggeneralisasi semua media sama.” Hal ini menjadi tantangan bagi kredibilitas jangka panjang, terutama ketika media sosial seperti TikTok dan Instagram semakin menggeser peran media konvensional.
Tagline seperti “Clear, Fluid, and Insightful Journalism” (Tirto.id) atau “News and Views That Matter” (Malaysiakini) dirancang untuk membedakan identitas media. Namun, hanya 63% pembaca yang mengingat tagline media top, sementara media kecil hanya dikenali 34%. Padahal, segmentasi konten—seperti 42 kanal di Tribunnews.com—menjadi strategi untuk menjangkau audiens spesifik. Di Malaysia, media seperti Hmetro.com.my hanya memiliki 26 kanal, menunjukkan perbedaan strategi konten antara kedua negara.
Media siber mengandalkan platform seperti Facebook dan Google untuk distribusi konten, tetapi juga bersaing dengan mereka untuk mendapatkan iklan. Di Indonesia, hanya 20% dari total belanja iklan digital (USD 4,7 miliar pada 2025) yang diraup media siber, sedangkan di Malaysia, 125 media berebut porsi dari pasar senilai USD 1,66 miliar. Seorang editor Detik.com menyebut relasi ini sebagai “frenemy”—kemitraan yang tidak setara. Ketergantungan ini menciptakan identity gap, di mana media siber ingin dipandang sebagai mitra setara, namun algoritma platform sering mengerdilkan mereka.
Di Indonesia, Dewan Pers berfungsi sebagai penjaga etika dan kebebasan pers, sementara Malaysia baru membentuk Malaysian Media Council pada 2025. Namun, kepemilikan media oleh politisi atau pemerintah di kedua negara memengaruhi independensi. Laporan Reporters Without Borders (2023) menempatkan Malaysia di peringkat 73 dan Indonesia 108 dalam indeks kebebasan pers. “Banyak media menghindari kritik ke pemerintah karena takut kehilangan iklan,” ungkap seorang jurnalis Malaysia yang anonim.
Penelitian ini mengingatkan bahwa identity gap—ketidakselarasan antara identitas yang diproyeksikan dan persepsi audiens—dapat merusak loyalitas pembaca. Contohnya, ketika media mengklaim anti-clickbait tetapi masih menggunakan judul sensasional. Solusinya? Media perlu lebih transparan dalam proses jurnalistik dan aktif berinteraksi dengan pembaca. “Mereka harus memanfaatkan podcast atau webinar untuk menjelaskan kerja redaksi,” saran Muslikhin, peneliti utama.
Di era di mana media sosial dan content creator menguasai perhatian audiens, media siber harus lebih lincah membangun identitas yang konsisten dan otentik. Bagi pelaku industri, temuan ini menjadi peta navigasi untuk memperkuat posisi di tengah disruptor digital. Bagi pembaca, ini adalah pengingat untuk lebih kritis memilih sumber informasi. Bagaimana menurut Anda? Apakah media siber masih bisa dipercaya?
Referensi
Muslikhin, M., Setiawan, H., Widyakusumastuti, M. A., Abdul Karim Zamri, N., & Mohamad Nasir, N. N. A. (2025). Construction of cyber media communication identity in Indonesia and Malaysia in the social media era for business sustainability. Journalism, 0(0). https://doi.org/10.1177/14648849251363135
Comments :