Di tengah banjir informasi yang berseliweran di media sosial, batas antara jurnalisme dan konten hiburan makin samar. Semua orang bisa jadi “wartawan dadakan” hanya dengan modal akun dan kuota. Tapi, apakah semua yang viral itu layak dipercaya? Di sinilah pentingnya membahas etika jurnalistik apalagi di era digital seperti sekarang.

Judul bombastis seperti “Kamu Nggak Akan Percaya Apa yang Terjadi Selanjutnya!” memang menggoda. Tapi seringkali isinya tidak sesuai harapan, atau bahkan menyesatkan. Clickbait mungkin mendatangkan traffic, tapi bisa mengorbankan kepercayaan pembaca dalam jangka panjang.

Buat jurnalis dan siapa pun yang menyebarkan informasi menjaga kejujuran dan akurasi jauh lebih penting daripada sekadar viral.

Media sosial membuat informasi menyebar dalam hitungan detik. Tapi masalahnya, nggak semua informasi itu sudah terverifikasi. Kadang, satu unggahan tanpa sumber jelas bisa memicu kepanikan atau kesalahpahaman massal.

Maka dari itu, penting untuk mengecek ulang sumber sebelum membagikan sesuatu. Saring sebelum sharing.

Etika jurnalistik tetap berlaku, meskipun platform penyampaiannya berubah. Nilai-nilai dasar seperti mengutamakan fakta dibanding opini, memberi ruang hak jawab bagi semua pihak, tidak menyebarkan hoax, dan menghindari sensasionalisme yang berlebihan tetap harus dijunjung tinggi. Prinsip-prinsip ini bukan cuma tanggung jawab jurnalis profesional, tapi juga berlaku untuk siapa pun yang aktif menyebarkan informasi di media sosial.

Di sisi lain, kita sebagai audiens juga punya peran penting. Jadi pembaca yang cerdas berarti mau meluangkan waktu untuk memeriksa ulang informasi yang diterima, membandingkan dengan sumber lain, dan tidak langsung percaya hanya karena sebuah berita terlihat ramai atau viral.