Bermata Dua: Media Sosial sebagai Alat Aktivisme Digital – Visiting Professor Bruce
(Rabu, 5/6) – Binus University mengadakan seminar dengan topik menarik bersama Prof. dr. Bruce Mutsvairo, seorang Profesor dan ketua Media, Politik & Global Selatan dari Universitas Utrecht di Belanda.
Profesor Bruce juga memimpin kelompok penelitian Media, Data dan Kewarganegaraan di Departemen, dan melakukan penelitian yang berfokus pada hubungan kompleks antara jurnalisme , teknologi dan demokrasi, khususnya dalam konteks non-Western. Ia juga merupakan salah satu Direktur Global Risk Journalism Hub, yang merupakan sebuah jaringan yang terdiri lebih dari 80 peneliti jurnalisme yang berbasis di 30 negara.
Dalam artikel ini, kita akan membahas materi yang disampaikan oleh pembicara yang terkait dengan media sosial dalam membentuk masa depan aktivisme digital. Media sosial telah merevolusi cara kita berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain. Dengan miliaran pengguna di seluruh dunia, ini telah menjadi platform yang kuat untuk aktivisme digital. Namun dampaknya bukannya tanpa kontroversi.
Media sosial dapat menjadi alat yang ampuh untuk melakukan perubahan sekaligus menjadi sumber misinformasi dan perpecahan. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi sifat bermata dua dari media sosial dan perannya dalam membentuk masa depan aktivisme digital.
Di satu sisi, media sosial telah memungkinkan masyarakat untuk memobilisasi dan meningkatkan kesadaran tentang berbagai isu sosial dan politik. Platform seperti Twitter (X), Instagram, dan TikTok telah digunakan untuk menyebarkan informasi dan mendapatkan daya tarik bagi gerakan sosial.
Gerakan #ZimbabweanLivesMatter misalnya, menggunakan media sosial sebagai gerakan protes yang ditujukan kepada pemerintahan Emmerson Mnangagwa di Zimbabwe untuk menarik perhatian terhadap meluasnya krisis hak asasi manusia, korupsi, dan ketidakstabilan ekonomi.
Demikian pula, gerakan Black Lives Matter menggunakan media sosial untuk memperkuat suara komunitas yang terpinggirkan dan menuntut keadilan atas rasisme yang sistemik.
Di sisi lain, media sosial juga dikritik karena perannya dalam menyebarkan misinformasi dan melanggengkan perpecahan. Mudahnya penyebaran informasi palsu di media sosial telah menyebabkan berkembangnya berita palsu dan teori konspirasi. Hal ini tidak hanya merusak kepercayaan terhadap institusi tetapi juga berkontribusi terhadap terkikisnya nilai-nilai demokrasi.
Selain itu, media sosial juga dituduh menciptakan budaya penyederhanaan yang berlebihan, dimana isu-isu kompleks direduksi menjadi hashtag dan soundbite. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya nuansa dan pemahaman, serta kegagalan dalam mengatasi akar permasalahan.
Kesimpulannya, media sosial adalah pedang bermata dua. Meskipun berpotensi menjadi alat yang ampuh bagi aktivisme digital, hal ini juga menimbulkan risiko yang signifikan. Untuk memanfaatkan potensinya, penting bagi kita untuk menggunakan media sosial secara bertanggung jawab dan kritis.
Hal ini termasuk memverifikasi informasi sebelum membagikannya, terlibat dalam dialog yang saling menghormati dan konstruktif, dan memperkuat suara komunitas yang terpinggirkan. Dengan melakukan hal ini, kita dapat memanfaatkan media sosial untuk menciptakan perubahan positif dan membentuk masa depan yang lebih baik bagi semua orang.
Comments :