Pernahkah kalian membaca atau mendengar bahwa limbah tekstil merupakan salah satu limbah terbesar yang dihasilkan oleh Indonesia, bahkan seluruh negara? Di Indonesia sendiri sampah tektil yang dihasilkan pada tahun 2021 mencapai angka 2,3 juta ton atau setara dengan 12% dari total sampah yang dihasilkan Indonesia. 

Bayangkan bila sampah tekstil tersebut dikumpulkan pada satu tempat, dengan menumpuk sampah tekstil seberat 2,3 juta ton kita dapat membuat gunungan pakaian yang sangat besar. Dan itu hanya dalam satu tahun saja, bagaimana bila setiap tahun sampah tersebut terus meningkat seiring bertambahnya penduduk? Padahal tekstil merupakan barang yang dapat dipakai berulang kali, namun kenapa bila menghasilkan limbah sebanyak ini? 

Belum lagi produk tektil yang produksinya cepat dan massif, atau yang biasa disebut sebagai fast fashion memiliki banyak kekurangan dalam system produksi berkelanjutan atau sustainable. Biasanya brand fast fashion menggunakan pewarna pakaian yang terbuat dari bahan kimia yang berbahaya bila dibuang secara sembarangan tanpa diolah terlebih dahulu.

Mereka tidak memperhatikan bagaimana bahan kimia tersebut dapat merusak lingkungan, selama bisnis mereka mendapatkan keuntungan maksimal, mereka akan terus menggunakan system bisnis tersebut. Dan biasanya bahan—bahan sisa produksi akan mereka buang tanpa digunakan Kembali. Padahal sisa-sisa kain itu dapat diolah dan digunakan Kembali untuk membuat produk lain.

Karena itulah muncul sebuah kampanye yang dilakukan oleh brand-brand yang telah berdiri lama ataupun brand yang baru didirikan untuk membuat produk yang sustainable. Sebelum ngomongin lebih jauh tentang sustainable, kalian pernah mendengar tentang sustainable branding? atau pernah mendengar tentang merek-merek terkenal yang aktif dalam kampanye pelestarian lingkungan? Ini adalah salah satu dari contoh nyata dari sustainable branding, sebuah pendekatan atau inovasi yang membantu perusahaan membangun praktik bisnis yang peduli terhadap lingkungan dan sosial. 

Namun ada juga hal yang bisa dilakukan sebuah brand atau merek untuk menjadi brand atau merek yang sustain, yaitu dengan menjaga system produksi mereka agar tidak mencemari lingkungan, mulai dari produksi sampai ke pembuangan akhir. Seperti dari awal produksi menggunakan materi yang ramah lingkungan. Sedangkan saat tidak digunakan lagi, barang tersebut dapat di daur ulang.

Untungnya, Gerakan sustainable itu sudah banyak diikut oleh brand-brand lain. Salah satu dari brand yang mengusung sustainable branding adalah brand local yang bermerek Osem. Brand ini telah berdiri dari tahun 2014 dan mempunyai konsep produk yang terfokus pada mengusung, mengikat, dan melipat.  

Awalnya Osem hanya menggunakan warna biru pada semua produknya. Warna biru ini dihasilkan dari pewarna alami, yaitu tumbuhan Indigofera Tinctoria. Tumbuhan ini juga digunakan oleh pengusaha batik pada jama colonial untuk menambahkan warna biru pada batik mereka. Sebelum pada akhirnya digantikan oleh pewarna buatan.

Untuk bahan dasar dari pakaiannya, mereka menggunakan kain—kain yang berasal dari serat alami. Seperti katun, linen, rami, dan serat—serat alam lainnya. Sehingga akan lebih cepat emuai secara alami setelah berada di tempat pembuangan akhir.

Osem mengusung prinsip  less or zero-waste yang berarti brand ini berupaya untuk membuat produk dari bahan sisa atau bekerja sama dengan label lain yang bisa meng daur ulang bahan—bahan sisa atau yang tak terpakai tersebut. Osem menghindari penggunaan bahan plastic di produknya, hal ini dapat diperhatikan dari produk Osem yang tidak menggunakan resleting dan kancing yang berbahan dasar plastik. Bagusnya lagi, Untuk kepedulian sosialnya, sebagai brand yang memiliki prinsip sustainable fashion, Osem tetap berprinsip pada fair trade yang artinya Osem membayar upah pekerja sesuai dengan standar kondisi kerja yang baik.

Selama ini kita tidak memperhatikan faktor—faktor sustainable pada produk—produk yang kita beli dan gunakan. Kita hanya melihat hal hal luarnya saja, seperti seberapa murah dan seberapa bagusnya produk itu. Namun hal yang tidak kita perhatikan adalah apakah produk yang kita beli itu merugikan orang lain -dalam hal ini adalah pekerja yang tidak diupah sesuai regulasi dan memiliki kondisi kerja yang di bawah standar- dan merusak lingkungan.

Brand—brand yang belum sustain tersebut tetap tidak akan mengubah praktik mereka bila kita, sebagai konsumen menutup mata pada produksi mereka yang merusak lingkungan dan memperlakukan pekerjanya secara semena—mena  pada pekerjanya. Dan kita terus membeli produk—produk tersebut tanpa mengubah pilihan untuk membeli produk yang lebih sustain