Tiktok sebagai Jembatan Sukses
Sayup angin menyapa wajah seorang gadis kuncir kuda yang sedang terduduk diatas kursi roda. Dua buah jendela dengan tirai yang sudah tersibak dibiarkan terbuka. Membiarkan segerombol angin masuk menghidupi ruangan bernuansa putih gading. Ruangan yang sebenarnya luas namun terasa sesak karena seperti tidak ada kehidupan. Gadis itu terus menggambar di iPad-nya. Membiarkan kicauan burung di pagi hari yang menari diatas ranting pohon sebrang kamarnya. Tetes embun masih menempel pada utas rumput yang belum terjamah.
Sebuah suara muncul dari balik pintu kamarnya. Suasana yang tadinya Lunar buat senyaman mungkin untuk mendukungnya membuat design gaun, perlahan luntur. Sekali lagi, Ibunya meremehkannya. Ucapan itu mengagetkan gadis yang sedari tadi menikmati suasana hening nan damai. Ah iya, dia lupa mengunci pintu kamar, pantas saja Ibunya dapat masuk dan melihat aktivitasnya.
Sudah berkali-kali Ibunya selalu meremehkannya, sudah berkali-kali pula Lunar menjelaskan pada Ibunya tentang mimpi-mimpinya. Namun nihil, yang ia peroleh hanyalah ujaran tidak senonoh dari mulut sang Ibu. Gadis cantik dengan senyum merekah pun hilang menjadi gadis dengan raut tidak nyaman. Selalu seperti ini, Ibu kandungnya sendiri tidak percaya dengan bakat yang ia punya, bahkan meremehkan hanya karena anaknya lumpuh karena sebuah kecelakaan.
“Ibu mengerti dan ibu paham apabila itu diri kamu dua tahun lalu, sebelum kondisi kamu seperti ini. Sudah lah, pasrah saja, .lupakan saja cita-citamu itu yang sudah jelas akan gagal. Jangan mengharapkan sesuatu hal yang tidak pasti.” Setelah mengatakan itu Ibu pergi dari kamar Lunar dengan tatapan sinis dan menutup pintu kamar Lunar dengan sedikit membantingnya.
Mungkin Ibu hanya masih tidak bisa menerima keadaan anaknya walau sudah dua tahun berlalu, pikir Lunar. Dulu, ia sangat disayang Ibunya karena ia selalu menang lomba menggambar hingga pernah juara dua nasional, selain itu ranking disekolah tidak pernah turun dari 5 besar pararel. Otak kanan dan otak kiri Lunar sangat seimbang dan berbobot. Lunar pun berhasil masuk Fakultas Design dan Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung jalur raport. Namun, baru satu semester menjadi mahasiswi, ia mengalami kecelakaan yang menyebabkan ia harus terduduk di kursi roda selamanya. Karena hal itu, ia terpaksa berhenti kuliah atas perintah Ibunya yang tidak memiliki kepercayaan lagi terhadap dirinya yang telah lumpuh ini. Setiap hari ia hanya akan mengurung dirinya di kamar karena ia tidak mau melihat tatapan Ibu yang akan melukai hati Lunar saja.
Terlampau sedih, Lunar membuat cuitan di Twitter karena itu sudah menjadi kebiasaansehari-hari apabila ia sedang bersedih atau merasa gundah. Tak lama kemudian ada panggilan masuk dari sahabatnya, Alana. “Halo, kenapa, Al?” tanyaku, “aku yang harusnya nanya, kamu kenapa? Maksud cuitan kamu barusan itu apa? Ibumu marah-marah lagi ya? Atau ada masalah lain?” Lunar tertawa sejenak melupakan kesedihannya, “satu-satu nanyanya dong,” Alana hanya tertawa kecil diujung sana. “Aku kesana ya, Lun?”
Tanpa diiyakan pun Alana pasti akan ke rumah Lunar jika ada sesuatu yang membuat resah. “Sekarang ceritain apa yang buat kamu bikin cuitan kayak gitu,” kata Alana setelah mendudukan dirinya di kasur milik Lunar. Lunar masih di tempat semula, masih memandangi taman sebrang kamarnya dan mencoba menenangkan pikirannya sembari menceritakan apa yang terjadi tadi pagi beserta detail cita-citanya. Lunar terlihat sangat bersemangat ketika menceritakan apa yang telah lama ia impikan. Menjadi Fashion Designer ternama yang kerap diundang dalam acara-acara Fashion Show.
Alana membaringkan tubuhnya di kasur milik Lunar sembari berpikir solusi apa yang tepat kali ini, “Kamu udah ada iPad kan? Gimana kalo kamu screenrecord layar iPad-mu waktu kamu lagi nge-design? Terus upload ke TikTok, sekarang kan lagi marak dan hits banget TikTok dikalangan semua usia.” Lunar memikirkan saran Alana dengan memperhatikan setiap detailnya.
Selepas Alana pulang, Lunar mengajukan ide brilian Alana kepada Ibunya dengan harapan Ibunya akan menyayangi Lunar seperti dahulu. Namun naas, Ibunya malah semakin meremehkannya, “TikTok itu aplikasi gak jelas, sama gak jelasnya dengan kamu, buat apa berusaha atas hal yang tidak pasti, Lun? Sudah berapa kali Ibu bilang, kalau kamu itu tidak akan berhasil dengan keadaan kamu seperti ini, daripada susah-susah mencoba, kamu lebih baik diam saja seperti biasanya, tidak usah buang-buang uang Ibu untuk hal yang akan gagal!” Sentak Ibu Lunar dengan nada yang tinggi.
Hati Lunar kembali teriris. Setidak meyakinkan itukah ia? Sampai-sampai Ibunya membentak hanya untuk mematahkan mimpinya yang memang terdengar mustahil dengan kondisi saat ini. Lunar menatap gamblang dirinya didepan cermin, tak kuasa menahan tangis yang sedari tadi ia tahan agar tak nampak lemah didepan Ibunya. Apabila ia meneteskan air mata, Ibunya akan semakin meremehkannya karena mentalnya tak sekuat itu. Lunar sudah lelah menangis diam-diam di kamar ketika semua orang sudah terlelap, memang hanya Ibunya saja yang tidak bisa menerima bahwa keadaan anaknya seperti ini? Diri Lunar sendiri pun tidak terima dengan keadaan dan kecewa, dengan kakinya yang lumpuh, semua mimpinya terancam punah, namun bagaimana lagi? Kalau bukan dirinya yang bisa menerima keadaan, siapa lagi yang akan menyayangi Lunar? Gelas yang sedari tadi ia pegang untuk menenangkan dirinya, ia lempar ke cermin, satu-satunya hal yang sangat menggambar betapa lemahnya dirinya, dan ia sudah benci mendapati dirinya yang lemah itu. Cermin beserta gelas itu pecah, saling menabur menjadi satu.
Lunar tidak mau selalu menjadi lemah dan diremehkan Ibunya, ia harus membuktikan bahwa ia mampu dan kompeten. Lunar terus-menerus membuat design dengan rajin seperti sedang diberi hukuman oleh guru, tanpa henti. Ia sangat berambisi untuk mematahkan stereotip bahwa orang lumpuh tidak akan sukses. Setelah selesai membuat puluhan design dan men-screenrecord layar iPad-nya, ia mengedit agar video itu semakin menarik dan mengunggahnya di platform seperti TikTok, Twitter, dan YouTube Short.
Pengikut dan penonton kontennya semakin banyak, dan namaya semakin melonjak di ranah digital. Ketika sedang iseng membaca komen para penggemarnya, ia mendapati salah satu komen yang membuat senyum manisnya muncul dan seperti ada lampu diatas kepalanya, “Kak, coba ikut lomba design yang diadakan oleh Grand Indonesia, pemenangnya bisa kerjasama dengan Mall Grand Indonesia untuk mengadakan fashion show yang modelnya ternama semua.”
Tak mau mengambil keputusan tanpa pemikiran yang matang, ia meminta saran kepada Alana apa yang harus ia lakukan, ingin rasanya meminta pendapat Ibunya tentang hal ini namun ia takut Ibunya hanya akan semakin meremehkannya. Tentu saja Alana akan mendukung semua keputusan baik yang Lunar pilih.
Tak disangka ia akan menjadi absolute winner dari kontes design satu Indonesia itu. Seluruh pemenang, berhak menampilkan 5 karyanya di atas panggung bulan depan, kecuali sang absolute winner, ia diperbolehkan mengirim 10 karya terbaiknya untuk ditampilkan. Pengumuman kemenangan itu diumumkan secara resmi melalui website Grand Indonesia, Alana dan Lunar yang membuka pengumuman itu secara bersamaan kini berpelukan. Mimpi Lunar menjadi kenyataan! Semua usaha yang ia lakukan selama ini tidak ada yang sia-sia. Bulan depan, seluruh mata akan tertuju padanya, bulan depan, seluruh stereotip itu akan terpatahkan.
Sangat ingin rasanya ia memberitahu ibunya kabar bahagia itu, namun sekali lagi, ia takut Ibunya akan menanggapi dengan cara yang buruk dan merusak mood baiknya. Untuk acara fashion show bulan depan, ia hanya akan ditemani sahabat tercintanya, Alana.
Tak terasa satu bulan sudah berlalu, Lunar harus bersiap menghadiri acara yang telah dinantinya. Selama satu bulan ini, ia sibuk mempersiapkan karyanya yang akan segera diperlihatkan secara fisik kepada publik, bukan lagi ilustrasi yang selama ini ia unggah di platformnya. Ibunya nampak tidak ada ketika ia dijemput oleh Alana.
Fashion show yang diadakan oleh Grand Indonesia sudah dimulai. Kini, giliran karya-karyaLunar yang akan ditampilkan. Sebelum karyanya ditampilkan, para designer melakukan sambutan dipanggung. Betapa terkejutnya Lunar ketika melihat ibunya duduk di barisan penonton paling depan. Bukannya memberikan sambutan, Lunar malah membeku atas keterkejutannya. Lalu ia menatap Alana yang berada di samping panggung. Reaksi Alana hanya tersenyum dan mengacungkan jempol. Tanpa berlama-lama, ia kembali sadar dan melanjutkan sambutan. Setelah itu ia turun dan menemui Ibunya. Keterkejutan kedua adalah ketika Ibunya kini memeluknya dan mengatakan maaf beribu kali. Kedua wanita itu menangis, saling meminta maaf dan saling menyangkalnya. Lunar harus berterimakasih kepada Alana karena ia sudah memberitahu Ibunya dan meluruskan apa yang seharusnya tidak terjadi.