Pagi itu adalah kali keempatku menggunakan transportasi umum untuk berangkat ke kampus. Tampaknya jam 7 pagi adalah pemilihan waktu berangkat terburuk, apalagi di Stasiun Manggarai, tempat yang dikenal orang sebagai medan perang yang menyangkut hidup dan mati. Aku turun dari kereta dan berpindah ke yang lain, tentu dengan berdesakan seperti yang sempat kulihat di FYP TikTok di malam sebelumnya. Kereta yang saat itu kunaiki penuh dengan manusia, dan tentu saja aku dengan tinggi 150 cm terhimpit oleh orang-orang dengan badan yang lebih besar. Pintu ditutup, roda kereta mulai berputar. Aku sedikit kehilangan keseimbangan karena tidak mendapat pegangan tiang di ujung tempat duduk, dan sedikit menabrak bapak-bapak disebelahku. “Maaf, Pak,” ujarku dengan menunduk.

 

Melewati beberapa stasiun, kereta mulai terasa lebih lega, tetapi bapak yang kutabrak tadi masih berada di dekatku. Aku melangkah ke kiri, lalu diikutinya. Ibu-ibu yang duduk di depanku sepertinya mulai merasakan risihku, terlihat dari matanya yang mulai memelototi bapak tersebut. “Sini dik, duduk di sini.” katanya sambil bergeser, memberikan tempat duduk di paling ujung dekat perbatasan gerbong, meski tempat itu sangat sempit. Aku duduk, dan bapak tadi berdiri di hadapanku.

 

Setelah ibu tersebut turun di perhentiannya, bapak ini mulai mendekat dan duduk di sebelahku. Ia duduk menempel meski tempat di sebelahnya luas, kosong. Takut. Yang kurasakan hanya takut. Tidak bisa bergerak, tubuhku seolah membeku. Bapak itu membuka silangan tangannya dan menempelkannya di pahaku, dan aku hanya bisa mengucap doa dalam hati.

 

Cekrek, suara kamera terdengar, dan aku yang semula menunduk, melihat gadis di hadapanku memegang ponselnya ke arahku dan bapak di sebelahku. Tak berkata apa-apa, hanya menatap kami sambil memegang ponselnya tegak, menunjukkan bahwa Ia sudah memiliki bukti yang siap mengantar bapak itu ke meja hijau. Tangan bapak tersebut langsung ditarik, dan Ia turun di perhentian selanjutnya. Gadis tadi menghampiriku. “Kak, lain kali, kalau udah ngerasa aneh, jangan diem aja. Pura-pura telpon aja Kak, atau langsung berdiri pindah tempat. Pasti ada aja kok yang mau nemenin Kakak.” ujarnya sebelum turun di stasiun tujuannya.

Miris, mengingat kata masinis setiap sebelum kereta berjalan, “Segera laporkan bila Anda melihat tindak kekerasan seksual” seolah tak berarti, karena kita tidak tahu ke siapa harus melapor. Petugas keamanan yang terlihat hanya sesekali, seakan hanya formalitas untuk difoto sebagai laporan ke pemerintah. Gerbong khusus wanita tiada guna apabila kami yang berada di gerbong biasa tidak mendapat proteksi yang seharusnya.

Ya, seharusnya kami bisa menjaga diri kami sendiri. Ya, kami bebas menggunakan apapun yang kami inginkan. Tidak, tiada alasan untuk kaum adam melakukan tindakan tak senonoh terhadap kami. Kami bukan objek, bukan sarana pelampiasan nafsu. Untuk menegaskan, pakaian yang saya gunakan adalah celana panjang yang tidak ketat dan kemeja yang juga tidak terlalu terbuka.

Kami butuh proteksi, kami butuh hukum yang lebih ketat dan fasilitas keamanan yang lebih baik. Adalah hak kami untuk bepergian keluar rumah merasa aman, terlepas dari apapun yang kami gunakan atau perbuat. Tolong, petugas keamanan yang seharusnya menjaga keamanan kami, sebisa mungkin ditempatkan di setiap gerbong untuk berpatroli. Selain kejahatan seksual pun, banyak modus kejahatan yang dapat diminimalisir hanya dengan memaksimalkan kinerja petugas keamanan. Perketat hukuman bagi para penjahat tersebut, setidaknya tingkatkan ketakutan mereka atas hukum jika mereka tidak bisa disadarkan dengan cara halus.

Tak hanya kaum hawa, kami sebagai manusia secara umum berhak atas rasa aman dan nyaman. Mari kita saling melindungi untuk lingkungan hidup kita yang lebih aman dan nyaman.