Kita hidup di zaman serba mudah dalam mencari informasi informasi yang terjadi di sekitar kita atau bahkan informasi di seluruh duniapun mampu didapatkan dengan sangat mudah. Segala macam informasi yang didapatkan, sebelumnya dicari oleh orang orang yang bekerja di dalam dunia jurnalistik. Seringkali kita mendapatkan berita yang menyenangkan dan membuat kita merasa bahagia ketika mengetahui berita tersebut. Sebaliknya, ada beberapa berita yang terkadang mampu membuat kita terus terbebani dengan apa yang terjadi. Seperti contoh, pembaharuan informasi terkait COVID-19 yang terus bertambah di Indonesia, ledakan bom di suatu daerah, bencana alam dan lainnya. Pernahkah terfikirkan keadaan seorang jurnalis sebagai pencari berita ketika ia harus melakukan peliputan yang berbahaya? Berbahaya di sini artinya mampu merugikan para jurnalis itu sendiri. Banyak terjadi kekerasan terhadap jurnalis yang melakukan peliputan berbahaya, bisa bencana, pandemi, peliputan perang, dan sebagainya. Di Indonesia sendiri, masih terjadi kekerasan yang terjadi kepada para pencari berita atau jurnalis. Bahkan tak hanya dalam liputan berbahaya, terkadang ketika mereka membahas atau mencari informasi terkait topik yang standar, mereka mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakan. Terkadang, melakukan peliputan tentang politik yang seharusnya aman, ada beberapa jurnalis yang medapatkan kerugian ketika mencari informasi tersebut. Sebagai contoh, Najwa Shihab mendapatkan berbagai macam ancaman ketika ia ingin memberitakan fakta yang sesungguhnya, ia mendapatkan berbagai macam tekanan yang ditujukan kepadanya karena dirinya berani untuk membongkar kedok dalam permainan politik. Jelas, seorang jurnalis takkan mampu untuk mengatasi ancaman ancaman dari peliputan yang berbahaya tersebut. Ditambah lagi, seorang Jurnalis masih harus meliput untuk mencari berita guna memberitakan informasi untuk masyarakat Indonesia, padahal sekarang pandemic virus COVID-19 masih sangat banyak. Maka dari itu, sesungguhnya perusahaan medialah yang memiliki peranan penting dalam meninjau itu semua. Seorang jurnalis mencari berita untuk media dan msasyarakat, tetapi sudahkah media mampu menjamin keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan para pencari berita tersebut? Sudahkah media memberikan fasilitas yang menunjang ketika mereka hendak melakukan peliputan yang berbahaya? Apakah media mampu bertanggung jawab jika para jurnalisnya mendapatkan perlakuan atau keadaan yang buruk ketika meliput peliputan bahaya? Sebuah media yang baik tidak bisa hanya menjual berita yang berkualitas kepada masyarakat.

Tetapi sebuah media harus mampu memberikan hak-hak yang dimiliki para jurnalisnya. Selain itu, dalam melakukan pekerjaannya, seorang jurnalis harus menerapkan kode etik jurnalistik yang telah disetujui. Dalam artian ketika mereka mendapatkan kekerasan dari masyarakat atau narasumber akibat tidak menerapkan kode etik yang berlaku, hal itu di luar tanggung jawab perusahaan media, karena itu murni kesalahan jurnalisnya. Maka dari itu melakukan pekerjaan sesuai dengan standar yang telah ditentukan memang sangatlah penting. Selain itu, ketika para jurnalis melakukan peliputan peliputan yang berbahaya dan menerapkan kode etik yang berlaku, hal itu akan mengurangi kemungkinan kemungkinan buruk yang bisa terjadi kepada mereka, dan jika terjadi kepada para jurnalis, mereka memiliki hak dan perusahaan media memiliki kewajiban untuk memberikan keselamtan, keamanan, dan kesejahteraan jurnalisnya. Namun, meskipun jurnalis telah menerapkan kode etiknya, mereka seringkali masih sering mengalami kekerasan ketika mereka sedang melakukan tugasnya. Salah satu contohnya, jurnalis dari CNN Indonesia baru baru ini mengalami kekerasan oleh oknum kepolisian ketika sedang meliput tentang Omnibus Law pada kamis, 8 oktober 2020. Selain mendapatkan kekerasan dari oknum polisi, meliput berita di tengah pandemic COVID-19 cukuplah berbahaya, apalagi pada unjuk rasa kemarin, dihadiri oleh ribuan orang dari penjuru Jakarta.

Dunia sendiri tengah diresahkan oleh virus COVID-19. Maka dari itu, hal ini merupakan tantangan baru untuk para jurnalis dalam melakukan pekerjaannya dalam mencari berita. Menerapkan protokol Kesehatan yang telah disetujui adalah satu satunya jalan untuk menjamin keamanan para jurnalis itu sendiri dalam meliput dan mencari berita di tengah pandemi COVID-19 ini. Fokus penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran resiko para jurnalis ketika melakukan peliputan. Sejak awal, jurnalis memang memiliki risiko pekerjaan yang cukup berat ditambah lagi adanya pandemic COVID-19 membuat jurnalis akan semakin berisiko dalam melakukan segala macam pekerjaannya. Sebelum adanya pandemic COVID-19 saja, masih banyak tindak kekerasan yang terjadi kepada para jurnalis. Dapat dibuktikan dari beberapa dokumen, terjadi kekerasan terhadap jurnalis ketika mereka sedang melakukan pekerjaannya yaitu mencari berita untuk masyarakat. Untuk mengukur sejauh mana pemahaman para jurnalis mengenai risiko yang ia miliki dalam meliput, maka nantinya akan dilihat dari pemaparan hasil wawancara dengan jurnalis dan jika memungkinkan dengan lembaga terkait dan memaparkan gambaran terkait risiko apa yang mungkin terjadin kepada jurnalis ketika melakukan sebuah peliputan dan risiko apa saja yang bertambah ketika sedang berada di pandemic ini. Pemaparan para jurnalis serta lembaga terkait mengenai risiko yang bisa saja terjadi kepada jurnalis, dapat dijadikan salah satu indikator untuk mengukur seberapa besar risiko yang terjadi kepada para jurnalis berdasarkan dokumen yang ada dan tambahan informasi dari para narasumber.    Jalan masih panjang bagi kebebasan pers di Indonesia.Walaupun kini, jurnalis bisa lebih “bebas” untuk berbicara, tetap saja ada ancaman-ancaman yang dapat menghalangi mereka mendapatkan berita yang objektif.  padahal seharusnya dalam menjalankan tugasnya, jurnalis mendapatkan perlindungan dari Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No 40 Tahun 1999 terkait dengan perlindungan pers.

 

Daftar Pustaka 

Denzin, N. K., (2009). Interpretive Interactionism dalam Applied social research methods series 16. Sage.

Guba,  Egon G dan Yvonna S. lincoln. (1994). Competing Paradigms in Qualitative Research. Dalam Denzin (Eds). Handbook of Qualitative Research. London : Sage Publication Thosan Oaks.

Hakim, I. (2013). Upaya Perlindungan Hukum Kepada Wartawan Dari Tindak Kekerasan Pada Saat Menjalankan Tugas Jurnalistik (Studi Kasus Di Radio Elshinta Surabaya). Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum, 1(8).

Iwan, S.(2020). Kesaksian Jurnalis Meliput di Wuhan.