Dengarkan Dahulu, Berbicara Kemudian
“Teknik terpenting dalam sebuah komunikasi adalah mendengarkan”, jelas Oh Su-Hyang dalam bukunya yang berjudul Bicara Itu Ada Seninya (2021, h. 44). Mengacu pada kalimat tersebut, terlihat jelas bahwa proses berkomunikasi tidak hanya memuat unsur berbicara, namun terdapat pula unsur mendengarkan yang tidak kalah penting. Hal tersebut berkaitan dengan peranan setiap individu dalam sebuah proses komunikasi, yaitu sebagai pembicara sekaligus sebagai seorang pendengar. Peranan yang telah disebutkan sebelumnya tidak bersifat mutlak, artinya seseorang tidak dapat selamanya berbicara tanpa mendengarkan sama sekali atau mendengarkan selamanya tanpa mendapatkan kesempatan untuk berbicara. Oleh sebab itu, sebagai pelaku komunikasi, setiap individu perlu menyeimbangkan kemampuan berbicara dan mendengarkannya secara maksimal.
Sebelum melangkah lebih jauh, izinkan penulis untuk terlebih dahulu mengajukan sebuah pertanyaan sederhana. Apakah Anda mengetahui perbedaan dari mendengar dan mendengarkan? Mayoritas orang kerap mengalami kesulitan dalam membedakan kedua istilah tersebut, karena dikenal sebagai satu istilah yang sama secara awam. Akan tetapi, pada kenyataannya, terdapat perbedaan yang signifikan antara mendengar dan mendengarkan. Muhammad al-Nughaimish dalam bukunya yang berjudul Terampil Mendengarkan: Rahasia Anda Disukai Siapa Saja (2011, h. 14-15), memaparkan bahwa mendengar merupakan sebuah aktivitas sensoris di mana telinga seseorang menangkap stimulus berupa gelombang suara secara sengaja maupun tidak sengaja, sedangkan mendengarkan merupakan sebuah proses menangkap stimulus berupa gelombang suara dengan melibatkan aktivitas mental untuk memahami, memaknai, dan mengevaluasi pesan yang terkandung di dalam stimulus tersebut. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa perbedaan terbesar dari mendengar dan mendengarkan adalah keterlibatan aktivitas mental dalam proses penerimaan stimulus.
Untuk menjelaskan perbedaan antara mendengar dan mendengarkan, penulis telah mempersiapkan sebuah contoh untuk masing-masing istilah. Contoh pertama, yaitu seorang mahasiswa tengah mengerjakan soal ujian di kelasnya. Selama mengerjakan, ia tetap dapat mendengar suara dentingan jam dinding, dengungan mesin pendingin ruangan, kicauan burung, dan suara-suara lain di sekitarnya. Namun, mahasiswa tersebut tetap dapat mengerjakan soal ujiannya dengan fokus, karena ia tidak memerhatikan atau menyimak suara-suara tersebut dengan saksama. Dalam hal ini, mahasiswa tadi hanya mendengar suara-suara di sekitarnya tanpa berusaha memaknai atau mengevaluasi suara tersebut. Contoh kedua, yaitu masih seorang mahasiswa yang tengah mengikuti kegiatan belajar-mengajar di kelas. Ketika dosen menjelaskan materi di kelas, ia berusaha untuk menyimak dan memerhatikan penjelasan tersebut dengan saksama. Ia juga mencatat poin-poin penting dari penjelasan dosen tersebut untuk mendukung proses pemahamannya. Mahasiswa tersebut juga mengajukan pertanyaan apabila ia merasa kesulitan untuk memahami materi yang disampaikan. Dalam hal ini, mahasiswa tersebut dapat dikatakan mendengarkan pemaparan dari dosennya, karena terdapat usaha memerhatikan, menyimak, memahami, memaknai, mengingat, dan mengevaluasi pesan yang disampaikan sebagai wujud aktivitas mental.
Setelah memahami perbedaan tersebut, setiap individu juga perlu memahami lebih lanjut mengenai manfaat dari menjadi seorang pendengar yang baik. Manfaat tersebut (Edwards, et. al., 2020, h. 104-105) antara lain adalah meningkatkan kepuasan dalam sebuah hubungan. Dengan menjadi seorang pendengar yang baik dalam sebuah hubungan, setiap individu mampu berempati dan menghindari prasangka negatif terhadap individu lainnya, sehingga dapat meningkatkan keharmonisan serta meminimalisir potensi terjadinya konflik. Kemudian, manfaat lain dari menjadi pendengar yang baik adalah meningkatkan partisipasi dalam komunitas. Partisipasi tersebut berkaitan dengan penyelesaian berbagai problema dalam suatu komunitas tertentu, misalnya kelompok masyarakat atau bahkan negara. Dengan menjadi pendengar yang baik, setiap individu dapat memperoleh sebanyak mungkin informasi dari beragam sumber untuk membantunya dalam menemukan solusi yang efektif dan relevan bagi komunitas tersebut. Manfaat berikutnya yang tidak kalah penting adalah meningkatkan kesadaran dan selektivitas media, terutama di era digital. Ketika seorang individu mampu mendengarkan dengan baik, potensinya untuk terhindari dari pengaruh rumor atau kabar bohong (hoax) juga akan semakin meningkat. Alasannya adalah individu tersebut akan cenderung memilih untuk mendengarkan berita atau informasi tersebut secara utuh dan meninjau lebih jauh melalui berbagai sumber kredibel lainnya, sebelum memberikan respon atau reaksi atas informasi yang ia terima melalui media. Manfaat terakhir dari menjadi seorang pendengar yang baik adalah meningkatkan kesuksesan karir. Dengan menjadi seorang pendengar yang baik, setiap individu mampu menyimak segala bentuk instruksi, menghargai berbagai ide atau pendapat, serta terbuka terhadap kritik dan saran yang disampaikan kepadanya secara maksimal. Sehingga, individu tersebut dapat menciptakan citra personal yang positif untuk menunjang serta mempromosikan karirnya.
Sebagai relevansi atas penjelasan dalam paragraf sebelumnya, penulis juga memiliki sebuah pengalaman pribadi untuk menunjukkan manfaat dan pentingnya menjadi seorang pendengar yang baik. Sebelum mempelajari ilmu komunikasi, penulis merupakan seorang pribadi yang memang sangat gemar berbicara, namun sulit untuk mendengarkan dengan baik. Penulis cenderung memiliki keinginan untuk mendominasi suatu percakapan dan merasa terganggu apabila kawan bicara dalam percakapan tersebut mulai mengutarakan pendapatnya. Alasan penulis sederhana, yaitu tidak ingin tersaingi dalam hal pengetahuan. Sehingga, penulis cenderung menunjukkan gelagat yang menghalangi kawan bicara ketika hendak menyampaikan argumen atau pendapat, misalnya dengan mempercepat tempo bicara untuk menghindari interupsi.
Lantas, apakah kawan bicara yang berkomunikasi dengan penulis tidak menunjukan reaksi apapun? Jawabannya, tentu saja mereka tidak tinggal diam. Salah satu kawan bicara yang seringkali memberikan reaksi kontra terhadap perilaku komunikasi penulis adalah ibu penulis sendiri. Hal tersebut beliau lakukan karena penulis bahkan tidak bersedia mendengarkan argumen atau pendapat yang disampaikan oleh ibu penulis. Bagi beliau, perilaku komunikasi tersebut justru membuat penulis terkesan arogan, karena selalu berusaha mendominasi pembicaraan tanpa menunjukkan kesediaan untuk mendengarkan pendapat yang berbeda dari keyakinan pribadi penulis. Alhasil, selalu timbul konflik dan perdebatan di antara kami pada saat itu, di mana penulis selalu bersikukuh bahwa pengetahuan penulis memiliki nilai kebenaran yang lebih mutlak dibandingkan pengetahuan ibu penulis dan menolak untuk mendengarkan segala nasihat beliau.
Hingga pada suatu momen, penulis mengalami masalah dengan salah seorang teman di sekolah. Sebetulnya, sebelum masalah tersebut terjadi, ibu penulis telah memberikan banyak nasihat kepada penulis berkaitan dengan pentingnya sikap selektif dalam sebuah pertemanan. Ibu penulis mengatakan bahwa berprasangka buruk terhadap orang lain memang bukan sebuah hal yang baik, namun penulis harus tetap bersikap waspada terhadap kemungkinan negatif yang berkaitan dengan kepribadian seseorang dan memilah teman dalam suatu pergaulan. Namun, alih-alih mendengarkan nasihat tersebut, penulis mengabaikan ibu penulis dengan alasan tidak relevan dan klise. Alhasil, penulis justru terlibat sebuah permasalahan dengan seorang teman yang sebelumnya penulis anggap baik dan tidak mungkin menimbulkan konflik.
Sejak kejadian tersebut, penulis mengevaluasi diri dan mencoba untuk meningkatkan kemampuan mendengarkan. Sebagai upaya meningkatkan kemampuan mendengarkan, penulis mencoba untuk menonton tayangan atau membaca berbagai literatur edukatif yang berkaitan dengan pentingnya menjadi seorang pendengar yang baik dalam berkomunikasi. Penulis juga merealisasikan pengetahuan tersebut dengan mencoba untuk mengendalikan keinginan berbicara yang berlebih dan lebih terbuka terhadap berbagai pendapat atau argumen yang disampaikan oleh orang lain. Dengan menerapkan kedua hal tersebut, kemampuan mendengarkan yang penulis miliki terbukti meningkat secara konsisten. Penulis semakin mampu untuk mendengarkan setiap pendapat atau argumen yang diberikan orang lain dan memandang hal tersebut sebagai sarana untuk memperkaya pengetahuan pribadi. Bahkan kini, penulis cenderung lebih ingin mendengarkan dibandingkan berbicara. Selain itu, konflik dan perdebatan antara penulis dan ibu penulis juga mengalami penurunan frekuensi. Hal tersebut disebabkan oleh perilaku komunikasi penulis yang mengalami perubahan positif, di mana penulis dapat mengurangi kebiasaan menginterupsi nasihat beliau dan mampu mendengarkan nasihat dengan lebih saksama.
Setelah menempuh serangkaian penjelasan, lantas, bagaimana cara untuk menjadi seorang pendengar yang baik dalam sebuah proses komunikasi? Untuk menjadi seorang pendengar yang baik, setiap individu tentu perlu melatih diri secara konsisten. Dengan adanya latihan yang konsisten, individu tersebut dapat membiasakan dirinya untuk menjadi seorang pendengar yang baik. Kendati tidak langsung menunjukkan hasil maksimal, namun Latihan secara konsisten dapat menghadirkan perubahan-perubahan kecil yang berarti. Selain dengan berlatih, terdapat berbagai cara untuk menjadi seorang pendengar yang baik dalam proses komunikasi (gramedia.com), yaitu sebagai berikut mencoba membiasakan diri untuk tidak menginterupsi penyampaian kawan bicara. Dengan tidak menginterupsi, setiap individu dapat memperoleh informasi secara utuh dari kawan bicara dan menjaga kenyamanan proses komunikasi. Kemudian, memberikan respon positif terhadap kawan bicara. Usahakan untuk selalu merespon setiap penyampaian kawan bicara dengan positif tanpa menimbulkan kesan yang menghakimi, misalnya tersenyum lembut, menganggukan kepala, atau memberikan sentuhan afeksi. Terakhir, membiasakan diri untuk memberi saran atau opini terhadap penyampaian kawan bicara jika diminta. Hal tersebut disebabkan oleh kebutuhan kawan bicara ketika menyampaikan sesuatu yaitu didengarkan atau memperoleh solusi. Apabila kawan bicara hanya ingin didengarkan, maka sebaiknya setiap individu tidak memberikan opini atau saran lebih jauh sebagai wujud empati dan penghormatan terhadap kawan bicara.
Oleh sebab itu, penting bagi setiap individu untuk melatih dan membiasakan diri untuk menjadi pendengar yang baik dalam sebuah proses komunikasi. Kita semua telah mengetahui kenyataan bahwa manusia dikaruniai sepasang telinga, namun hanya dikaruniai sebuah mulut oleh Sang Kuasa. Hal tersebut mengandung makna bahwa setiap individu sebaiknya lebih banyak mendengarkan dibandingkan berbicara. Dunia ini memang tidak pernah kekurangan pembicara yang hebat, namun masih kekurangan pendengar yang baik. Dengan lebih banyak mendengarkan, setiap individu dapat memperkaya wawasan dan pengetahuannya mengenai berbagai hal di dunia, sekaligus membangun relasi yang harmonis dengan setiap orang dalam hidupnya. Hal tersebut juga secara tidak langsung memengaruhi kemampuan berbicara seorang individu, di mana wawasan yang luas serta relasi yang harmonis akan meningkatkan kredibilitas penyampaian pesannya sekaligus membangun atmosfer komunikasi yang kondusif. Maka dari itu, setiap individu sebaiknya melatih kemampuan mendengarkan secara maksimal, karena dengan kemampuan mendengarkan yang baik, seseorang juga berpotensi menjadi pembicara yang luar biasa.
Referensi:
Al-Nughaimish, Muhammad Ibrahim. (2011). Terampil Mendengarkan: Rahasia Anda Disukai Siapa Saja. Jakarta: Penerbit Zaman. h. 14-15. Diakses pada 29 November. 2022. dari https://books.google.co.id/books?id=Lz6LCwAAQBAJ&pg=PA14&dq=perbedaan+mendengar+dan+mendengarkan&hl=en&newbks=1&newbks_redir=0&source=gb_mobile_search&sa=X&ved=2ahUKEwiL69LeptL7AhWbDbcAHVhpBTAQ6AF6BAgIEAM#v=onepage&q=perbedaan%20mendengar%20dan%20mendengarkan&f=false
Edwards, Autumn, dkk. (2020). “Listening”. The Communication Age: Connecting and Engaging. California: SAGE Publication. h. 104-105. Diakses pada 29 November. 2022.
Rohman, Fandy Aprianto. (2022). “Bagaimana Cara Menjadi Seorang Pendengar yang Baik”. gramedia.com. Jakarta: Kompas Gramedia. Diakses pada 29 November. 2022. dari https://www.gramedia.com/best-seller/cara-menjadi-seorang-pendengar-yang-baik/
Oh, Su Hyang. (2021). “Pintar Mendengar, Pandai Berbicara”. Bicara Itu Ada Seninya. Jakarta: Penerbit Bhuana Ilmu Populer. h. 44. Diakses pada 29 November. 2022.