Gerakan melawan kekerasan seksual terhadap perempuan telah mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Telah banyak korban perempuan yang takut untuk angkat bicara mengenai pengalaman buruk mereka karena berbagai alasan seperti, takut dianggap hanya mencari perhatian, peristiwa yang dianggap sebagai aib atau tabu, dan juga banyak pihak yang menyalahkan korban atas apa yang terjadi pada mereka. Banyak pria yang mendapat laporan melakukan kekerasan seksual terbebas dari hukuman karena statusnya yang dianggap lebih tinggi, hanya karena ia laki-laki. Dalam kurun waktu terakhir di mana internet dan arus globalisasi telah memasuki Indonesia, telah banyak wanita-wanita yang mulai berani untuk membagi pengalamannya di media sosial. Hal tersebut terjadi karena dalam generasi ini stigma mengenai pembahasan kekerasan seksual sudah jauh berkurang dan Gen Z lebih terbuka dalam membicarakan peristiwa tersebut untuk mencari keadilan. Dengan itu, para korban merasa didengar.

Telah banyak gerakan kampanye mengenai anti kekerasan seksual pada wanita yang beredar sejak dulu, dan terus berkembang di zaman ini seperti KOMPAKS (Koalisi Muda Peduli Anti Kekerasan Seksual). KOMPAKS ini membuat kampanye yang diharap dapat menyebar ke masyarakat luas terutama dalam diskusi online, mengenai kesadaran dengan kekerasan seksual terhadap wanita. Selain itu, sudah banyak juga seminar yang diadakan oleh institut seperti sekolah dan kampus, dengan tujuan menyebarkan pemahaman dan saling berdiskusi  mengenai kekerasan seksual.

Akhir-akhir ini banyak kaum Gen Z selain menyebarkan informasi pentingnya kesadaran akan kekerasan seksual, juga berbagi mengenai pengalaman mereka di media sosial. Hal ini terjadi karena Gen Z telah menemukan pelipur lara dan dukungan dari komunitas di media sosial seperti Tiktok, Twitter, dan sebagainya. Banyak yang merasa lebih nyaman untuk berbagi pengalaman pribadinya karena di media sosial siapa pun bisa terlibat dengan satu sama lain, saling memberi dukungan, dan menemukan orang yang merasakan hal serupa juga. Fenomena ini bisa dibilang juga sebagai mekanisme koping.

Menggunakan media sosial sebagai media untuk menyebarkan kesadaran mengenai kekerasan seksual pada wanita jika tidak dilakukan secara benar akan menimbulkan beberapa risiko. Karena masih banyak yang beranggapan berbagi peristiwa tersebut sebagai suatu hal yang tabu, akan menimbulkan komentar pro dan kontra. Namun kembali lagi, upaya penggunaan sosial media sebagai sarana meningkatkan kesadaran mengenai kekerasan seksual ini merupakan suatu gerakan yang banyak manfaatnya jika dilakukan secara efektif. Dengan media sosial, kita mendapat informasi baru dan bagi yang bercerita akan mendapatkan kesan memberdayakan dan membebaskan.

Generasi ini akan tumbuh dan belajar lebih dari generasi sebelumnya, terlebih dengan perkembangan media sosial yang di mana sudah banyak orang berbicara tentang pentingnya memiliki kesadaran mengenai kekerasan seksual, dan memahami bahwa memperlakukan perempuan dengan buruk itu merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima. Permasalahan ini merupakan masalah yang kompleks dan harus diselesaikan bersama-sama dengan penegakan hukum, media sosial, sampai ke akar permasalahan pada bagaimana sistem negara ini memperlakukan perempuan yang mengalami kekerasan seksual.

 

Referensi:

Evans, E. (2020). Justice or vigilantism? Here’s why some Gen Z survivors of sexual assault are turning to social media.

Kusumah, M. S. (2017). Constructing Anti-Rape Culture (Membangun Perilaku Sadar Diri Terhadap Potensi Dan Praktik Kekerasan Seksual Melalui Arena Media Sosial).

Olivia, H., Warouw, D. M., & Senduk, J. J. (2020). Analisis Isi Berita Kekerasan Seksual di Media Online. Acta Diurna Komunikasi2(4).

Susiana, S. (2019). Kekerasan Seksual pada Era Digital. Malang: Intelegensia Intrans Publishing.

Tim Conde.co. (December 14, 2021). Aktivis Ungkap Kemajuan Selama 30 Tahun Kampanye Anti Kekerasan terhadap Perempuan. https://www.konde.co/2021/12/aktivis-ada-kemajuan-selama-30-tahun-kampanye-anti-kekerasan-terhadap-perempuan.html/