Pusing Langsung Healing: Realita Tekanan Sosial Apa yang Dihadapi Gen Z?
Jakarta – Manja dan bermental lemah sudah seperti julukan tersendiri bagi Generasi Z. Generasi yang lahir antara tahun 1995-2010 ini menerima reputasi yang buruk dikalangan generasi atasnya (Generasi Baby Boomer, Generasi X, dan Generasi Y/Millennial). Ungkapan seperti “Ah gitu aja masa ngga bisa, punya HP kan? Dipake dong!” atau “Dulu di zaman aku ngga ada teknologi secanggih ini, segalanya harus ekstra tenaga, kalian mah enak.” seakan sudah menjadi hal yang tidak asing ditelinga para Gen Z. Sadar tidak sadar, hidup di Era Industri 4.0 menuntut Gen Z untuk serba bisa. Dengan berbagai realita tekanan sosial yang dihadapi, generasi ini mampu menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental.
Belakangan ini kampanye kesehatan mental eksis di media sosial, dari yang menyuarakan esensi mencintai diri sendiri (self-love), self-reward, pentingnya membangun personal boundaries hingga self-healing yang kini menjadi sorotan publik. Hal ini disebabkan oleh maraknya Gen Z bahkan Millennial yang meramaikan aksi ini (self-healing) pada jagat dunia maya. Konteks healing sendiri kini berkaitan erat dengan berwisata, entah domestik (luar/dalam kota) dan non-domestik. Namun, secara etimologi, healing berasal dari bahasa Inggris yang memiliki arti penyembuhan, sedangkan self berarti diri, dengan ini self-healing berarti penyembuhan diri. Lalu, sebenarnya apakah healing yang disebut-sebut menjadi budaya mangkrak kerja Gen Z baru terjadi pada generasi ini? Selain itu, realita tekanan sosial apa yang dihadapi Gen Z hingga membutuhkan self-healing?
Generasi Z hidup di masa Industri 4.0 yang menekankan pada bagaimana sebuah sistem operasi dapat berjalan secara otomatis atau tanpa adanya peran manusia dalam proses produksi. Selain itu, saat ini Gen Z juga mulai memasuki pada Era Society 5.0 yang mana lebih memfokuskan pada bagaimana mengoptimalkan tanggung jawab jam kerja untuk menyelesaikan pekerjaan. Maka dari itu, Generasi Z harus menerima realita tekanan sosial yang mana ia harus lebih cerdas dan lebih tangkas dari mesin.
Kemajuan teknologi digital ini membuat Generasi Z minim diapresiasi dan inilah alasan mengapa generasi ini memilih untuk melakukan self-reward dengan liburan atau yang sekarang kerap disebut sebagai healing. Sebagai contoh, menilik satu dekade sebelum ini, memiliki kemampuan berbahasa Inggris sudah menjadi nilai plus bagi seseorang, namun di era ini Gen Z harus menerima beban dimana bahasa Inggris seakan seperti menjadi bahasa kedua dan tidak ada lagi yang dapat dibanggakan dari itu, disetiap lembar lowongan kerja pun tertulis bahwa bahasa Inggris sudah menjadi persyaratan mutlak. Skill-skill yang mungkin bagi generasi sebelumnya sangat dibutuhkan, mungkin di era ini sudah tidak begitu dibutuhkan karena dapat tergantikan oleh mesin. Menghadapi Era Industri 4.0 juga menuntut Gen Z pula untuk memiliki skill berteknologi yang baik. Ini menggambarkan bahwa standar yang tercipta di Era Industri 4.0 cukup tinggi. Untuk mendapat apresiasi di masa kini, generasi ini perlu lebih ekstra dan inilah yang menyebabkan Gen Z terbawa arus hustle culture atau budaya gila kerja. Beberapa dari generasi muda ini membutuhkan validasi sehingga ia harus membuktikannya dengan mengeksploitasi diri mengikuti banyak kegiatan di luar — akademik maupun non-akademik.
Tekanan sosial lainnya muncul dari keberadaan media sosial —Tiktok, Instagram, Twitter, Facebook, Snapchat, dan lainnya. Platform-platform tersebut seakan membuat seseorang berkapabilitas dalam memonitor kegiatan-kegiatan individu maupun kelompok di luar sana tanpa terbatas oleh jarak dan waktu. Pada zaman sebelum munculnya media sosial, orang-orang cenderung akan berfokus kepada progress diri sendiri, namun pada zaman sekarang tak jarang muda-mudi yang membandingkan dirinya hanya berdasarkan unggahan orang yang bahkan ia sendiri belum tentu kenal. Generasi Z menyebutnya dengan FOMO yang merupakan akronim dari Fear of Missing Out atau ketakutan ketertinggalan. Sebagai contoh, ketakutan ketertinggalan ketika melihat seseorang di Tiktok mengunggah aktivitas sehari-harinya yang mana bergabung dengan banyak organisasi, mengikuti kegiatan internship. Contoh lain ketika muncul sebuah trend-trend baru di bidang fashion ataupun kuliner, muda-mudi bisa terserang FOMO atau tidak mau ketinggalan. Secara garis besar, media sosial mampu menciptakan rasa cemas pada diri seseorang yang mana hal ini dapat berdampak pada psikologi individu.
Didukung dengan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2018, menunjukkan bahwa lebih dari 19 juta penduduk (usia >15 tahun) mengalami gangguan mental emosional, berdampingan dengan itu, lebih dari 12 juta penduduk (usia >15 tahun) mengalami depresi. Selanjutnya, berdasarkan Sistem Registrasi Sampel yang dilakukan Badan Litbangkes pada 2016, diperoleh data bunuh diri per tahun sebanyak 1.800 orang yang berarti setiap harinya terdapat 5 jiwa yang memilih bunuh diri, dan 47,7% korban bunuh diri berada di usia 10-39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan produktif.
Sebagai itu, self-healing bukanlah aksi negatif yang perlu diperdebatkan lagi. Setiap jiwa pernah merasa lelah, setiap jiwa bisa merasa sakit, sama artinya setiap jiwa bisa disembuhkan. Mengambil waktu sejenak untuk beristirahat tidak sama artinya dengan lemah mental, justru ini menandakan bahwa seseorang memiliki kesadaran yang baik atas dirinya sendiri. Berhenti sejenak untuk mengambil langkah besar kedepannya bukanlah hal yang baru, bahkan ini sejalan dengan mazhab filsafat yunani kuno yang disebut dengan stoicism. Stoicism mengajarkan cara hidup yang menekankan dimensi internal manusia, dimana seorang Stoik harus dapat hidup bahagia dalam kehidupan yang dinamis dan tidak terpengaruh oleh hal-hal di luar dirinya. Maka dari itu, tidak masalah untuk sementara mengambil satu langkah ke belakang dan setelahnya mengambil dua langkah ke depan, daripada secara bertahap memforsir diri dan kemudian terpaksa untuk melambat saat kehabisan tenaga.
Dengan ini, kita tahu bahwa self-healing merupakan upaya yang dilakukan untuk menyeimbangkan hidup. Namun, saat ini self-healing mendapat cap buruk dikarenakan akses bebas internet. Selama seseorang memiliki gawai, maka ia bisa mengunjungi travel-booking aplikasi untuk memenuhi akomodasi untuk liburannya, semuanya lebih mudah dibandingkan beberapa lustrum sebelumnya. Selain itu, selama seseorang memiliki akses internet dan akun media sosial, maka ia juga berkesempatan untuk membagikan momen-momen tersebut. Dengan begitulah, Gen Z dipandang sebagai generasi yang terlalu manja, walau sebenarnya self-healing mungkin sudah ada sejak zaman dahulu hanya saja tidak terekspos karena belum adanya media sosial.
Begitu menyedihkan, stigma buruk generasi Z tidak jauh karena ekspektasi tinggi generasi-generasi atas. Tumbuh berdampingan dengan teknologi membuat generasi ini dituntut untuk tidak kalah saing dengan mesin. Pada dasarnya, Gen Z justru mendapatkan lebih banyak tuntutan dibanding generasi sebelum-sebelumnya. Dengan tuntutan seperti itu, Gen Z pun masih dipaksa untuk memiliki mental yang sama seperti generasi-generasi terdahulu. Namun, tak dapat dipungkiri pula apabila generasi yang akan datang (generasi Alpha) juga akan lebih banyak mendapat tekanan karena pengaruh dari perkembangan teknologi. Dengan demikian, tidak dapat disamakan problema yang dihadapi oleh Gen Z dengan generasi Baby Boomer/generasi X/generasi Y (Millennial) sebab mereka berada pada periode yang berbeda. Tentunya, setiap generasi menghadapi kesulitannya tersendiri. Tidak ada generasi yang terburuk, semua generasi mengharapkan yang terbaik demi keberlangsungan hidup bermasyarakat. Dalam berbagai tekanan generasi ini pun akan terus berproses dan segala progres yang berjalan bukan hanya untuk generasinya tetapi juga generasi yang mendatang serta generasi diatasnya.
Referensi
Rokom. (2021, Oktober 7). Kemenkes Beberkan Masalah Permasalahan kesehatan jiwa di Indonesia. Sehat Negeriku. Diakses pada Oktober 19, 2022, dari https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20211007/1338675/kemenkes-beberkan-masalah-permasalahan-kesehatan-jiwa-di-indonesia/
Wibowo, A. S. (2013). Stoikisme. Jurnal Filsafat Driyarkara: Senat Mahasiswa STF Driyarkara.