Entrepreneurship atau kewirausahaan merupakan profesi yang sedang naik daun di Indonesia dan banyak muda – mudi Indonesia berlomba – lomba menyampaikan ide inovatif-nya untuk bersaing dalam pasar domestik maupun internasional. Indonesia sendiri sudah menelurkan beberapa wirausahawan muda yang perusahaannya telah di labeli “unicorn” karena pencapaiannya dalam dunia usaha. Ada, Nadiem Makarim dengan Gojek-nya, kemudian William Tanuwijaya pendiri dari Tokopedia dan tiga orang sahabat yang mendirikan Traveloka diantaranya, Ferry Unardi, Albert Zhang dan Derianto Kusuma. Berkat nama – nama besar diatas, banyak masyarakat Indonesia yang dimudahkan kesehariannya atas ide – ide inovatif yang mereka realisasikan dan menjadi inspirasi bagi entrepreneur – entrepreneur muda yang sedang merintis usahanya.

Namun, ironisnya dilansir dari kompas.com, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo mengatakan, “Hampir di setiap negara maju, standardnya itu memiliki (penduduk) entrepreneur di atas 14 persen. Sementara di kita, angkanya masih 3,1 persen. Artinya perlu percepatan,” ujar Presiden. Itu artinya, meski Negara kita telah menghasilkan banyak suksesor muda, namun dalam skala internasional kita belum mampu bersaing karena rendahnya minat masyarakat dalam berwirausaha.  Bahkan Negara – Negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand sudah mencapai angka diatas 4%.

Bukan tanpa alasan, faktor penghambat pertumbuhan wirausaha di Indonesia antara lain, pola pikir masyarakat yang lebih tertarik untuk mencari pekerjaan disbanding berwirausaha, rendahnya kapasitas SDM pelaku wirausaha dan regulasi yang belum mampu mengatasi persoalan sehingga menghambat perkembangan dunia wirausaha serta kendala dalam mengakses modal. Pola pikir masyarakat soal pelik-nya dunia wirausaha membuat sebagian masyarakat enggan untuk meletakan nasib mereka dalam dunia wirausaha, mereka lebih berfikir untuk mencari pekerjaan setelah mengenyam pendidikan panjang ketimbang menciptakan lapangan pekerjaan. Belum lagi stereotype yang berkembang dikalangan masyarakat yang meng-“agung – agungkan” profesi tertentu sebagai penghasil pundi – pundi kekayaan dan tolak ukur kesuksesan. Contohnya, kembali ke tahun 1980-an dimana dokter dinobatkan sebagai profesi seseorang yang memiliki intelektual tinggi dan bergelimangan harta, dan sarjana hukum dipandang rendah kala itu. Namun pada hari ini, keduanya sama – sama memiliki nama besar bagi siapapun penyandangnya. Apakah profesi entrepreneur akan bernasib sama?, mungkin saja iya.

dukungan masyarakat juga tidak kalah penting dari segala permasalahan diatas. Minat masyarakat memakai produk buatan asli Indonesia masih tergolong rendah, sehingga berita soal produk lokal kalah saing dengan produk buatan asing sudah menjadi makanan sehari – hari bagi warga Indonesia. Padahal, produk lokal Indonesia banyak yang memiliki kualitas baik atau bahkan lebih baik dari produk buatan asing. Sebagai contoh, banyak sekali perusahaan asing yang meletakan pabrik produksi mereka untuk pasar asia bahkan eropa di Indonesia. Bukan tanpa alasan, hal itu didasari dari murah-nya upah buruh di Indonesia, serta kemampuan SDM Indonesia dalam memproduksi barang – barang kualitas juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Dan hal ini terus berjalan hingga saat ini. Di Indonesia sendiri, belum banyak role model atau tokoh berpengaruh di kalangan masyarakat yang sangat membanggakan produk lokal, hanya segelintir orang saja yang menyadari potensi besar industri lokal. Masih banyak pejabat Indonesia yang membanggakan merk luar negeri demi gengsi semata.

Terlepas dari persoalan politik dan ideologi yang dianut, seharusnya kita belajar dari Tiongkok yang sedang gencar – gencarnya memperkenalkan teknologi mereka kepada dunia dan bersaing dalam pasar global. Sebelum Tiongkok dikenal dengan brand – brand smartphone yang saat ini dipakai sebagian besar masyarakat Indonesia, mayoritas industri tiongkok hanya berkutat pada bidang produksi untuk ­brand brand besar amerika, seperti contohnya perusahaan Foxconn yang memproduksi produk – produk Apple. Bahkan ada fakta yang mengatakan bahwa 80% produk yang ada di dunia merupakan hasil pabrikan tiongkok. Menyadari potensi tersebut, mereka mulai mengembangkan industri – industri rumahan yang kemudian menjadi industri massal. Dukungan masyarakat-nya terhadap produk dalam negeri juga tinggi, fakta-nya mayoritas masyarakat tiongkok menggunakan produk smartphone dengan merk lokal, meskipun pada awal kemunculannya produk – produk tersebut dianggap tidak layak pakai, masyarakatnya tetap konsisten untuk memakai produk lokal sebagai bentuk dukungan terhadap produk dalam negeri. Dengan begitu para wirausahawan semakin teliti dalam memproduksi produk mereka, sehingga kualitas akan terus menerus di perhatikan, hingga akhirnya sekarang beberapa merk tiongkok yang dahulu dipandang sebelah mata, kini menjadi salah satu produk pilihan masyarakat dunia.

Masalah lain sulitnya entrepreneur berkembang adalah sistem pendidikan Indonesia yang tidak mengajarkan wirausaha sejak dini. Sistem pendidikan Indonesia cenderung mencetak lulusan bermental pegawai daripada mental wirausahawan. Hal ini didukung dengan pemikiran orang tua yang melulu mendewa-dewakan prestasi akademik anaknya. Saat mendapati anak mereka mendapat nilai ulangan yang jelek, mereka akan cenderung memarahi anaknya. Kebanyakan dari mereka sering mendoktrin mindset pikiran anak mereka apabila nilai akademik jelek akan susah mencari pekerjaan atau menjadi pegawai. Para orang tua seharusnya, meluangkan waktunya untuk berdiskusi tentang apa keinginan anak mereka. Sistem pendidikan, pemikiran orang tua serta lingkungan yang demikian akan menciptakan anak-anak bermental pegawai. Sungguh tak terpikirkan, anak-anak diajarkan menjadi pegawai di perusahaan, tapi siapa yang mendirikan perusahaan itu jika bukan wirausahawan. Anak-anak, remaja sangat membutuhkan cukup waktu dengan orang dewasa agar dapat mendukung, mendorong serta membantu mereka mencari tahu siapa mereka, bagaimana dunia bekerja, dan apa peran mereka dalam masyarakat.

Agar dapat mencetak wirausahawan, elemen penting dalam pendidikan ini adalah pendidikan kewirausahaan. Idealnya, konsep kewirausahaan harus diintegrasikan ke dalam kurikulum dari Sekolah Dasar (SD) sampai pasca Sekolah Menengah Atas (SMA). Sementara fakta dilapangan, hanya sekolah – sekolah bergengsi saja yang menerapkan kurikulum entrepreneurship / kewirausahaan, khususnya international school. Jika pun ada negeri yang menerapkan kewirausahaan dalam mata pelajaran mereka, kewirausahaan hanya di letakan pada muatan lokal dengan kualitas tenaga pengajar yang kurang memadai. Padahal di usia muda seperti itu, merupakan usia yang produktif untuk menggagas ide – ide cemerlang jika diarahkan dengan benar. Lebih mirisnya, beberapa orang tua kerap memaksa anaknya untuk masuk ke jurusan yang mereka inginkan demi gengsi semata. Bahkan hal ini masih terjadi hingga anak masuk ke perguruan tinggi negeri, orang tua rela mengeluarkan kocek yang besar demi memaksa anaknya untuk masuk ke prodi dan jurusan yang mereka inginkan melalui jalur yang tidak seharusnya.

 

 

Kendala selanjutnya yang dihadapi masyarakat yang ingin berwirausaha adalah Modal. Untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) masih dihadapkan dengan administrasi yang sulit serta nilai pinjaman yang terbatas. Bahkan sebagian dari UMKM masih belum tersentuh lembaga keuangan (bank), sehingga banyak juga dari UMKM mengambil jalan untuk memanfaatkan lembaga keuangan mikro walaupun dengan beban dan resiko yang cukup berat.

Namun, permasalahan vital ini bukan tanpa solusi, beberapa UMKM yang tergabung dalam komunitas TDA (Tangan di Atas) menawarkan permodalan dengan sistem patungan bagi mereka yang beromset Rp.300 juta perbulan. Kemudian patungan dilakukan oleh UKM besar yang beromset kisaran Rp. 1 Miliar hingga Rp. 50 miliar, kemudian diterapkan sistem bagi hasil. Selain itu, sistem kreditnya pun mudah.

Kemudian jika menelisik pada sistem distribusi, banyak sekali UMKM yang masih bermasalah dengan sistem distribusi produk mereka. Banyak UMKM yang sebenarnya memiliki kualitas produk yang bagus namun menomor sekiankan promosi dan distribusi. Kebanyakan UMKM hanya mengandalkan rekomendasi dan omongan dari mulut ke mulut. Karena fakta dilapangan menunjukan pelaku UMKM kebanyakan berasal dari generasi X, yang sebagian masih belum melek teknologi yang dimana target pasar yang menjanjikan berasal dari kaum millennial yang notabene pengguna terbesar sosial media.

Pada kesimpulannya, masalah – masalah diatas harus diatasi secepatnya demi pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih baik lagi. Mengingat, pada kurun waktu 2020-2030,  penurunan  indeks (ratio)  ketergantungan Indonesia (yang sudah berlangsung sejak tahun 1970) akan mencapai angka terendah.   Implikasi   penting   dari   kondisi   ini   adalah   semakin   pentingnya penyediaan  lapangan  kerja  agar  perekonomian  dapat  memanfaatkan  secara maksimal besarnya porsi penduduk usia produktif. Lebih penting lagi, bila tingkat pendidikan   secara   umum   diasumsikan   terus   membaik,   produktivitas perekonomian negara ini sesungguhnya dalam kondisi premium, dimana hal tersebut akan sangat bermanfaat untuk tujuan percepatan maupun perluasan pembangunan ekonomi.

(Arief Muhammad)