Apakah Islamophobia masih ada?
Seperti yang kita ketahui di dunia ini banyak sekali keberagaman yang hadir dalam setiap aspek kehidupan mulai dari suku, agama, ras, golongan, budaya, bahasa, dan lainnya. Perbedaan yang ada terkadang menjadi penghambat untuk menghargai sesama karena asumsi penilaian yang buruk terhadap golongan tertentu. Salah satu isu yang marak diperbincangkan di berbagai belahan dunia adalah Isu agama. Dari seluruh isu agama, islamophobia merupakan salah satu yang paling sering kita dengar dan diberitakan oleh media. Islamophobia sendiri berarti rasa takut terhadap segala sesuatu yang menyangkut dengan islam, hal ini terjadi karena prasangka buruk yang timbul atau mungkin kesalah pahaman terhadap citra yang terbentuk dan dimana akhirnya membuat golongan tersebut menilai islam dan muslim sebagai agama dan orang yang penuh dengan kebencian. Isu ini juga bisa terjadi karena adanya strereotipe yang didasari oleh perilaku beberapa orang yang kurang baik dan memegang identitas sebagai seorang muslim. Padahal seperti yang kita tahu bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang sama dan sempurna dan tidak semua dari golongan tertentu berperilaku sama semua itu tergantung pada dirinya masing-masing.
Memulai semua kisah yang pernah saya alami mengenai Islamophobia. Saya, Rifka merupakan nama panggilan yang selalu teman-teman dan keluarga saya sebut, nama itu berasal dari gabungan kedua orangtua yaitu ayah yang bernama Arief dan Ibu yang bernama Ika. Orangtua saya berharap kelak saya akan dapat mewariskan segala aspek positif yang mereka miliki. Didikan orangtua sangatlah berpengaruh bagi saya serta adik maupun kakak saya. Mereka selalu menerapkan nilai kejujuran, rendah hati, dan kepercayaan yang tinggi kepada setiap anaknya sehingga kami tumbuh menjadi sosok yang mandiri. Selain aspek tersebut terdapat satu hal yang mendorong kami menjadi mandiri yaitu “travelling”. Saya dan keluarga gemar bepergian menjelajahi kota-kota di Indonesia dan juga di negara lain. Kegemaran tersebut menjadikan saya menjadi seseorang yang senang untuk mandiri dan memiliki jiwa petualang. Setiap perjalanan yang saya lakukan selalu banyak cerita tersendiri yang membuat saya selalu kagum akan adanya perbedaan dan karunia yang tuhan berikan.
Didasari dengan kegemaran tersebut, di usia 16 tahun lebih tepatnya dibangku sekolah menengah atas tingkat 2 saya memberanikan diri untuk mengikuti pertukaran pelajar keluar negri yang didukung sepenuhnya oleh kedua orangtua saya. Keputusan yang saya ambil cukup beresiko besar karena di usia labil tersebut saya memberanikan diri pergi ke negri orang sendirian dan tinggal bersama orang asing selama 10 bulan yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Hal tersebut saya lakukan agar dapat belajar mengenai budaya asing, bahasa baru, dan pengalaman menarik, dan berbagai ilmu yang mungkin bisa saya terapkan dalam kehidupan saya maupun lingkungan sekitar. Saat itu saya memilih negara Perancis untuk menjadi host country dimana saya akan belajar dan hidup selama 10 tahun. Mengapa Perancis? Karena pada waktu itu saya memiliki cita-cita untuk berkuliah di pusat mode dunia tersebut. Namun dikarenakan satu dan lain hal akhirnya negara Belgia lah yang menjadi pilihan terakhir, kebetulan saya adalah pelajar Indonesia pertama dan muslim pertama dari organisasi yang saya ikuti. Saya ditempatkan di bagian berbahasa perancis atau yang disebut dengan Wallonia lebih tepatnya di kota Liege.
Sebelum saya melakukan exchange, tentu banyak sekali persiapan yang dilakukan mulai dari belajar bahasa, perlengkapan pribadi mengingat eropa memiliki 4 musim, dan juga orientasi terhadap budaya setempat agar tidak terlalu mengalami culture shock. Tentu banyak sekali kendala yang terjadi selama persiapan terutama dalam hal mental karena saya mendapat kabar bahwa di negara yang terkenal dengan waffle itu terdapat pelarangan memakai tanda keagamaan dan saya sendiri menggunakan hijab. Selain itu, kekhawatiran pun muncul saat hampir seluruh teman-teman saya sudah mendapatkan keluarga angkat sedangkan saya belum. Namun, akhirnya tepat sekitar 1 minggu sebelum saya berangkat email yang ditunggu-tunggupun diterima. Orangtua angkat yang saya dapatkan pada waktu itu merupakan seorang single lady berumur 51 tahun yang hidup hanya dengan 1 anjing dan 2 kucing. Komunikasi yang terjadi melalui email membuat kita membangun kepercayaan masing-masing. Banyak sekali perbedaan yang ada diantara kami mulai dari agama, gaya hidup, kegemaran, kondisi keluarga, dan lainnya tetapi keyakinan itu muncul saat kami bertukar pesan dan menunjukan bahwa beliau merupakan seorang yang berfikiran terbuka dan bisa menerima saya apa adanya, begitupun sebaliknya dengan perbedaan itu saya mencoba untuk menerima keberagamaan yang ada.
Sesampainya di Belgia dengan kondisi bahasa Perancis yang sama sekali belum fasih, saya bertemu dengan ibu angkat. Hari pertama berlangsung dengan baik, beliau terlihat sangat ramah dan penuh perhatian tidak ada sama sekali prasangka buruk yang terlintas dibenak saya. Sebagai pengenalan awal kepada Belgia kami pun menjelajahi taman untuk menghirup udara segar bersama dengan anjing kesayangannya yang sebenarnya saya takuti karena trauma dari suatu kejadian. Tapi, kembali lagi pada niat awal bahwa saya mau memberanikan dan menantang diri saya sendiri keluar dari zona nyaman. Perbedaan bahasa yang tidak begitu dipahami satu sama lain sering membuahkan kesalah pahaman satu sama lain karena pesan yang tersampaikan tidak sepenuhnya dimengerti, untuk menyiasatinya kami selalu mencoba untuk menggunakan aplikasi terjemahan dan menggunakan bahasa tubuh.
Sebagai orang asing tentu saja wajib untuk melapor diri dilingkungan yang kita tinggali. Saya pun diantar oleh ibu angkat pada waktu. Saya pun bergegas dan siap-siap untuk pergi dengan mengenakan pakaian yang cukup tebal dan tertutup mengingat cuaca pada waktu itu cukup dingin. Namun, saya diminta oleh Ibu angkat saya untuk mengganti model hijab dikenakan dengan alasan masyarakat dilingkungan sekitar masih awam terhadap hijab dan muslim. Sebelum pergi saya sudah mengantisipasi hal-hal tersebut terjadi, dan akhirnya sayapun mengganti model hijab hingga berkali-kali. Di perjalanan saya melihat beberapa wanita yang mengenakan hijab sontak saya bertanya kepada ibu angkat, “mengapa mereka menggunakan hijab?” kemudian beliau menjawab “Jika kamu seperti mereka maka kamu akan dipandang sinis dengan laki-laki.” Sayapun terdiam dan dalam pikiran saya mengatakan bahwa “tidak masalah bagi saya, karena ini keyakinan saya” namun saya tidak mengatakannya hanya saya pendam sendiri. Sepanjang perjalananpun saya terus dihantui dengan pertanyaan seputar hijab dan muslim di eropa. Setelah lapor diri, kami pergi ke suatu swalayan, dikarenakan ketidaknyamanan dalam menggunakan hijab yang tidak biasa sayapun mengganti model hijab seperti hijab biasa digunakan. Dengan herannya ibu angkat saya tidak mengomentari sama sekali.
Hari demi hari kami lalui bersama, setiap harinya selalu berbincang mengenai hijab dengan pendekatan persuasif dimana saya mencoba untuk selalu memakai topi dan baju dengan kerah yang tinggi untuk menyiasati penggunaan hijab yang dilarang oleh host mom. Suatu hari beliau mengajak saya untuk jogging bersama anjing peliharaannya di daerah perumahan. Kemudian saya bertanya “apakah saya boleh memakai hijab pada umumnya?” lalu beliau menjawab “tidak boleh, karena masyarakat disekitar sini tidak suka dengan muslim” akhirnya saya menolak ajakan itu dan memilih untuk tidak ikut sontak beliau pun kecewa dan marah karena saya lebih memilih untuk mempertahankan menggunakan hijab yang menurutnya hanya “sekedar” untuk menutupi rambut bukan memperlihatkan kecantikan yang dimiliki oleh wanita. Sejak saat itu hubungan kami semakin renggang dan pembahasan mengenai hijab yang awalnya biasa saja malah semakin sensitif untuk kami bicarakan. Beliau mengklaim bahwa kehadiran saya membuat dirinya jauh dari tetangga dan merelakan hal tersebut demi mempelajari hal baru.
Peraturan sekolah mengenai tanda agama juga menjadi perhatian lain untuk saya. Saya pun langsung melihat kondisi nyata dengan mendatangkan calon sekolah yang akan saya masuki. Disana saya berbincang dengan kepala sekolah setempat mengenai alasan mengapa tanda keagamaan tidak diperbolehkan. Hal ini ternyata karena agama dinilai sebagai sesuatu yang privasi bahkan kalung berlambang salib pun tidak boleh digunakan. Kebanyakan remaja muslim melepaskan kerudung mereka setelah melewati gerbang sekolah dan mengenakannya kembali setelah pulang sekolah.
Selain isu agama tersebut, karena kendala bahasa yang kami miliki banyak permasalahan yang terjadi dan beliau selalu menganggap saya sebagai anak kecil bukan “remaja”. Beliau selalu menitipkan saya kepada tetangga apabila beliau sedang bekerja dan beliau sama sekali tidak memberikan kepercayaan kepada saya untuk memegang kunci rumah. Satu hari saya pergi bersilaturahim ke tetangga depan rumah. Disana saya berbincang dengan tetangga yang berusia 60 tahunan mengenai banyak hal salah satunya saya menanyakan tentang islam, saya bertanya “mengapa kebanyakan orang disekitar sini tidak suka dengan muslim?” kemudian ia menjawab “karena seperti yang kita tahu bahwa muslim memiliki banyak aturan-aturan tertentu dan salah satunya adalah larangan untuk tidak boleh mengkonsumsi alkohol dan membunuh orang lain, namun dimasa lampau kedua hal itu terjadi dengan kronologi seseorang yang diduga memiliki identitas muslim mabuk dan mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi kemudian menabrak seseorang dan kabur. Selain itu rata-rata penghuni penjara di belgia adalah muslim. Itulah mengapa muslim dipandang kurang baik.”
Tibalah saatnya orientasi yang dilakukan sebagai pengenalan terhadap host country. Selama orientasi ini berlangsung banyak sekali keberagaman baru yang didapatkan. Selain itu, saya mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan ketua organisasi. Kami bertukar pikiran tentang apa yang sebenarnya terjadi dirumah dan juga permasalahan sekolah. Setiap harinya saya cukup tertekan untuk menghadapi segala situasi namun tidak berhenti disitu saja berbagai solusi terbaik saya cari guna menyelesaikan persoalan ini. Hasil dari perbincangan berujung pada saya lah yang diharuskan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Perasaan yang dirasakan dikala itu begitu membingungkan dan kesepian karena merasa tidak ada orang yang mengerti tentang apa yang saya alami.
Setiap pelajar asing sesuai dengan wilayahnya memiliki seseorang sebagai pemantau ataupun tempat bercerita tentang keluh kesah yang dialami selama pertukaran pelajar. Dengan permasalahan rumit yang saya alami akhirnya saya bertemu dan menginap di rumah Area Representative. Saya mencoba untuk mengambil udara segar karena tekanan yang saya alami di waktu itu, kami pun berbincang-bincang mengenai apa yang seharusnya saya hadapi dan sika apa yang harus saya ambil. Walaupun tidak menghasilkan sesuatu yang diharapkan karena tetap saja ia ingin saya untuk adaptasi terlebih dahulu dibandingkan mencari keluarga angkat baru. Selain bersama Area Representative, kami juga mencoba untuk mencari jalan tengah dengan bercakapan secara mendalam dengan host mom.
Sampai pada akhirnya saya dituntut untuk menandatangani surat yang berisikan “bahwa saya wajib untuk bersekolah”, sontak saya kaget dan terdiam rasanya ingin sekali merobet kertas tersebut karena jika saya menandatangani surat tersebut otomatis saya harus bersekolah dan itu artinya hijab harus dibuka. Seketika Area Representative berteriak kepada saya untuk bergegas menandatangani perjanjian tersebut dan reaksi saya pada saat itu adalah menangis yang pada akhirnya surat itu pun ditandatangani dengan tanda tangan palsu. Saya pun langsung menelfon dan memberikan kabar kepada orangtua dan organisasi di Indonesia. Akhirnya organisasi dari pihak Indonesia mencoba untuk membuat kesepakatan dengan organisasi di Belgia agar saya tidak bersekolah terlebih dahulu melihat kondisi saya yang masih kaget. Saya pun memastikan bahwa host mom juga turut menginzinkan hal tersebut. Keesokan harinya, saya tetap dipaksa untuk bersekolah dan perasaan yang dialami adalah kebingungan dan tidak tenang. Akhirnya saya menolak untuk pergi ke sekolah dan host mom mengusir saya dari rumahnya dan tetap memaksa untuk pergi ke sekolah meminta maaf karena pihak sekolah telah berlapang dada menerima saya namun saya malah tidak ingin bersekolah.
Otomatis saya langsung mengikuti apa yang dikatakan host mom dan mengemas semua barang. Disaat barang-barang dikemas beliau memaksa saya untuk pergi ke sekolah sekarang juga. Akhirnya kami pun terburu-buru dan dengan perasaaan tegang pergi ke sekolah. Sesampainya disekolah kami masih belum bisa bertemu dengan kepala sekolah karena beliau masih ada rapat. Sepanjang waktu ia mengomeli saya dan bahkan memberitahukan kepada semua orang yang ditemuinya bahwa saya tidak mau bersekolah karena lebih mempertahankan kerudung bahkan siswa yang sedang berjalan pun ia hentikan. Dengan amarah yang membara ia mengajukan pertanyaan kepada saya “pilih bersekolah atau pergi ke kantor polisi?”, dengan tegasnya saya menjawab “saya ingin memakai hijab”. Disaat itu juga host mom menarik topi saya dan melemparkannya ke arah semak-semak kemudian meninggalkan saya begitu saja, saya pun menangis dan langsung mengejarnya dengan perasaan yang sangat traumatik karena rambut yang terekspos. Beliau meninggalkan saya sendirian dengan syarat saya harus menunggu sampai kepala sekolah datang untuk meminta maaf. Di posisi tersebut saya langsung bersembunyi dibalik semak-semak karena saya tidak memakai hijab, untungnya saya membawa telefon seluler sehingga saya reflek menelfon orangtua karena mereka yang pertama kali terlintas, kemudian saya menelfon organisasi di Indonesia dan setelah itu organisasi di Belgia untuk meminta bantuan.
Selama menunggu untuk dijemput saya hanya bisa berdoa meminta pertolongan tuhan agar dimudahkan dan akhirnya setelah menunggu sekitar 1 jam staff dari organisasi tersebut menjemput saya namun kendala lainnya lagi adalah saya harus tetap memohon permintaan maaf dan bertemu dengan host mom untuk membuat seluruh masalah clear. Hal yang saya kagumi pada waktu itu adalah ketua dari organiasi membatalkan rapatnya diluar kota untuk menyelesaikan permasalahan ini. Kemudian saya dibawa ke kantor untuk menenangkan diri. Setelah itu kembali lagi ke sekolah untuk memohon permintaan maaf kepada kepala sekolah. Host mom turut hadir namun saya tidak berani untuk menatapnya karena trauma. Akhirnya saya diberi penjelasan kembali bahwa sebenarnya sekolah tersebut terbuka untuk siapa saja bahkan bisa mengizinkan seseorang yang berhijab untuk bersekolah disana namun karena aturan negara maka tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengikutinya. Ketua organisasi pun mengajukan pertanyaan pada saya “kamu mau tetap bersekolah atau tidak” kemudian saya menjawab “tidak”, lalu dia menyimpulkan bahwa saya harus pulang ke Indonesia sebelum masa pertukaran pelajar ini berakhir dan sempat terbesit bahwa saya sedikit kecewa karena orangtua saya telah membiayakan seluruh perjalanan ini dan percaya kepada saya bahwa semuanya bisa diselesaikan dengan baik. Namun sudah tidak ada pilihan lain. Selama menunggu proses pembuatan visa saya diperintahkan untuk kembali ke rumah host mom karena sudah tidak ada rumah yang dapat ditinggali. Dikarenakan hal tersebut maka saya pun kembali menginap selama 2 hari dirumah host mom. 2 hari dilalui bersama dengan perasaan yang canggung dan takut bahkan berbincang saja tidak padahal kami diruangan yang sama.
Tiba saatnya hari dimana seharusnya saya dipulangkan. Bersyukurnya dihari itu saya masih diberi kesempatan untuk tetap menjalani exchange ini. Saya pun dicarikan sekolah baru yang dapat menerima hijab dan alhamdulillah ditemukan satu-satunya sekolah di liege yang bisa menerima hijab. Selain sekolah saya pun dicarikan keluarga angkat baru yang sesuai dengan karakter dan kemauan saya. Beberapa syarat yang saya berikan adalah yang pertama menerima saya sebagai muslim yang menggunakan hijab, kedua membebaskan saya untuk beribadah, dan ketiga memiliki anak. Mengapa memiliki anak menjadi syarat? Karena saya memiliki 4 saudara kandung maka terbiasa ramai dan apabila sudah punya anak berarti mereka dapat memperlakukan saya sebagai remaja kebanyakan bukan sebagai anak kecil yang harus dijaga setiap saat. Rasa syukur terus saya panjatkan karena saya mendapatkan keluarga yang sesuai harapan walaupun banyak perbedaan latar belakang tetapi mereka dapat mentoleransi saya sepenuhnya. Saya dipersilahkan untuk menggunakan hijab, bebas untuk beribadah, bahkan saya pun selalu dimasakan menu lain apabila mereka semua memakan daging babi. Sungguh 180 derajat terbalik dari keluarga sebelumnya. Akhirnya saya pun sukses menjalankan pertukaran pelajar ini selama 10 bulan.
Dari pengalaman tersebut saya banyak belajar mengenai kehidupan terutama sebagai minoritas dan bagaimana pandangan orang asing terhadap islam dan muslim. Tidak semua orang sama, tidak semua yang memiliki identitas sama, tidak semua yang dalam satu golongan sama. Kita tidak boleh menilai seseorang berdasarkan stereotipe yang sering kita dengar tetapi kita harus membuktikannya secara langsung dengan memahami kebudayaannya, sifatnya secara individu, dan lainnya. Mungkin iya di eropa sana masih ada Islamiphobia tetapi tidak semuanya seperti itu banyak sekali orang yang menerima islam atau agama manapun. Kita pun sebagai manusia harus saling bertoleransi dengan menguatkan apa yang kita yakini tetapi jangan sampai membuat kita tertutup dengan dunia luar tetapi beradaptasi namun tetap menjalankan kewajiban yang kita miliki. Karena sesungguhnya kita tidak akan pernah maju apabila kita tidak dapat menerima dunia yang beraneka raga ini.
Rifka Nur Amalina Budiman – 2101687584
Comments :