Tantangan Reformasi Kamnas bagi DPR
Sebanyak 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat baru (periode 2014 – 2019) dilantik pada rabu kemarin, banyak harapan yang digantungkan oleh masyarakat Indonesia terhadap kepengurusan baru DPR. Meski terdapat sejumlah muka-muka lama yang kembali bermukim di senayan, namun muka baru yang menjadi anggota dewan juga tergolong cukup banyak. Entah mengapa jika kita berbicara tentang sesuatu yang baru maka akan selalu ada bahan bakar untuk menggerakkan rasa optimis akan tercapainya sesuatu yang lebih baik kedepannya.
Salah satu tuntutan bagi DPR baru adalah mereka harus meninggalkan perilaku buruk anggota DPR sebelumnya yang gemar malas bersidang, kurang bersemangat saat membuat undang-undang (kecuali undang-undang itu menguntungkan diri dan partainya). Sebagaimana perlu diketahui bahwa banyak rancangan undang-undang (RUU) yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014 belum terselesaikan oleh DPR periode 2009-2014, dari sebanyak 68 RUU yang masuk prolegnas hanya 15 RUU yang kemudian selesai diundangkan.
RUU Keamanan Nasional
Dari 68 RUU yang masuk dalam prolegnas 2014 terdapat satu rancangan undang-undang yang menurut penulis perlu mendapat perhatian dari anggota DPR baru, yaitu RUU Keamanan Nasional (Kamnas). Melihat dari prosesnya, pembahasan RUU Kamnas memang dapat dikatakan sangat panjang dan alot, sebab semenjak diajukan ke DPR pertama kali pada tahun 2005 hingga saat ini rancangan undang-undang tersebut belum juga disahkan. Meski sudah dua tahun berturut-turut menjadi salah satu RUU prioritas dalam prolegnas, jalan kelahiran rancangan undang-undang ini memang perlu diakui mendapat banyak sandungan akibat masih adanya pertentangan sejumlah pihak.
Dewan Perwakilan Rakyat periode sebelumnya (2009 – 2014) melalui Panitia Khusus (Pansus) RUU Keamanan Nasional berpendapat, bahwa substansi RUU Keamanan Nasional yang diajukan oleh pemerintah masih berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM). Potensi pelanggaran HAM itu muncul dalam pengaturan ancaman, pengaturan kegiatan intelijen, penyadapan dan penangkapan. RUU Keamanan Nasional juga dinilai berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara TNI dan Polri, serta mengancam kebebasan pers. Secara umum Pansus RUU Keamanan Nasional Dewan Perwakilan Rakyat menganggap masih banyak grey area dalam RUU Keamanan Nasional yang berpotensi mengakibatkan abuse of power.
Begitupun dengan beberapa kelompok masyarakat sipil yang mempunyai perhatian atas RUU Kamnas, dimana mereka menilai RUU ini dapat disalahgunakan oleh pemilik kekuasaan sebab belum memiliki kejelasan dalam pengaturan dan penerapan status keadaan darurat, baik darurat sipil maupun darurat militer. Beberapa pasal juga dianggap masih mengacu pada kebijakan lama, yaitu pada Undang-Undang No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Meskipun saat ini masih muncul sikap penolakan terhadap RUU Kamnas, namun munculnya sikap itu lebih didasarkan pada alasan substansi dari draft RUU yang diajukan oleh pemerintah melalui Kementrian Pertahanan. Bahwa apakah Indonesia kita butuh UU Keamanan Nasional, maka jawabannya adalah perlu sebab beberapa negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura sudah memilikinya terlebih dahulu. Karena dari itu pembahasan RUU Kamnas perlu segera diselesaikan oleh anggota DPR yang baru saja dilantik, namun dengan tetap mempertimbangkan semangat dan arah tujuan reformasi sektor keamanan.
Ada tiga argumentasi mengapa RUU Kamnas perlu menjadi perhatian bagi anggota DPR periode 2014-2019. Pertama, Undang-Undang Keamanan Nasional dibutuhkan untuk memperkuat reformasi sektor keamanan dan pertahanan yang saat ini masih terus dijalankan. Kedua adalah undang-undang ini dibutuhkan karena tidak terlepas dari adanya kelemahan yang masih timbul dari berbagai perangkat perundang-undangan yang lahir pasca pemisahan TNI dan Polri. Adapun yang ketiga, keberadaan UU Kamnas jika disahkan diharapkan dapat memberi acuan yang jelas dalam mendefinisikan ancaman keamanan dan pertahanan, mengorganisasikan aparatur negara untuk mengatasi masing-masing ancaman yang berbeda, proses penanggulangan ancaman, serta proses koordinasi antar institusi.
Reformasi Sektor Keamanan
Reformasi sektor keamanan merupakan salah satu perwujudan dari komitmen reformasi yang dilaksanakan secara bertahap, berlanjut, utuh dan menyeluruh. Mewujudkan cita-cita tersebut menuntut adanya kerja keras serta usaha bersama secara sinergis agar agenda-agenda reformasi yang telah disepakati bersama dapat dilanjutkan dan diarahkan pada jalur yang benar.
Selama hampir empat belas tahun, jalannya reformasi sektor keamanan telah menunjukan adanya suatu perkembangan, khususnya terkait dengan perkembangan pandangan atas pentingnya pengaturan lebih lanjut produk legislasi di sektor keamanan. Pengaturan tersebut tidak hanya sekadar untuk menjawab tantangan dan tuntutan reformasi tetapi juga untuk menjawab tantangan ancaman yang semakin kompleks, yaitu ancaman yang bersifat militer maupun non-militer. Dengan demikian kompleksitas ancaman yang diatur dalam produk legislasi keamanan nasional tidak lagi semata diidentikkan dan dipersepsikan dengan dimensi kekuatan militer melainkan juga dapat mencakup dimensi yang lebih luas.
Terkait dengan produk legislasi dalam reformasi sektor keamanan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama dengan pemerintah hingga saat ini baru mendorong lahirnya beberapa undang-undang di bidang pertahanan dan keamanan. Beberapa undang-undang tersebut adalah: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Badan Intelijen Negara (BIN).
Meskipun sudah terdapat Undang-Undang tentang Polri, TNI, Pertahanan Negara, dan Intelijen, tetapi pemerintah dan DPR hingga saat ini belum menemukan kesepakatan untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Nasional (Kamnas) sebagai kebijakan yang menaungi sektor pertahanan dan keamanan. Disisi lain keberadaan Undang-Undang Keamanan Nasional sudah terasa dibutuhkan. Keberadaan Undang-Undang Keamanan Nasional dibutuhkan untuk memperkuat reformasi sektor keamanan dan pertahanan yang saat ini masih terus dijalankan, dan karenanya menjadi pekerjaan rumah (PR) lama bagi DPR baru untuk menyelesaikan pembahasan RUU ini dengan pemerintah.
Penulis adalah Mahasiswa S3 Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, dan Peneliti Lesperssi (Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia)
Dipublikasikan oleh Harian Umum Pikiran Rakyat pada 8 Oktober 2014.
Comments :