Foto Roman

Melawan Nalar Publik

Oleh Romanus Ndau Lendong

Akademisi Universitas Bina Nusantara, Jakarta

Siapa pun yang percaya pada rakyat tidak akan pernah meragukan kemenangan Jokowi-JK. Penetapan KPU 22 Juli 2014 merupakan peneguhan totalitas dukungan tulus dan jujur rakyat terhadap Jokowi-JK untuk memimpin negeri ini.

Kemenangan ini menabiskan kristalisasi kehendak rakyat akan pentingnya transformasi kekuasaan. Sikap hidup Jokowi yang bersahaja, jujur dan pekerja keras merupakan daya pikat yang membuat rakyat menaruh harapan padanya. Sikap ini merupakan antitesa terhadap budaya kekuasaan selama ini yang cenderung menggemari citra, elitis dan sarat seremoni.

Jika demikian, Jokowi-JK  menjadi representasi dari keadaban politik yang bertumpu dan bertujuan untuk mengembalikan daulat rakyat. Demokrasi memulihkan harkat rakyat sebagai rahim kepemimpinan. Tidak sudi terus menerus ditipu, rakyat belajar untuk lebih kritis dan mandiri dalam menentukan sosok pemimpin berintegritas. Bukan saja menolak sogokan, rakyat miskin seperti bakul jamu, tukang becak dan buruh bangunan justru merelakan sebagian rezekinya untuk mendukung Jokowi-JK. Sukses pasangan ini mendapat pembenaran dari nalar publik karena kapasitas dan integritas diri  serta solidnya basis dukungan.

Atas dasar itu, gugatan Prabowo-Hatta  ke Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi tidak populer karena menegasikan pilihan rakyat sekaligus melawan nalar publik. Pertama, penarikan diri Prabowo-Hatta dilakukan setelah KPU merampungkan rekapitulasi suara di 31 Provinsi yang mayoritas dimenangkan Jokowi-JK. Sikap ini sulit dicerna nalar normal. Ibarat Piala Dunia di  Brasil, Argentina menarik diri dari pesta sepak bola sejagat itu saat panitia hendak mengukuhkan dominasi Jerman setelah Mario Goetze menjebloskan satu-satunya gol di partai final.

Mengada-ada

Kedua, kemenangan Jokowi-JK sudah diprediksi secara dini oleh 8 lembaga survei terpercaya yakni LSI Network, CSIS, SMRC, CSIS, Indo Barometer, Poltracking, TVRI dan Litbang Kompas. Sejak sebelum menjadi capres, popularitas dan elektabilitas  Jokowi mengungguli tokoh lainnya seperti Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Megawati Soekarno Putri, Mahmud MD dan Dahlan Iskan. Keunggulan tersebut bertahan bahkan cenderung naik saat dirinya menjadi capres. Secara substantif Pilpres sudah berakhir tanggal 9 April 2014 setelah hitung cepat 8 lembaga di atas menempatkan Jokowi-JK sebagai pemenang.

Ketiga, Jokowi-JK didukung mayoritas kekuatan politik yang selama ini tidak terlibat dalam kabinet SBY-Boediono. Akses Jokowi-JK ke birokrasi tentu kalah dengan Hatta Rajasa yang selama ini menduduki posisi strategis di kabinet. Lagi pula banyak kepala daerah yang justru berada di barisan Koalisi Merah-Putih. Kecurangan terstruktur, sistematis dan masif mengandaikan adanya dominasi atas jaringan birokrasi. Jadi, tuduhan ini terkesan mengada-ada, jauh dari realitas   dan  berpotensi menampar wajah sendiri.

Keempat, KPU dan Bawaslu sudah bekerja secara transparan dan profesional. Seluruh proses melibatkan rakyat dan setiap tahapan disebarluaskan kepada publik. Saksi kedua tim juga sudah dilibatkan secara total untuk mengawal dan mengawasi perhitungan suara. Berbagai indikasi kekeliruan dan kecurangan diatasi secara dini. Sudah semestinya semua pihak memberi apresiasi terhadap KPU dan Bawaslu karena telah bekerja secara independen dan profesional dalam mensukseskan Pilpres 2014.

Tuduhan Serius

Kiranya jelas bagi kita bahwa gugatan Prabowo-Hatta, meski sah secara hukum, tapi lemah secara sosial. Pertama, gugatan tersebut merupakan ekspresi dari rendahnya kedewasaan elite dalam berpolitik. Pentas politik tidak berbeda jauh dari sepak bola di Tanah Air  yang penuh drama dan tragedi. Gairah untuk menang menjungkirbalikkan akal sehat.  Segala jurus dianggap sah termasuk menebar fitnah dan kekerasan. Kekalahan tidak lagi jalan untuk mengevaluasi kekurangan diri sendiri sebaliknya menimpakannya kepada pihak lain. Politik penuh sesak dengan gugat menggugat dan retorika kosong, miskin kearifan.

Kedua, rendahnya kepercayaan Prabowo-Hatta terhadap netralitas dan profesionalitas pemerintah dan KPU. Tuduhan ini jelas serius karena kehidupan politik tak lagi dilandasi norma-norma dan kaidah sosial terutama semangat untuk saling percaya. Tergerusnya rasa saling percaya tersebut menjadi ancaman serius bagi terjaganya kohesi sosial-politik di masa depan.

Kini semua persoalan berada di pundak MK. Lembaga ini harus mampu bekerja secara independen dan professional untuk memulihkan citra dirinya setelah terkoyak oleh Akil Mochtar yang gemar menggadaikan keadilan untuk akumulasi kapital. MK memiliki peran mulia untuk menjaga keadaban politik sebalilknya amat berisiko jika mengambil keputusan yang berlawanan dengan rasa keadilan  dan nalar publik ***