Teori agenda setting pertama kali dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) pada konsep “The World Outside and The Picture in Our Head” yang sebelumnya telah menjadi bahan pertimbangan oleh Bernard Cohen (1963) dalam konsep “The mass media may not be successful in telling us what to think, but they are stunningly successful in telling us what to think about”. Penelitian empiris ini dilakukan Maxwell E. McCombs dan Donald L. Shaw ketika mereka meneliti pemilihan presiden tahun 1972. Mereka mengatakan, walaupun para ilmuwan yang meneliti perilaku manusia belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh pandangan masyarakat yang konvensional, belakangan ini mereka menemukan cukup bukti bahwa para penyunting dan penyiar memainkan peranan yang penting dalam membentuk realitas sosial kita. Itu terjadi ketika mereka melaksanakan tugas keseharian mereka dalam menonjolkan berita. Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui media, mereka juga belajar sejauh mana pentingnya suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa.

Seperti yang kita ketahui, Pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan pengendalian pandemi penyakit koronavirus 2019 (COVID-19) seiring dengan berfluktuasinya angka kasus COVID-19 sejak awal pandemi. Namun, komunikasi publik oleh pemerintah dalam menangani pandemi kurang efektif, padahal komunikasi efektif sangat penting untuk membangun pemahaman dan kepercayaan, serta mempertahankan persepsi risiko masyarakat. Terdapat sejumlah isu dalam pelaksanaan komunikasi publik pada masa pandemi, yakni (i) ketakselarasan pesan antaraktor pemerintah; (ii) pesan yang berpotensi menyebabkan kebingungan; (iii) narasi positif yang dapat menunjukkan keberhasilan penanganan, tetapi berpotensi menimbulkan rasa aman semu; dan (iv) keragaman kreativitas strategi komunikasi di tingkat daerah dan perbedaan tingkat efektivitasnya.

Pada awal Februari masyarakat dunia digemparkan dengan pemberitaan pandemi Corona, Virus asal Wuhan, Tiongkok. Bahkan pada 13 Maret 2020, organisasi kesehatan dunia WHO menetapkan status Corona Virus Desease 19 Covid-19  sebagai Pandemi Global. Dengan sendirinya, penyakit Virus yang mematikan ini menjadi topik pemberitaan utama pada media mainstream. Di Indonesia,  Presiden  Joko Widodo mengumumkan bahwa terdapat dua warga Indonesia yang positif terinfeksi Virus Corona dan mengidap Covid-19 pada tanggal 2 Maret 2020. Sontak semua kamera media berbondong-bondong menyorot pengumuman ini dan disebarkan secara masif ke masyarakat iIdonesia.Terlepas dari dampak kesahatan dan ekonomi yang menjadi liputan utama media, ada hal lain yang menarik ditelaah dari pemberitaan Virus Corona.  Dalam perspektif  ilmu komunikasi massa, media massa seperti televisi, radio, dan surat kabar adalah saluran komunikasi yang paling efektif menyebarkan informasi ke masyarakat luas. Studi Nielsen Media Research pada 2018 menunjukkan bahwa durasi menonton  televisi (TV)  masyarakat Indonesia masih tertinggi dibanding konsumsi media lainnya, yaitu rata-rata 4 jam 53 menit setiap harinya, durasi mengakses Internet menjadi tertinggi kedua yaitu rata-rata 3 jam 14 menit per harinya. Hal ini menenunjukkan bahwa ketergantungan informasi masyarakat Indonesia terhadap media TV masih tinggi.  Lebih lanjut, media dalam diskursus teori komunikasi dipandang sebagai pilar keempat demokrasi yang memilki kekuatan penentu dinamika kehidupan politik melalaui opini publik. Salah satu teori yang bisa menjelaskan dengan baik hal ini adalah teori Agenda Setting.

Keunggulan dari agenda/teori setting sendiri baru menunjukan keampuhannya jika agendamedia menjadi agenda public. Lebih hebatnya lagi jika agenda publik menjadi agenda kebijakan. Bernard C. Cohen (1963) mengatakan bahwa pers mungkin tidak berhasil banyak pada saat menceritakan orang-orang yang berpikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa. Kita bisa memakai media apa saja untuk membangun opini, tapi jika tidak sejalan dengan selera publik, maka isu yang dibangun dengan instensitas sekuat apa pun belum tentu efektif. Akibat dariopini yang dibangun publik mengenai Fenomena di atas. Namun ada pula kelemahan dari teori setting tersebut ketika hanya ada beberapa media yang menjadikan Headline tersebut.

Kesimpulannya, berita bukan refleksi dari realitas melainkan konstruksi dari realitas. Sebagai masyarakat modern, masyarakat yang selalu membutuhkan informasi atau bisa dikatakan Information Based Society, harus melek media. Hal ini bertujuan agar kita tidak salah dalam menerima berita. Kita jadi selektif dalam menanggapi media massa. Karena menjadi audiens yang pasif tidaklah menyenangkan, karena tidak selamanya kehidupan kita diatur berdasarkan agenda setting dari media.

Referensi:

Rianto, P. (2011). Opini Publik, Agenda Setting, dan Kebijakan Publik. Jurnal Komunikasi5(1), 31–40. Retrieved from https://journal.uii.ac.id/jurnal-komunikasi/article/view/5775

Citra Mustikawati. 2010. Kekuatan Agenda Setting dalam Membentuk Opini Publik. Retrieved from https://www.kompasiana.com/citra/54ff6fbea33311804c510190/kekuatan-agenda-setting-dalam-membentuk-opini (Mustikawati, 2015)-publik