Pluralitas yang berkembang dalam kehidupan kita tidak dapat dipungkiri lagi, baik dalam segi budaya, profesi, kepercayaan, watak, dan sebagainya. Salah satu segi pluralitas yang bisa menjadi contoh adalah pluralisme keagamaan. Bisa kita ambil contoh presentase umat beragama di Indonesia. Persentase umat Islam 87,18 persen; Kristen 6,96 persen; Katolik 2,91 persen; Hindu 1,69 persen; Budha 0,72 persen; Konghucu 0,05 persen; dan lainnya 0,13 persen. Selain itu ada kelompok yang tidak terjawab 0,06 persen dan tidak ditanyakan 0,32 persen (www.Harapankita.com). Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dunia dewasa ini. Jika tidak dipahami secara benar dan arif oleh pemeluk agama, pluralisme agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa konflik antarumat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa. Pluralitas Indonesia di satu sisi punya kontribusi ke kesejahteraan. Tapi disisi lain, pluralitas itu juga menempatkan Indonesia mudah berkonflik.

Sebenarnya, sejak tahun 1967 hingga sekarang dialog antaragama gencar dilaksanakan, baik atas prakarsa pemerintah maupun masyarakat beragama itu sendiri. Upaya dialog tersebut kemudian dikenal dengan Musyawarah Antar-Agama, yang melibatkan para pemuka agama di Indonesia. Namun, nyatanya konflik antar agama masih banyak saja terjadi. Hal ini terjadi karena persoalan yang dihadapi setiap agama saat ini sulit diatasi karena beberapa faktor: karena adanya sikap agresif yang berlebihan terhadap pemeluk agama lain; adanya konsep kemutlakan Tuhan yang disalahpersepsikan; dan adanya kepentingan luar agama (politik, ekonomi) yang turut mengintervensi agama. Selain itu, Peneliti Pusat Pengembangan Etika Unika Atma Jaya, Hurbertus Ubur berpendapat, “Banyak kasus konflik antar umat beragama yang juga dipengaruhi oleh ketidaktahuan masyarakat dalam memahami arti Pancasila dalam kehidupan bernegara yang bercirikan Bhineka Tunggal Ika.”

Untuk menepis hambatan-hambatan kerukunan antaragama bukan hanya peran dan tanggung jawab generasi X atau generasi orang tua kita saja, melainkan kita sebagai mahasiswa atau biasa disebut generasi millennial tentunya bisa turut ambil bagian dalam mengurangi hambatan, bahkan mencegah konflik antar umat beragama itu sendiri. Bisa dimulai sejak dini dan bisa dimulai dari lingkungan kampus yang notabene tentunya memiliki mahasiswa yang memiliki latar belakang agama yang berbeda. Bagaimana cara kita memperlakukan teman kita yang memiliki latar belakang agama yang berbeda dengan kita akan mempengaruhi terciptanya konflik antar umat beragama.

Berkaca dari hambatan-hambatan yang ada, aksi preventif atau pencegahan yang pertama yang bisa kita lakukan adalah toleransi dengan perbedaan yang ada.  Kita harus dapat menyadari bahwa kita tidak hidup sendiri, kita hidup dengan berbagai macam perbedaan. Kita harus dapat menerima perbedaan yang ada di dunia, salah satunya konteks agama. Toleransi antar agama sangat diperlukan agar tidak memicu konflik antar umat bergama, dan agar setiap umat beragama bisa menjalankan ibadah dengan khusyuk tanpa adanya paksaan dan gangguan. Contohnya adalah: Di kampus, Vera yang beragama katolik berteman dengan Mega seorang muslim. Saat waktu sholat, Vera toleransi dengan membiarkan Mega untuk menjalankan kewajibannya yaitu beribadah, dan Vera bersedia menunggu Mega sampai selesai beribadah.

Aksi preventif yang kedua yang bisa kita sebagai mahasiswa lakukan adalah menganggap semua agama sederajat. Kita tidak bisa menganggap sebuah agama lebih superior dari agama lain, dimana setiap agama memilki tingkat kebenarannya masing-masing. Kita sebagai manusia boleh tidak setuju terhadap suatu prinsip dari agama lain tetapi kita tidak boleh menyalahkan agama lain, karena sebenarnya yang tau kebenaran yang paling hakiki adalah Tuhan, dan memeluk agama adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran.

Aksi preventif yang ketiga adalah melalui pendidikan multicultural. Melalui pembelajaran tentang pemahaman mengenai pentingnya menghormati perbedaan antar umat beragama sejak dini. Hal ini dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Sebagai negara yang memiliki keanekaragaman kita harus saling menghormati dan menghargai antar sesama. Menanamkan rasa cinta tanah air juga penting dan menjadi topik pendidikan ini agar kita sebagai umat beragama tidak terpecah belah dan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan Indonesia.

Untuk Aksi-aksi preventif yang lebih besar, bisa dilakukan oleh mahasiswa bekerja sama dengan aparat pemerintah, penegak hukum, dan ulama atau pemuka agama dalam mencegah potensi konflik antar umat beragama di wilayah NKRI. Indonesia, khususnya masyarakat Jakarta yang heterogen memiliki keragaman budaya, suku, dan agama, sehingga sangatlah mutlak peran dan kerjasama antar pihak yang telah disebutkan di atas.

Kita sebagai mahasiswa bisa melakukan pencegahan konflik antar umat beragama mulai dari hal-hal kecil dan bisa dimulai sejak dini  agar  konflik-konflik generasi X dan generasi sebelum-sebelumnya yang telah terjadi, tidak membawa kita terhadap perpecahan agama, melainkan menguatkan kita agar hal-hal tersebut tidak terjadi lagi. Maraknya kasus penistaan agama yang terjadi, tapi sebenarnya tidak semua kasus menyangkut konteks menjelekkan sebuah agama, melainkan banyak yang belum bisa mencerna dan memahami secara utuh maksud sebuah kalimat, dan juga belum adanya rasa solidaritas antar umat beragama. Maka sebagai umat beragama yang millennial, kita harus bisa lebih cerdas dalam mencerna sebuah maksud dan tujuan, semua hal harus dikonfirmasi kembali kebenaran dan maksudnya agar tidak tercipta kesalahpahaman antar umat beragama.

Kita sebagai mahasiswa selain melakukan aksi-aksi preventif yang telah dipaparkan daitas, bisa juga melakukan kampanye-kampanye kecil yang bertujuan untuk meningkatkat kualitas kerukunan antar umat beragama, dan melakukan dialog-dialog antar umat beragama versi mahasiswa agar terciptanya kerukunan antar umat agama. Selain itu, bisa juga mengadakan acara kerukunan yang menonjolkan setiap keunikan umat beragama sehingga setiap umat beragama mengetahui bagaimana ia harus bertoleransi dan menghormati agama lain serta memperlakukan agama lain seperti Ia mau bagaimana agamanya akan diperlakukan. Selain itu, mahasiswa juga bisa melakukan analisis bagaimana kampusnya sendiri memperlakukan setiap agama yang ada, apakah kampus tersebut mengekslusifkan sebuah agama atau tidak. Apabila iya, mungkin mahasiswa harus berusaha lebih keras dalam membuat acara-acara kerukunan setiap agama dan juga membuat kampusnya agar memperlakukan setiap agama sama rata. Sebenarnya hal-hal ini memang harus berani dilakukan dari sekarang, karena apabila tidak dilakukan dari sekarang hal ini akan terus menjadi wacana sehingga peningkatan kualitas kerukunan antar umat beragama dan pencegahan konflik tidak akan terwujud. (CE)