Make Peace Not Hate Speech

Resiliensi merupakan kemampuan manusia untuk beradaptasi sebagai respon terhadap perubahan dinamika lingkungan. Disrupsi akibat kemajuan teknologi mendorong pengguna untuk beradaptasi dengan cepat dalam memakai teknologi digital. Tanpa didampingi literasi digital yang kuat, maka akan banyak resiko yang dihadapi oleh pengguna internet. Salah satunya adalah banyaknya ujaran kebencian yang terjadi di media online. Ujaran kebencian adalah segala bentuk ucapan dan tulisan yang menyerang atau mendiskriminasikan seseorang berdasarkan agama, suku, kebangsaaan, ras, warna kulit, atau faktor identitas lainnya.

Untuk memerangi maraknya ujian kebencian di dunia, tanggal 18 Juni ditetapkan oleh PBB sebagai hari internasional melawan ujian kebencian. Definisi ujaran kebencian dari PBB mencakup menghasut kekerasan dan merusak kesatuan sosial dan toleransi dalam masyarakat. Sebagai wadah diskusi multidisiplin yang fokus pada resiliensi, Binus Resilience Hub kembali mengadakan webinar untuk memberikan pemahaman mengenai ujaran kebencian dan dampak negatifnya kepada masyarakat.

Webinar kali ini diadakan pada tanggal 30 Juni 2022, dan mendatangkan dua pembicara yaitu Akhmad Firmannamal selaku Humas dari Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, dan Mutiara Anissa selaku cofounder dari PandemicTalks. Pemantik diskusi pada acara ini adalah Mia Angeline dari Binus Resilience Hub. Kata sambutan diberikan oleh Ibu Maria Anggia selaku Head of Communication Department Binus University yang menyampaikan bahwa tanpa didamping literasi digital yang kuat maka banyak pihak dapat menjadi pelaku maupun korban dari ujaran kebencian.

Akhmad Firmannamal, atau yang biasa dipanggil kak Firman, menyampaikan bahwa ujaran kebencian kadang dimulai sebagai kritik kepada pemerintah. Namun cara penyampaian kritik ini yang seringkali salah dan memicu emosi. Aspek pemicunya pun bermacam-macam, antara lain agama, suku, difabel, ras, dan golongan. Kak Firman, yang sudah berkecimpung di dunia PR selama 15 tahun ini juga memberikan solusi jika kita menemui konten ujaran kebencian. Salah satunya adalah dengan melaporkannya melalui aduankonten dan patrolisiber. Peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk menjamin internet yang aman dan nyaman.

Sementara pembicara kedua, Mutiara Anissa, atau yang biasa dipanggil kak Muti, menyampaikan pengalaman pribadinya mendapat ujaran kebencian melalui direct message Instagram. Serangan ini dimulai ketika kak Muti membantah produk lanyard yang dapat menangkal virus COVID19. Cibiran dan cercaan yang diterima berulang-ulang dapat membuat suatu lingkungan menjadi toxic. Emosipun sering menjadi tidak terkendali. Untuk mengatasi ujaran kebencian, kak Muti membagikan dua jalan yaitu jangan diambil hati. Tapi di sisi lain, kita juga harus berani bersuara dan mempertahankan pendapat kita. Namun jangan pernah melawan kebencian dengan kebencian, karena tidak akan menyelesaikan masalah. “Being right on social media is not everything” ujar science educator ini.

Sesi Q&A menyorot sulitnya menjaga emosi negatif ketika kita menjadi penerima pesan kebencian. Banyaknya pujian mungkin tidak menjadi beban pikiran dibandingkan dengan satu ujaran kebencian. Kedua pembicara sepakat bahwa diperlukan resiliensi mental dan digital untuk menangani ujaran kebencian. Melihat besarnya dampak ujaran kebencian ini, maka yang dapat kita lakukan ke depannya adalah tidak menjadi pelaku, dan gunakan fitur block, maupun filter offensive comments yang tersedia di media sosial modern.