Ujaran Kebencian di Media Sosial dan Pengaruhnya pada Kesehatan Mental
Perkembangan digital saat ini memudahkan banyak orang untuk membagikan keseharian mereka ke berbagai media sosial yang mereka miliki. Dari public figure hingga orang awam pun membagikan aktivitas yang mereka lakukan sehari-hari, sehingga konten yang mereka share di media sosial pun sudah menjadi konsumsi publik. Berbagai komentar didapatkan setelah mereka membagikan aktivitasnya di media sosial, dan yang paling banyak dikomentari mengenai aktivitas yang mereka bagikan yaitu public figure. Alasannya sudah jelas karena public figure dikenal banyak orang sehingga apapun yang mereka bagikan di media sosial menjadi sorotan banyak media dan masyarakat. Tetapi, bukan berarti orang awam pun tidak mendapatkan berbagai komentar, karena hanya dengan konten yang mereka update di media sosial viral, maka akan timbul berbagai komentar kepadanya. Jika mereka membagikan hal yang menurut banyak orang tidak pantas udah dilakukan maka masyarakat pengguna internet atau netizen akan dengan mudah memberikan hate comment atau ujaran kebencian, dan itu dapat mengusik kehidupan orang tersebut. Jika kesalahan yang dibuat memang tidak pantas untuk dilakukan menurut aturan yang berlaku dan merugikan orang, maka pantas bagi kita sebagai masyarakat untuk menegurnya dan memberikan nasihat yang membangun, namun sangat tidak pantas jika hanya berisikan ujaran kebencian yang diberikan tanpa memberikan nasihat dengan kata yang dibuat sehalus mungkin.
Kebiasaan yang dimiliki beberapa orang yaitu mudah menghujat hanya dengan menilai kesalahan hanya dari satu pandangan saja, tanpa melihat dari pandangan lain menyebabkan tingginya angka ujaran kebencian di interner. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya infografis jumlah ujaran kebencian yang sudah dihapus atau dihilangkan dari media sosial Facebook dari tahun 2018 hingga Maret 2020. Dari infografis tersebut, pada tahun 2019 menuju 2020 terdapat 3,9 juta ujaran kebencian yang telah dihilangkan Facebook dan pada tahun 2020 terdapat sebanyak 9,6 juta ujaran kebencian yang dihilangkan. Jika melihat data yang ada pada infografis tersebut terdapat peningkatan yang sangat tajam hanya dalam waktu satu tahun, dan itu hanya pada satu aplikasi saja.
Fenomena lainnya, saat ini semakin banyak akun anonim atau yang sering dikenal dengan fake account yaitu akun yang menyembunyikan identitas asli membuat mereka semakin berani untuk memberikan ujaran kebencian kepada orang lain. Perilaku mudah menghujat yang dimiliki beberapa orang memberikan bukti nyata bahwa belum semua orang memiliki digital resilience sebagaimana mestinya. Mereka tidak memiliki ketahanan digital, sehingga mereka tidak memiliki kontrol kepada dirinya sendiri saat menggunakan media sosial.
Kebiasaan mudah menghujat yang dimiliki beberapa orang ini mengakibatkan banyak orang yang pada akhirnya tidak menjadi dirinya sendiri saat membagikan berbagai konten miliknya ke media sosial karena mereka takut akan terkena ujaran kebencian jika diri mereka yang aslinya tidak diterima oleh masyarakat. Banyak pula yang pada akhirnya mengalami trauma karena banyaknya komentar kebencian yang diterima, bahkan hingga merenggut nyawa seseorang. Salah satu public figure yang mengalami hal tersebut yaitu artis korea bernama Sulli, ia mengalami depresi berat hingga pada akhirnya mengakhiri hidupnya sendiri karena tidak kuat akan ujaran kebencian yang terus ia dapatkan.
Contoh di atas hanya satu dari sekian banyak korban akibat ujaran kebencian yang mereka terima, dan itu pun yang kita ketahui. Bagaimana mereka yang tidak kita ketahui kondisinya akibat ujaran kebencian yang mereka terima? Saat ini kesalahan sekecil apapun dilakukan seseorang akan sangat mudah bagi seseorang untuk memberikan ujaran kebencian, bahkan kata-kata yang dipakai sudah melewati batas. Perlakuan ini dapat dikatakan sebagai cyber bullying karena ujaran kebencian sendiri pun termasuk tindakan bullying. Penting untuk menyadari bahwa kita semua harus bisa mengontrol diri dan menggunakan media sosial sebijak mungkin. Kita harus memiliki ketahanan digital agar bisa mengetahui apa saja yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh kita lakukan. Kemudian selalu ingat bahwa segala perkataan yang tidak baik yang kita ketik akan mempengaruhi mental dan nyawa seseorang, Jika kita tidak berhati-hati dalam mengomentari seseorang maka kejadian yang dialami Sulli, mungkin akan terus bertambah korbannya. Hanya diri sendiri yang dapat mengontrol perilaku kita, karena orang lain tidak bisa mengontrol diri kita.
Penulis: Chiaramanda Gusti Azzahra/Mahasiswa Communication Department
Referensi :
Ash-Shidiq, M. A. (n.d.). Ujaran Kebencian Di Kalangan Pengguna Media Sosial Di Indonesia: Agama Dan Pandangan Politik. 1.