Resilience di Generasi Serba Mental Illness
Kesadaran akan mental illness atau penyakit mental kini meningkat pesat. Mulai dari orang awam hingga orang-orang yang berpengaruh kerap membahas serba-serbi kesehatan mental, khususnya mereka yang berasal dari generasi muda. Dapat dilihat pada beberapa platform media sosial, isu ini seringkali diangkat, menjadi topik pembicaraan hangat yang terus mengundang untuk dibicarakan. Mereka merangkul para penderita penyakit mental—bagai pahlawan berbaju besi—mereka siap pasang badan melawan siapapun yang mengolok ataupun merendahkannya. Ini tentu bukan hal yang buruk. Kepekaan sosial dan kepedulian seperti ini yang seharusnya mengisi kehidupan manusia. Bagaikan lampu sorot yang begitu benderang, semua mata akan bergerak ke arah mana pun yang ia sorot—sinarnya yang tertuju pada isu mental illness membuat para pengguna media sosial terus menerus membicarakannya, entah menceritakan pengalaman pribadi atau sekadar memberi semangat bagi mereka yang membutuhkan.
Namun, saking maraknya isu tentang mental illness sangat memungkinkan untuk mengkonstruksi pikiran masyarakat sehingga lebih sering mengaitkan hal-hal dalam kehidupan dengan mental illness. Ya, eksistensi dan dampak mental illness memang nyata adanya, ini tidak diragukan. Tetapi, ada bukan berarti harus melulu disangka-sangka ataupun dirasa-rasa, sehingga yang tadinya belum tentu ada, menjadi dianggap ada. Generasi serba mental illness bukan berarti seluruh orang yang berada pada generasi tersebut menderita penyakit mental, melainkan mereka yang memberikan eksposur kepada segala sesuatu terkait mental illness secara berlebihan. Akibatnya, diterpa secara terus menerus oleh isu ataupun informasi mengenai mental illness memungkinkan seseorang menciptakan realitasnya sendiri bahwa ia mungkin juga mengidapnya.
Generasi muda harus lebih mengerti porsi dari apa yang dikonsumsinya dari sosial media—mengunggah suatu informasi dengan intensi yang bajik, dan menerima informasi dengan bijak. Aware tentang suatu isu boleh saja, asal aware juga dengan informasi apa saja yang menerpa diri. Berkutat di suatu topik tidak selamanya berakhir tercerahkan, bisa juga akhirnya terjebak sendiri karena informasi yang diterima tanpa disadari sudah bertransformasi menjadi afirmasi negatif.
Memiliki kesadaran akan hal-hal seputar kesehatan hingga penyakit mental ini sama pentingnya dengan menyadari perlunya pengembangan resilience dalam hidup. Resilience atau ketangguhan adalah seberapa baik seseorang dapat menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hidup dan bangkit melampauinya. Memiliki resiliensi tidak semerta-merta menghilangkan masalah, tetapi menyediakan diri sendiri amunisi untuk berperang melawan kejatuhan. Orang yang resilient cenderung memiliki padangan positif terhadap keadaan sehingga dapat menghadapi stres lebih efektif (Cherry, 2020). Mereka tidak memposisikan dirinya sebagai korban, dan lebih fokus menjadi pelaku yang dapat mengambil tindakan pada apa yang masih di dalam kendalinya, apalagi berlarut-larut meratapi nasib—alhasil, tidak membawanya kemana-mana. Maka dari itu, jika ingin bergerak maju, maka tangguhlah menjalani kehidupan. Menjadi tangguh tidak perlu jadi sempurna; bisa segalanya dan tidak boleh gagal—tetapi, tahu bagaimana untuk bangkit di kala jatuh, mau belajar jika tidak tahu.
Resilience dapat mengimbangi pola pikir dan perilaku generasi muda. Dengan mengasah ketangguhannya, mereka akan mampu untuk bangkit dari setiap keterpurukan, memandang keadaan butuk sekalipun dari sudut pandang yang positif sehingga dapat memperoleh optimisme kembali. Tidak sampai situ saja, mentalitas korban akan meredup sehingga mereka bisa membiarkan hal-hal yang di luar kendali, dan fokus melakukan sesuatu dengan hal-hal yang masih bisa mereka kendalikan—mengusahakan yang terbaik dari yang tersisa dan menjadikannya keberhasilan. Resilience dapat membantu penderita stres, depresi, dan mental illness lainnya untuk bangkit, karena hal-hal tersebut tak akan lama lagi jadi penghalang. Resilience dapat dipelajari oleh masyarakat untuk lebih tangguh dalam menggunakan media sosial—tidak membiarkan isu mental illness menyabotase pikirannya; jika mengalami suatu masalah dalam hidupnya, responnya langsung menganggap mental-nya terserang. Dalam kata lain, mental health resilience (ketangguhan kesehatan mental) dan digital resilience (ketangguhan digital) keduanya harus bersinergi—sebab, media sosial adalah penyumbang stres dan depresi yang cukup besar (Brown, 2018).
Pentingnya resilience pada diri setiap insan juga agar membuka peluang bagi dirinya dan dunia untuk merasakan jutaan inovasi baru. Jangan biarkan stres menghambat laju ataupun menjadi alasan Anda untuk berhenti dalam menciptakan inovasi. Kekecewaan adalah hal yang wajar dalam menghadapi sebuah kegagalan—Anda bisa ambil waktu rehat seperlunya, dan coba kembali. Jangan mudah menyerah ataupun menyudahi perjalanan, karena masa depan memiliki banyak sekali cerita baik jika kita juga turut usaha memanifestasikannya. Mungkin Anda sudah berkali-kali mendengar cerita klisé ini sebagai contoh dari ketekunan dan sifat pantang menyerah, yakni cerita kegagalan Thomas Alva Edison dalam menemukan lampu. Edison mengalami ribuan kali kegagalan dalam ekspreminennya, namun sebanyak ribuan kali itu juga beliau memperbaiki kelemahan eksperimen sebelumnya, hingga tercipta sebuah penemuan yang kini menerangi penjuru dunia (Anggara, 2020). Andai saja Edison tidak cukup tangguh dalam menghadapi kegagalan, ia bisa saja menyerah. Apabila begitu, mungkin malam tidak akan seterang sekarang atau lampu bisa saja ditemukan—oleh orang lain—dan Thomas Alva Edision, bukan nama yang kita kenang sebagai penemu lampu. Dunia akan sangat berbeda hanya karena satu orang, dan siapapun bisa menjadi orang itu.
Penulis: Revatha/Mahasiswa Communication Department
REFERENSI
Cherry, K. (2020, January 23). 10 Ways to Build Your Resilience. Retrieved February 19, 2022, from verywellmind.com: https://www.verywellmind.com/ways-to-become-more-resilient-2795063
Brown, J. (2018, January 16). Apa saja bukti pengaruh media sosial kehidupan Anda. Retrieved February 19, 2022, from bbc.com: https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-42679432
Anggara, D. (2020, July 31). 5 Ilmuwan Hebat yang Pernah Gagal dan Diremehkan, Siapa Saja? Retrieved February 20, 2022, from idntimes.com: https://www.idntimes.com/science/discovery/dahli-anggara/ilmuwan-dunia-pernah-gagal-c1c2/5