Bagaimana Taylor Swift Melawan Budaya Patriarki
Taylor Swift merupakan fenomena langka, yakni seorang penyanyi sukses yang berhasil sepenuhnya menyeberang dari genre country ke genre mainstream. Mengikuti jejak Dolly Parton dan Willie Nelson, legenda ikon budaya pop yang bertahan lama berdasarkan karya mereka tahun 1970-an, Swift mampu melepaskan akar country-nya seperti kulit kedua. Selama bertahuntahun, Swift menghasilkan banyak lagu menjaring dari genre Pop, Indie-Folk, R&B/Soul, dan banyak genre lainnya. Pada Oktober 2006, ia merilis album debutnya yang berjudul Taylor Swift.
Sejak itu, ia menghasilkan sepuluh album studio, dua album re-record, dua extended play, serta banyak single dan soundtrack film. Taylor meraih banyak prestasi seperti menjadi artis dengan penghargaan terbanyak di American Music Awards (AMA) dan mengadakan Reputation Stadium Tour yang merupakan tur terlaris dalam sejarah AS. Taylor juga telah menerima Grammy Awards terbanyak untuk Album of the Year dan memenangkan penghargaan Artist of the Decade.
Taylor Swift sudah bukan nama asing lagi dalam dunia musik, namun meskipun menjadi penyanyi terkenal, banyak orang masih mendiskreditkan bakat dan pekerjaannya. Media menggambarkan Taylor sebagai sosok yang sering berganti pasangan romantis dan selalu menulis lagu tentang pasangan-pasangannya. Oleh karena itu, masyarakat dikenal selalu mengejek Taylor Swift setiap kali ia memiliki pacar baru. Meskipun banyak selebriti lain yang memiliki romansa gagal dan yang baru berkembang, dengan Taylor narasinya selalu berbeda. Media melihat seorang gadis muda berbakat yang sukses di usia 16 tahun, dan mereka tidak menyukainya. Jadi melainkan merayakan kesuksesannya, media dan masyarakat mengkritik Taylor untuk setiap hubungan baru yang dimiliknya. Taylor menyatakan bagaimana masyarakat dan media secara tidak adil membahas pria dan wanita dalam narasi yang berbeda. Jika seorang pria memiliki banyak pasangan romantis, itu adalah sebuah penaklukan, tetapi bagi seorang wanita, itu adalah sebuah kemaluan.
Taylor, seperti banyak wanita, mengetahui bahwa pria mendapatkan banyak kilau dan izin dari masyarakat untuk menjalani hidup sesuka mereka. Karena Taylor adalah perempuan, tidak peduli apa yang dilakukannya karena media dan publik akan selalu menemukan cara untuk menggambarkannya dalam pencahayaan negatif. Dalam upayanya untuk melawan budaya patriarki, Taylor Swift mengeluarkan lagu yang berujudul “The Man”. Dalam lagu ini, Taylor menyoroti standar ganda seksis yang dianut masyarakat bagi pria dan wanita, dengan cara membandingkan dirinya dengan sosok Leonardo DiCaprio dan Ed Sheeran.
Secara total, Taylor Swift memiliki 9 mantan pacar, dan untuk itu ia dikritik dan dipermalukan oleh masyarakat luas. Di sisi lain, Leonardo Caprio yang memiliki 24 mantan malah dihormati, dipuji, dan dihargai oleh media. Terlebih lagi, Ed Sheeran yang juga menulis lagu putus cinta diabaikan, sementara Taylor dibenci dan dicap sebagai mantan gila. Melalui lagu The Man, Taylor menunjukkan bagaimana wanita sering dinilai atas dasar semua atau tidak sama sekali. Taylor juga membahas kritik yang telah dilontarkan padanya dan wanita lain tentang kehidupan cinta, pilihan karier, dan perilaku mereka, dan dia membingkai ulang kritikan tersebut dengan mempertanyakan apa yang akan terjadi jika dia seorang pria. Dia bahkan menyinggung kekerasan seksual, di mana perempuan sering dibungkam atau disambut dengan ketidakpercayaan oleh masyarakat untuk melindungi pelaku.
Lagu ini tidak hanya mengungkapkan ketidaksetaraan dan pengawasan yang Taylor hadapi karena jenis kelaminnya, tetapi juga permasalahan-permasalahan yang dapat dirasakan oleh mayoritas perempuan. Dalam film dokumenter Netflix, Miss Americana (2020), Taylor berbicara mengenai pengalamannya hidup dibawah pengawasan media patriarki yang benar-benar mencekik dan tanpa henti selama 14 tahun karirnya. Sepanjang karirnya, ada banyak konten media yang mengejek Taylor,seperti headline berita yang berbunyi, “Taylor Swift tidak seperti selebritas lainnya. Dia lebih buruk”, seorang presenter televisi berkata “Dia mengencani pria secepat kereta api”, dan komedian yang menyatakan “Dia terlalu kurus. Itu sangat mengganggukan”. Namun, proyeksi dan narasi yang dilontarkan media pada Taylor menanamkan kesadaran bahwa mustahil baginya untuk mengikuti standar masyarakat. Sejak itu, Taylor Swift mulai angkat bicara dalam wawancara, penampilan publik, dan bahkan karya
ciptaaannya bahwa perempuan perlu bekerja lebih keras daripada pria di industri hiburan. Selain harus menderita dengan pengawasan media, ada label seksis dimana perempuan harus selalu mengubah diri mereka agar tetap menarik di mata masyarakat. Pada saat seorang bintang perempuan berusia 30 tahun, dia mencapai titik di mana dia menjadi tua dan melelahkan.
Taylor mencatat hal ini, dengan mengatakan “artis wanita yang saya tahu telah merubah diri mereka sendiri 20 kali lebih banyak daripada artis pria. Mereka harus berubah, atau mereka keluar dari industri”. Oleh karena itu, Swift telah beralih dari country ke pop hingga genre alternatif yang menunjukkan bagaimana artis perempuan harus terus-menerus merubah dirinya untuk tetap relevan. Seluruh karir Taylor Swift dinodain oleh seksisme, misogini, dan patriarki. Seksisme sistemik dan misogini yang dihadapi Swift sering membayangi banyaknya penghargaan dan prestasi yang diraih. Dari kritik yang terus-menerus di media hingga berjuang untuk menggunakan suaranya untuk
berbicara tentang patriarki, Taylor telah mengalami misogini sistemik sejak awal karirnya di industri musik. Media lebih sering menggambarkan Taylor Swift sebagai mantan pacar yang gila daripada ikon feminis yang berbakat, ambisius, dan cerdas.
Referensi :
Gemmill, A. (2019, Agustus 23). Taylor Swift’s ‘the man’ lyrics seem to call out Leonardo DiCaprio.
Teen Vogue. Diakses pada November 28, 2022, dari https://www.teenvogue.com/story/taylor-swift-the-man leonardo-dicaprio-saint-tropezsexist-double-standards
Gallo, M. (2021, Februari 23). Feminist icon Taylor Swift has fought misogyny her entire career. The Review. Diakses pada November 28, 2022, dari https://udreview.com/feminist-icon-taylorswift-has-fought-misogyny-her-entire-career/
Harrison-West, E. (2022, Oktober 24). Taylor Swift is a feminist icon. Metro. Diakses pada November 28, 2022, dari https://metro.co.uk/2022/10/24/taylor-swift-is-a-feminist-icon-17625444/
Kwan, K. (2021, Mei 12). Taylor Swift suffers under the patriarchy – and also benefits from it. here’s why. Best of SNO. Diakses pada November 28, 2022, dari https://bestofsno.com/51875/artsentertainment/taylor-swift-suffers under-the-patriarchy-and-also-benefits-from-it-hereswhy/
Lock, M. (2020, Agustus 22). It was never about the music: Why the patriarchy made us hate Taylor Swift. The Edge. Diakses pada November 28, 2022, dari https://www.theedgesusu.co.uk/records/2020/08/22/it-was-never-about-the-music-why-thepatriarchy-made-us-hate-taylor-swift/
Penulis: Hayven Arianne Mastoyo