Ketika Google DeepMind mengumumkan Veo 3 di ajang Google I/O 2025, dunia langsung terpukau. AI ini mampu menciptakan video sinematik hanya dari teks atau gambar diam, lengkap dengan efek suara, visual mendalam, dan sinkronisasi bibir yang nyaris sempurna. Meski belum sepenuhnya stabil dengan batasan pada durasi dan logika visual di latar belakang banyak yang sepakat: hasilnya sudah cukup realistis untuk menipu penonton awam. Namun di balik kekaguman itu, ada kekhawatiran besar: tentang pekerjaan, etika, kualitas konten, dan bahkan apa makna ‘keaslian’ di era digital baru ini.

 

Transformasi Konten di Dunia Film dan YouTube

Salah satu bidang yang langsung terkena dampaknya adalah industri film dan video online. Veo 3 membuka pintu bagi siapa pun untuk membuat cuplikan film ala Hollywood hanya dengan perintah teks. Beberapa demonstrasi awal, seperti yang dibagikan oleh @HashemGhaili, menunjukkan bagaimana AI bisa meniru gaya visual film-film populer dengan presisi yang mengagumkan. Tidak lagi diperlukan kru besar, aktor profesional, atau studio mahal — cukup prompt yang tepat.

VEO3 Generated Street Interview

Di sisi lain, platform seperti YouTube juga menjadi ladang eksperimen yang sangat rentan. Genre seperti street interviews dan gaming let’s plays kini bisa dihasilkan sepenuhnya oleh AI. Video yang tampak seperti hasil liputan lapangan atau rekaman gameplay ternyata tak melibatkan manusia sama sekali. Contoh dari @maxescu memperlihatkan “interview” yang seluruhnya buatan wajah, suara, dan interaksi sosialnya dihasilkan oleh mesin. Bagi penonton kasual, ini tidak akan terasa berbeda. Dan justru di situlah letak bahayanya.

Yang membuatnya lebih rumit adalah bagaimana audiens cenderung menerima saja. Di antara banjir konten, tidak banyak yang akan berhenti untuk bertanya: “Ini buatan siapa?” atau bahkan, “Ini nyata atau tidak?” Ketika batas antara fiksi dan dokumentasi, antara hiburan dan kenyataan, makin kabur, maka seluruh ekosistem komunikasi visual akan terdorong untuk ikut “berbohong demi relevansi.”

 

Iklan dan Komersialisasi: Efisiensi Berbalut Manipulasi

VEO3 Generated Iklan

Namun dampak yang paling langsung terasa justru muncul di dunia iklan dan komunikasi komersial. Dengan Veo 3, brand tidak lagi membutuhkan aktor, lokasi syuting, atau produk nyata untuk memproduksi iklan. Video bisa dirancang sepenuhnya oleh AI lengkap dengan wajah manusia buatan yang meyakinkan, testimoni palsu, dan narasi persuasif yang tetap terdengar alami. Contoh kasus yang disorot oleh @PJaccetturo menunjukkan betapa mudahnya menciptakan ilusi iklan berkualitas tinggi dari hal-hal yang tidak pernah ada.

Dan lebih menakutkan lagi: publik cenderung tidak peduli. Kita sudah terbiasa dibombardir iklan, dari billboard digital sampai pre-roll YouTube. Selama videonya menarik dan menyentuh emosi, siapa peduli apakah aktornya nyata atau tidak? Inilah celah yang sangat rawan untuk disalahgunakan bukan hanya dalam menjual produk, tetapi juga dalam menjual persepsi, identitas, bahkan ideologi.

 

Etika, Slop Content, dan Hilangnya Peran Kreator Manusia

Di tengah segala kehebatannya, Veo 3 juga membuka luka besar bagi para pekerja kreatif. Jika video bisa dihasilkan secara otomatis, apa yang tersisa untuk animator, videografer, aktor suara, dan sineas independen? Dunia produksi visual yang dulunya sangat bergantung pada kolaborasi manusia kini bisa digantikan oleh satu sistem yang menyerap jutaan data lalu meramunya jadi “konten.”

Lebih buruk lagi, ini bukan hanya soal kehilangan pekerjaan. Ini juga tentang kualitas. Kita sudah melihat tren “slop content” video dangkal yang dibuat untuk mengejar klik semata di berbagai platform. Dengan bantuan AI, konten semacam ini bisa diproduksi dalam volume masif dengan kualitas visual yang semakin baik. Akibatnya, algoritma akan semakin sulit membedakan mana karya yang orisinal dan bernilai dari hasil otomatis yang hanya dirancang untuk viralitas.

Kita menghadapi ancaman ganda: konten tanpa jiwa yang menguasai ruang digital, dan pencipta manusia yang tersisih karena kalah cepat dan kalah murah.

 

Misinformasi: Ketika Fiksi Menyamar Jadi Fakta

VEO3 Generated News

Kekhawatiran tentang deepfake bukanlah hal baru, tetapi Veo 3 membawanya ke level yang jauh lebih canggih. Jika sebelumnya kita butuh aktor untuk memalsukan pidato atau menyisipkan wajah ke dalam video, kini kita hanya butuh ide. Dari sana, AI bisa membuat narasi visual yang terlihat seperti liputan berita sungguhan  lengkap dengan wajah, suara, dan footage pendukung.

Klip dari @maxescu memperlihatkan bagaimana video berita meyakinkan. Bayangkan jika ini digunakan dalam kampanye, propaganda, atau bahkan kasus hukum. Di dunia di mana video adalah bukti paling kuat, kemampuan membuat video palsu yang sempurna berarti batas antara realita dan rekayasa akan benar-benar runtuh.

 

Suara Minoritas di Tengah Kebisingan Mayoritas

Akan selalu ada yang peduli. Para akademisi, kreator independen, jurnalis, dan teknolog etis akan mengangkat suara. Mereka akan berbicara tentang pentingnya transparansi, perlunya regulasi, dan bahaya membiarkan mesin menggantikan narasi manusia. Namun masalahnya bukan pada siapa yang benar, melainkan siapa yang lebih didengar.

Di dunia digital, volume mengalahkan substansi. Konten yang etis dan bernuansa akan kalah cepat dari video bombastis yang dihasilkan dalam satu menit oleh AI. Dan ketika publik sudah tidak peduli apakah yang mereka tonton itu nyata atau tidak, suara-suara minoritas itu akan perlahan menghilang di antara feed, swipe, dan autoplay.

 

Akhir Kata: Industri Media Harus Memilih

Veo 3 bukan hanya alat baru. Ia adalah perubahan paradigma. Ia bisa menjadi senjata kreatif terbesar umat manusia, atau justru mesin pembuat ilusi massal. Industri media dan komunikasi kini berdiri di persimpangan: antara eksplorasi tanpa batas, atau kehancuran kredibilitas yang diam-diam menyusup lewat video yang terlalu bagus untuk jadi nyata.