Sumber: https://images.app.goo.gl/wk8EDNAJUAKKtvBi7

Media sosial dianggap sebagai pilar demokrasi modern—ruang di mana ide-ide bersaing secara setara dan masyarakat terlibat dalam diskusi sehat. Namun, di balik layar, algoritma media sosial justru sering memperdalam ketidaksetaraan informasi dan memicu polarisasi. Laporan Reuters Institute (2023) menunjukkan 62% pengguna global merasa media sosial lebih memecah belah ketimbang mempersatukan. Artikel ini mengeksplorasi dilema ganda algoritma: alat demokratisasi atau mesin polarisasi?

 

Algoritma Membentuk Ruang Publik

Mekanisme Kerja Algoritma

  • Prioritas Engagement: Platform seperti Facebook dan TikTok mengutamakan konten yang memicu reaksi kuat (amarah, keterkejutan) karena meningkatkan dwell time (Rappaport, 2022).
  • Filter Bubble: Pengguna hanya melihat konten yang sesuai dengan preferensi mereka, menciptakan ruang gema (echo chamber). Studi Nature (2021) membuktikan filter bubble mengurangi paparan pada pandangan berbeda hingga 40%.

Dampak Positif: Demokratisasi

  • Akses Setara: Siapa pun bisa viral tanpa gatekeeper tradisional (contoh: aktivis lingkungan @greengirlleah di TikTok).
  • Mobilisasi Sosial: Algoritma membantu kampanye seperti BlackLivesMatter menjangkau 28 juta tweet dalam 2 minggu (Twitter Transparency Report, 2020).

 

Algoritma sebagai Katalis Polarisasi 

Bukti Empiris

– Peningkatan Ekstremisme:

  • Facebook Files (2021) mengungkap algoritma merekomendasikan grup radikal 64% lebih sering ke pengguna konservatif.
  • Kasus Genosida Rohingya di Myanmar dipicu oleh viralnya konten kebencian berbasis algoritma (PBB, 2019).

– Politik Terfragmentasi:

  • Pemilih Trump dan Biden di Twitter/X terpapar narasi berbeda 89% lebih sering (Pew Research, 2022).

– Psikologi di Balik Polarisasi

  • Cognitive Bias: Algoritma memanfaatkan confirmation bias (kecenderungan menyukai informasi yang sesuai keyakinan).
  • Outrage Economy: Konten provokatif menghasilkan engagement 3x lebih tinggi (MIT Study, 2023).

 

Antara Regulasi dan Literasi Digital

Perusahaan Teknologi

– Transparansi Algoritma:

  • TikTok mulai mengizinkan pengguna reset rekomendasi algoritmik (2024).
  • UE wajibkan audit algoritma via Digital Services Act (DSA).

– Desain Ulang Algoritma:

  • Instagram menguji chronological feed untuk mengurangi bias.

Individu dan Masyarakat

– Literasi Algoritma:

  • Ajarkan cara kerja algoritma di kurikulum sekolah (contoh: program Finlandia).
  • Tools seperti NewsGuard membantu identifikasi misinformasi.

– Keterlibatan Aktif:

  • Sengaja ikuti akun dengan perspektif berbeda.

 

Masa Depan: AI dan Ruang Publik

  • Generative AI: Bot seperti ChatGPT bisa memperparah polarisasi dengan konten hiper-personalisasi (risiko AI-driven filter bubbles).
  • Decentralized Social Media Platform seperti Mastodon menawarkan algoritma berbasis komunitas, bukan profit.

Algoritma media sosial bagai pisau bermata dua: di satu sisi memberdayakan suara marginal, di sisi lain menggerus demokrasi dengan fragmentasi. Solusinya tidak hitam-putih—perlu kolaborasi antara:

  1. Regulator (pengawasan ketat),
  2. Platform (algoritma etis), dan
  3. Masyarakat (melek digital).

“Masalahnya bukan pada algoritma, tapi pada insentif ekonomi di baliknya.”

Roger McNamee, Zucked: Waking Up to the Facebook Catastrophe

 

Diskusi:

  • Apakah Anda pernah terjebak dalam *filter bubble*? Bagaimana cara keluar darinya?
  • Perlukah pemerintah mengatur algoritma media sosial?

 

Referensi

  • Reuters Institute (2023). Digital News Report.
  • Nature (2021). The Effects of Filter Bubbles.
  • EU Digital Services Act (2023). Regulation on Algorithmic Transparency.