Mayoritas menunjukkan gigi dengan memanfaatkan keunggulan. Minoritas semakin terpojok dalam kegelisahan dan kecemasan tak berujung.

Bagaimana kelanjutan alur perjalanan Indonesia?

by: Clarisa Emeralda – Communication Department Student

Miris. Kata penuh makna yang menggambarkan perasaan hati bukan hanya satu warga, namun sejumlah warga Indonesia. Fakta dimana negara lain kini sudah melangkah jauh ke depan dengan menciptakan berbagai inovasi revolusioner yang turut menjadi kompetitor manusia dalam seleksi global. Namun kita, Indonesia, masih berjalan di tempat bahkan mundur dengan memperdebatkan hal yang sudah ditetapkan sejak kemerdekaannya, 74 tahun yang lalu. Ideologi negara yang sudah jelas dan dikagumi oleh negara lain, yakni Pancasila kini banyak diragukan kesakralan nilainya oleh warga negaranya sendiri. Ada apa dengan negeri ini?

Niatan mengganti ideologi Indonesia kian marak terdengar sejak tahun 2017, tepatnya ketika pesta politik ibukota tercinta menjadi sumbu yang menyulut api perdebatan menyala. Suara untuk mewujudkan NKRI bersyariah meraung beriringan dengan keinginan secuil masyarakat yang ingin Indonesia menganut konsep khilafah. Survei Alvara Research Centeryang diselenggarakan September-Oktober 2017 mengungkap fakta bahwa sebagian milenial atau generasi kelahiran akhir 1980-an dan awal 1990-an, setuju pada konsep khilafah sebagai bentuk negara. Survei dilakukan terhadap 4.200 milenial yang terdiri dari 1.800 mahasiswa dan 2.400 pelajar SMA di Indonesia. Mayoritas milenial masih memilih Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk negara. Namun ada 17,8 % mahasiswa dan 18,4 % pelajar yang setuju khilafah sebagai bentuk negara ideal sebuah negara. Khilafah merujuk pada sistem kepemimpinan umat, dengan menggunakan Islam sebagai Ideologi serta undang-undangnya mengacu kepada Al-Quran, Hadits, Ijma dan Qiyas.

Keinginan untuk mengubah ideologi dan bentuk negara ini tampaknya terinspirasi dari data yang menunjukkan adanya persamaan pengisi sepuluh posisi teratas antara negara paling islami berdasarkan Islamicity Indexdengan negara yang memuncaki peringkat atas World Happiness Indexyang digarap oleh UN Sustainable Development Solution Network (SDSN)(Untuk detail negara yang menempati peringkat terbaik kedua indeks tersebut adalah Denmark, Switzerlands, Netherland, Kanada, Selandia Baru, dan Australia). Kedua indeks tersebut turut mengusung nilai kemanusiaan seperti keadilan, kemakmuran, pemerintahan yang bersih, penghormatan pada manusia.

Hakikatnya, data ini tidak dapat dijadikan pembanding dan patokan yang relevan bagi Indonesia. Indonesia dikenal dengan kepluralannya dan toleransi tinggi yang berkembang dalam perbedaan yang ada. Kekhawatiran muncul ketika dihadapkan dengan data 3 kota yang menempati posisi terbawah Indeks Kota Toleran (IKT) 2018 oleh Setara Instituteyakni Sabang (3.757), Medan (3.710), Makassar (3.637) mayoritas populasinya beragama agama Islam. No offence, but let the fact speaks. Populasi umat Muslim di Sabang mencapai 98% dari total masyarakat yang berdomisili di sana (37.451 warga dari 38.177 warga), di Medan, populasi umat Muslim mencapai 59.68%, sedangkan di Makassar, populasi umat Muslim menyentuh angka 82.39%. Fakta ini tentu (atau mungkin) menampar para pejuang NKRI bersyariah. Bila di luar negeri penerapan nilai islami dapat berjalan lurus dengan peningkatan kebahagiaan masyarakat, namun di Indonesia, hal ini belum dapat terjadi karena toleransi yang dapat mendorong kebahagiaan dan ketentraman antar kehidupan masyarakat dan keseimbangan mayoritas dan minoritas saja tidak dapat diwujudkan.

Apakah perjuangan NKRI bersyariah ini dapat dikategorikan sebagai pemberontakan terhadap Indonesia? Barangkali perjuangan ini dapat dianggap sebagai pemberontakan terhadap ideologi yang telah disusun oleh para pendiri bangsa dengan berbagai pemikiran mendalam hingga tercetusnya perubahan pada sila pertama. Hal ini dilakukan untuk membendung munculnya rasa tersisih dari kaum minoritas menunjukkan besarnya toleransi tokoh besar era kemerdekaan. Lantas, apakah alasan di balik penegakkan NKRI bersyariah ini dikarenakan rasa takut mayoritas? Berbagai spekulasi muncul dalam pemikiran masyarakat yang sadar akan gerakan pengusik toleransi ini, mungkin rasa takut membuat hati dan akal menjadi buta takterarah, bahkan sampai hati ingin menyatakan “perang” pada saudara sebangsa dan setanah airnya.

Jika benar alasan pejuang NKRI bersyariah ini beraksi demi menghadirkan ruang publik manusiawi yang sesuai dengan nilai Islam, mengapa harus mempertontonkan gerakan yang menciptakan citra negatif seperti aksi berjilid yang bahkan berujung pada tindak anarkis? Daripada melancarkan kegiatan yang mendulang antipati publik, lebih baik bergotong royong untuk membangun ruang publik manusiawi dengan langkah nyata. Penambahan materi pembelajaran di subjek Pendidikan Kewarganegaraan yang menggariskan persamaan nilai moral positif dari setiap agama yang diakui secara resmi di Indonesia dapat menjadi pilihan untuk menengahi semua desas-desus hingga gunjingan dalam yang disebabkan oleh perbedaan agama. Dengan demikian, perwujudan ruang publik berdasarkan pancasila terutama sila kedua, “kemanusiaan yang adil dan beradab” dapat direalisasikan. Butir-butir sila kedua dapat menjadi pedoman inti dalam pembangunan ruang publik manusiawi yang kerap menjadi alasan para pejuang NKRI bersyariah berseru.

Penolakan terhadap NKRI bersyariah tentu mencuat dari pendukung NKRI. Entah apa alasan kegoyahan terhadap ideologi bangsa ini bangkit, mungkin saja konsep klise seperti pengadaan ruang publik manusiawi menjadi alasan fiktif yang dikembangkan oleh para perebut kekuasaan. Terkadang, keserakahan dapat membuat para pemangku kekuasaan besar bergejolak. Penyalahgunaan kewenangan pun senantiasa menjadi langkah selanjutnya. Demonstrasi berjilid sering dinahkodai dengan alasan bela agama untuk menjadi tameng dari berbagai kepentingan yang ada namun takterlihat.

Perjalanan suatu bangsa dapat diibaratkan layaknya produksi film series. Banyak produksi film yang berganti alur di tengah proses syuting karena desakan dari berbagai pihak. Begitu pula dengan alur perjalanan Indonesia, pilihannya ada dua, melanjutkan alur yang ada dengan teguh pada NKRI atau mengganti alurnya dengan mengudeta Pancasila untuk membentuk NKRI bersyariah. Sampai detik ini, saya tidak menemukan alasan untuk berpaling dari Pancasila. Yang seharusnya dilakukan sekarang ialah diskusi mendalam dengan tokoh yang meneriakan gerekan ini untuk menguak alasan pakem dibalik semua ini. Setelah mengetahui apa yang diinginkan oleh para pejuang NKRI bersyariah, perbaikan demi perbaikan atas persoalan yang diangkat dapat menjadi langkah untuk mengamankan persatuan NKRI. Besar harapan saya untuk berkontribusi dan menyaksikan proses perjalanan Indonesia hingga nantinya dapat berhasil melangkahi berbagai negara di belahan dunia lainnya dalam indeks penilaian positif, baik dalam lingkup ekonomi hingga sosial terutama dalam kebahagiaan warganya.