“Aku mempunyai 580 teman dan aku berbicara kepada mereka setiap hari, namun hanya 10 orang yang mengetahui siapa diri ku sebenarnya,kita hidup di zaman dimana kita lebih sering berbicara dengan menatap layar nama seseorang di layar ponsel kita ketimbang menatap mata seseorang saat sedang berbicara,begitulah penggalan realita kehidupan kita sekarang ini” ucap Sabit mahasiswa bina nusantara yang saya wawancarai tentang akun social media yang ia punya .

Ketika sedang berkumpul dengan teman-teman kantor atau yang lainnya di sebuah kedai kopi, percakapan yang awalnya saling antusias dalam balas membalas argument,namun 10 menit kemudian sibuk dengan “Dunia Sosial” masing-masing, yaitu social media. melihat sekitar kita, media yang kita sebut sebagai social justru memisahkan kita terhadap kehidupan nyata kita. Social media merupakan a world of self-interest, self image,self-promotion dimana kita membagikan semua moment terbaik kita, namun kita meninggalkan emosi dalam moment itu. Kita sangat senang dalam berbagi pengalaman kepada teman-teman dekat kita,namun sekarang kita lebih senang berbagi moment itu melalui ponsel kita masing-masing. Dulu ada pepatah berkata “Selalu ada untuk temanmu, dan mereka juga akan selalu ada untukmu” namun sekarang sangat jarang yang seperti itu,karena group message sudah menggantikan tugas itu.

Kita hidup dalam ilusi social media,dimana kita haus akan pujian ,kita mengedit foto agar mendapatkan jumlah like yang banyak, kita berpura-pura tidak tau isolasi social kita takut jika kita tidak ikut unjuk gigi dalam social media, kita mengatur kata-kata sebaik mungkin dalam membuat caption untuk dibaca dan di dengar,sampai hidup kita sangat berkilau kelihatannya, namun nyatanya kehidupan kita tidak seperti itu,kita berlomba-lomba untuk tetap eksis dalam social media hanya dengan mengejar sebuah like dan status,bahkan kita tidak tahu apakah semua orang membaca apa yang kita tuliskan.

“Ketika saya masih anak-anak, aku tidak akan berada dirumah, saya akan keluar rumah bermain bersama teman-teman saya, menghabiskan waktu diluar rumah. Bermain sepak bola,petak umpet,gerobak sodor,petak jongkok, bermain hujan, dan semua aktifitas diluar rumah yang membuat orang tua kita mencari-cari kita saat waktu maghrib menjelang kita belum berada dirumah, namun sekarang orang tua kita yang marah-marah kepada kita karena kita selalu dirumah setiap hari dan menatap layar ponsel berjam-jam sampai kita harus naik urat untuk mengucap “nanti” karena saya terhadap ponsel saya sendiri. Dulu taman-taman dipenuhi oleh suara tawa kebahagiaan anak-anak bermain prosotan,jungkat-jungkit dan ayunan, sekarang taman sudah kosong mainan-mainan pun sudah menjadi usang tak terurus dan berkarat”. Ucap Raki seorang pria yang berusia 20 tahun yang kami tanyakan soal perbedaan anak zaman sebelum adanya gadget dengan anak zaman sekarang yang berkembang bersama gadget. Anak-anak kita hidup dan tumbuh bersama kita, melihat kita hidup seperti robot yang sibuk dengan teknologi, dan mereka akan berpikir ini adalah sebuah hal yang akan kita lakukan juga pada saat besar nanti.

Ponsel dan social media mempunyai batas minimal umur dalam penggunaannya, seperti contohnya facebook,Instagram dan twitter. Mereka memiliki minimal umur dalam pendaftaran akunnya yaitu 13-19 tahun, penting untuk di ikuti aturan ini karena jika penggunaan social media dan gadget tidak sesuai umur dapat menimbulkan efek-efek negatif. Banyak anak-anak diluar sana yang sudah kecanduan social media yang porsi penggunaan social media belum cukup untuk seusia mereka dan mereka belum bisa memilah-milah konten apa yang boleh mereka akses dan konten yang tidak boleh mereka akses. Membuat banyak anak-anak kecil berusia 9-12 tahun mendapatkan efek negatifnya dari social media yaitu, berbicara kasar,mempraktekkan gaya hidup selebriti barat yang negative, dan mengupload foto-foto yang tidak layak untuk ditampilkan di dalam social media itu sendiri. Maka dari itu sekarang di masyarakat muncul istilah “Generasi Micin”,”Kids Zaman now”,”Generasi Bobrok”, dikarenakan aktifitas anak-anak dibawah umur dalam mengakses social media yang menampilkan hal-hal tidak memiliki arti yang penting,membawa nilai positif dan condong kearah yang negatif. Mereka yang seharusnya bermain diluar,bercengkrama dengan umur-umur seusia mereka,namun mereka sekarang dipisahkan oleh ponsel dan social media dengan “Dunia” yang sesungguhnya untuk umur mereka

Menjadi sendirian bukan menjadi sebuah masalah, anda membaca buku, berolahraga, berbicara, berbagi cerita dengan keluarga anda, anda menjadi seorang yang produktif dan hadir, tidak dilindungi atau diganggu oleh kehadiran ponsel dan social media, dan memanfaatkan waktu anda dengan sangat baik. Ketika anda berada di ruang publik dan anda merasa kesepian jangan anda buka ponsel anda,taruh ponsel anda dan mulailah melihat sekitar dan bercengkrama dengan orang-orang sekitar anda. Anda tidak perlu membuka ponsel hanya untuk melihat  menu ponsel anda dan hanya menggeser-geser di social media anda. Contoh lebih nyatanya adalah ketika stasiun kereta, halte transjakarta  sudah sangat sepi walau dalam jam sibuk,ketika orang-orang takut berbicara atau malas berbicara nantinya akan dianggap sebagai orang tidak waras,sekelilingpun akan melihat orang tersebut seperti ketakutan dan menganggap dia (yang berbicara) adalah orang aneh yang mengajak orang lain berbicara, kita menjadi anti-sosial, tidaklah lagi mengasyikkan berinteraksi dengan orang lain dan menatap mata orang pada saat mereka berbicara kepada kita.

 

Nadif Rahmanda

2101681454