Melihat keadaan sekarang, berapa harga untuk sebuah kaos di gerai favorit Anda? 25,000? 500,000? atau sampai 3,000,000? Ternyata, kalau dijawab dengan jujur, jawabannya ternyata ada lebih dari itu.

 

Industri Fashion adalah bisnis skala global dimana produksi untuk satu lembar kaos setidaknya harus melibatkan tiga negara sekaligus. Sederhananya, setiap bahan mentah yang digunakan untuk memproduksi barang jadi harus diproduksi oleh negara-negara dengan kapabilitas tertentu. Contohnya seperti Korea sebagai supplier katun, Jepang untuk pewarnaan, dan juga China sebagai ahli konveksi.

 

Lebih dalam lagi, ada banyak langkah-langkah yang harus di tempuh untuk menciptakan barang mentah yang siap produksi dengan menggunakan bahan-bahan kimia yang tentunya sangat berbahaya bagi lingkungan. Contohnya seperti Polyester, salah satu bahan penting untuk memproduksi kaos berbahan dasar plastik ini dibuat menggunakan minyak bumi. Seiring dengan meningkatnya produksi pakaian secara global, permintaan terhadap fiber buatan, polyester, hampir meningkat dua kali lipat selama 15 tahun terakhir, menurut data statistik Technical Textile Markets. Pembuatan bahan polyester dan bahan sintetis lainnya membutuhkan porsi konsumsi energi yang besar yang berasal dari minyak mentah dan proses pelepsan emisi seperti senyawa organik berbahaya, zat partikulat, dan gas beracun seperti hidrogen klorida yang dapat menimbulkan penyakit berbahaya untuk pernapasan.

 

Fakta lainnya yang tidak boleh kita anggap enteng sebagai penduduk negara dunia ketiga adalah ada banyaknya pabrik-pabrik yang didirikan disini untuk memproduksi barang-barang dari label global yang mampu memberikan dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan. Indonesia, seperti yang dilansir dari Wall Street Journal, merupakan negara kedua penghasil limbah plastik terbesar di dunia setelah China. Pada riset yang dilakukan pada tahun 2010 diketahui bahwa Indonesia berkontribusi 10% dari total limbah plastik yang ada di dunia dengan jumlah rataan sebesar 3,22 juta ton plastik terbuang ke lautan.

 

Secara konteks, data di atas mungkin sepenuhnya tidak berasal dari industri fashion, dimana industri lainnya juga turut ambil bagian dalam menyumbangkan limbah plastik. Akan tetapi, sebagai industri dengan sumbangsih limbah terbanyak kedua di dunia, industri fashion tetap menjadi tersangka utamanya.

 

Saat ini, konsumen dimanjakan dengan produk fast fashion yang berkualitas baik dengan harga yang terjangkau yang kerap menjamur di pusat perbelanjaan, akan tetapi yang perlu diingat adalah setiap kali suatu barang terjual ada banyak elemen-elemen krusial yang mengikuti yang dapat menjadi salah satu faktor kerugian bagi lingkungan dan kesehatan baik langsung maupun tidak langsung.

 

Fashion akan menjadi sia-sia pada akhirnya bagi mereka yang terlalu serius mengejar tren tanpa kendali. Karena model serta jenis terbaru akan selalu ada, dan koleksi sebelumnya akan terus menumpuk tak terpakai karena tidak ada yang mengenakannya lagi, dan hanya akan membuang-buang energi yang ada.

 

Beberapa waktu terakhir, industri fashion di ranah mainstream bertumpu pada produksi masal secara global. Hal ini menyebabkan terjadinya konsumsi berlebih terhadap pakaian dan aksesoris lain dengan kualitas yang rendah. Meski fenomena ini memberikan konsumen akses terhadap tren terkini yang lebih terjangkau, sebenarnya ada dampak negatif dari pola industri tersebut kepada lingkungan hidup sebagai harga yang harus dibayar. Faktanya, industri tekstil adalah penyebab polusi terbesar kedua setelah sektor minyak dan gas bumi. Perkiraan angka konsumsi dari seluruh proses produksi tekstil global adalah 1 triliun galon air, 33 triliun galon minyak, dan juga 90 milyar kilogram zat kimia setiap tahunnya yang dilansir dari Wall Street Journal.

 

Ironisnya, tren yang datang silih berganti terkadang memang sengaja diciptakan oleh label-label besar agar pada konsumen selalu kembali untuk membeli koleksi terbaru mereka. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa fast fashion yang terjadi secara global saat ini juga telah banyak merenggut berbagai aspek kehidupan baik dari segi lingkungan hingga korban jiwa.

 

Muncul inisiatif dari kalangan konsumen dengan kesadaran lingkungan merasa terganggu dan menantang fenomena ini dengan melakukan aksi penyelamatan lingkungan melalui pola berpakaian. Dimulai dari diri mereka sendiri, demi memutus mata rantai Supply and Demand dari retailer besar, mereka tak segan untuk melakukan aksi protes hingga boikot terhadap produk tertentu.

 

Sebenarnya, di samping maraknya fenomena fast fashion, ada banyak cara untuk berperan aktif dalam menyelamatkan lingkungan melalui gaya berpakaian. Salah satunya adalah dengan mengkonsumsi barang bekas. Pola ini juga di mungkinkan melalui berbagai brand yang menggunakan bahan yang lebih berkualitas serta teknik pengerjaan dengan standar yang lebih tinggi pada setiap produknya, sehingga usai pakai bisa lebih panjang, meski barang tersebut merupakan produk bekas.

 

Footurama, toko yang terletak di daerah Jakarta Selatan sebagai sebuah consignment store yang menjual pakaian, sepatu, serta aksesoris bekas juga memiliki semangat yang sama dalam menjaga lingkungan melalui campaign daur ulang pemakaian. Atau juga salah satu brand yang mendukung gerakan ini adalah Patagonia. Selain penggunaan material yang ramah lingkungan, Patagonia juga banyak menghadirkan inisiatif yang mendorong orang untuk membeli barang bekas dan memeliharanya dengan baik lewat berbagai promosi dan kampanye miliknya.

 

Membahas mengenai kebiasaan yang konsumtif dan tidak ramah lingkungan, apakah mungkin ini justru akan menjadi kebiasaan baru di masa yang akan datang?

 

Renel Harlan 2101696140

LC51 Writing Techniques in Communication Context