Tentu bagi sebagian masyarakat Indonesia khususnya para kaum wanita sudah pasti mengetahui tentang sejarah-sejarah dari Raden Ajeng Kartini bahkan setiap tahun nya pada tanggal 21 April seluruh masyrakat Indonesia selalu meramaikan perayaan Hari Kartini, dimana pada hari tersebut adalah hari kelahiran dari sosok R. A. Kartini, sosok yang menggambarkan perempuan asli Indonesia dan beliau juga merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam kebangkitan perempuan pribumi. Pada hal ini beliau memperjuangkan hak-hak wanita untuk bisa sama rata dengan para kaum lelaki. Dimana pada Zaman Kartini dulu hidup adalah masa dimana para kaum wanita pribumi Indonesia hanya melakukan pekerjaan rumah seperti layaknya Ibu Rumah Tangga yang tidak dapat dilepaskan dari aktivitas memasak, menyapu, mencuci piring dirumah, dan lain sebagainya. Kartini pun adalah sosok yang dapat dikatakan sebagai pelopor Gerakan Feminisme, (tokohnya disebut Feminis)  dimana hal tersebut merupakan sebuah gerakan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan. Secara luas pendefinisian feminisme adalah advokasi kesetaraan hak-hak perempuan dalam hal politik, sosial, dan ekonomi.

 

Gerakan feminisme dimulai sejak akhir abad ke- 18 dan berkembang pesat sepanjang abad ke-20 yang dimulai dengan penyuaraan persamaan hak politik bagi perempuan. Tulisan Mary Wollstonecraft yang berjudul A Vindication of The Rights of Woman dianggap sebagai salah satu karya tulis feminisme awal yang berisi kritik terhadap Revolusi Prancis yang hanya berlaku untuk laki-laki namun tidak untuk perempuan. Aturan hukum yang dikatakan netral dan objektif sering kali hanya merupakan kedok terhadap pertimbangan politis dan sosial yang dikemudikan oleh idiologi pembuat keputusan, dan idiologi tersebut tidak untuk kepentingan wanita. Pemikiran ini dalam masyarakat dan ketentuan hukum merupakan penyebab ketidakadilan dan dominasi terhadap wanita, sehingga sebagai konsekuensinya adalah tuntutan terhadap kesederajatan gender. Kesederajatan gender tidak akan dapat tercapai dalam struktur institusional ideologis yang saat ini berlaku. Segala analisis dan teori yang kemudian dikemukakan oleh kaum wanita diharapkan dapat secara nyata diberlakukan, karena segala upaya kaum wanita bukan hanya untuk menghiasi lembaran sejarah perkembangan manusia, namun lebih kepada upaya manusia untuk bertahan hidup. Timbulnya Gerakan Feminisme merupakan gambaran bahwa ketentuan yang abstrak tidak dapat menyelesaikan ketidaksetaraan.

 

Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau yang bisa kita sebut kelas bangsawan Jawa. Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir. Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Garis keturunan Bupati Sosroningrat bahkan dapat ditilik kembali ke istana Kerajaan Majapahit. Semenjak Pangeran Dangirin menjadi bupati Surabaya pada abad ke-18, nenek moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja.  Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura, Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya.  Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.

 

Sosok kartini yang pandai dalam ber bahasa belanda sering mempelajari atau bahkan menulis surat-suart kepada teman-teman korseponden yang berasal dari Belanda. Rosa Abendanon adalah salah satu koresponden asal Belanda yang sering mendukung Kartini dalam melakukan aktivitasnya tersebut. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Sering kali Ia menulis  sebuah surat yang berisikan amarah yang selama ini mengengkang kebebasannya dan menghalangi emansipasi rakyat jawa, kaum perempuan khususnya. Inti dari gerakan Kartini ialah untuk pengarahan, pengajaran agar anak-anak perempuan mendapatkan pendidikan  Selain Kartini pada generasi berikutnya muncul pahlawan emansipasi lainnya seperti  Dewi Sartika berasal dari Priangan Jawa Barat, Rohana Kudus Sumatera Barat.

 

Kartini banyak membaca surat kabar, di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20 tahun.

 

Pada surat-surat nya Kartini menuliskan pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya. Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu. Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi. Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

 

Dengan kegemarannya membaca dan menulis, Kartini pun menerbitkan buku (Habis Gelap Terbitlah Terang). Dimana buku tersebut sebenarnya adalah buku kumpulan surat yang ditulis oleh Kartini. Kumpulan surat tersebut dibukukan oleh J.H. Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht . Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. elain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Menurut Armijn Pane sebagai seorang pelopor sastrawan dan penerbit buku ini mengatakan bahwa surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.

 

Dalam banyaknya pemikiran yang membuat perubahan bagi masyarakat Indonesia khususnya kaum wanita pribumi ada saja kontroversi dibalik itu semua. Bahkan, ada beberapa kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H. Abendanon sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda pada masa itu, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda. Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut Nyak DhienMartha Christina Tiahahu,Dewi Sartika dan lain-lain.Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Sikapnya yang pro terhadap poligami juga bertentangan dengan pandangan kaum feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional. Kematian Kartini yang mendadak juga menimbulkan spekulasi negatif bagi sebagian kalangan. Seperti diketahui dalam sejarah, Kartini meninggal setelah melakukan proses persalinan untuk melahirkan anaknya, tepatnya empat hari setelah melahirkan. Ketika Kartini, mengandung bahkan sampai melahirkan, dia tampak sehat walafiat. Hal inilah yang mengandung kecurigaan. Ketika Kartini melahirkan, dokter yang menolongnya adalah Dr. van Ravesten mengatakan bahwa proses persalinan terhadap Kartini berhasil dengan selamat. Selama empat hari setelah proses persalinan, kesehatan Kartini baik-baik saja. empat hari kemudian, Dr. van Ravesten menengok keadaan Kartini, dan beliau tidak memiliki kekhawatiran sedikit pun akan kesehatan Kartini. Ketika Ravesten akan pulang, Kartini dan Ravesten menyempatkan minum anggur sebagai tanda perpisahan. Setelah minum anggur itulah, Kartini langsung sakit dan hilang kesadaran, hingga akhirnya meninggal dunia.

 

Seiring berkembangnya waktu pada masa Orde Lama, Presiden Sukarno memberikan kesempatan kepada gerakan feminisme di Indonesia dengan pengajaran tentang keperempuanan dan perjuangan kepada kaum perempuan. Bahkan, pada masa ini, terdapat Gerwani, organisasi perempuan yang cukup progresif dalam mengadvokasi isu-isu yang berkaitan dengan perempuan. Gerwani juga turut serta dalam bidang politik demi menjembatani antara politik dan kebutuhan sosial perempuan. Namun, selama masa Orde Baru, gerakan perempuan sengaja disingkirkan. Pada masa ini, perempuan diberi citra hanya sebagai kaum ibu dan istri semata yang berada di samping bahkan di belakang kaum laki-laki. Hal ini menghancurkan gerakan perempuan yang telah ada di masa sebelumnya dan menghalangi tumbuhnya feminisme di masa orde baru. Barulah pada era reformasi, usaha memunculkan gerakan feminisme makin kuat. Feminisme bukan lagi sekadar wacana namun sebagai hal telah termanisfestasikan dalam berbagai langkah instrumental pada struktur pemerintahan. Meskipun belum dapat menghilangkan stigmatisasi perempuan sebagai orang kedua. Di Indonesia, gerakan feminisme ini sudah terdengar sejak tahun 60-an, namun menjadi isu dalam pembangunan baru sekitar tahun 1970-an. Dan gerakan ini dapat dibagi dalam tiga tahapan. Yang pertama adalah antara tahun 1975-1985. Pada masa, ini hampir semua LSM tidak menganggap masalah gender sebagai masalah penting. Justru banyak yang melakukan pelecehan. Mereka tidak menggunakan analisa gender sehingga reaksi terhadap masalah tersebut sering menimbulkan konflik antar aktivis perempuan dan lainnya. Bentuk perlawanan yang muncul terhadap gerakan feminisme adalah dengan mengemukakan alasan demi kelancaran proyek dari agenda utama program organisasi yang bersangkutan. Selanjutnya, pada periode 1985-1995, dimulailah tahapan pengenalan dan pemahaman dasar tentang apa yang dimaksud dengan analisis gender dan mengapa gender menjadi masalah pembangunan. Pada tahap kedua ini, kegiatan pelatihan yang bertujuan membangkitkan kepekaan terhadap isu gender meningkat. Pelatihan ini membantu menjelaskan pengertian dan isu gender sebenarnya. Berbagai LSM mulai menggunakan analisis gender dalam mengembangkan program-programnya. Dan yang terakhir 1995 hingga saat ini. Untuk mempertahankan apa yang telah dibangun pada dua tahapan sebelumnya, maka pada tahapan ini diterapkan dua strategi, yakni mengintegrasikan gender ke dalam seluruh kebijakan dan program berbagai organisasi dan lembaga pendidikan dan strategi advokasi. Untuk strategi pertama, diperlukan suatu tindakan yang diarahkan menuju terciptanya kebijakan manajemen dan keorganisasian yang memiliki perspektif gender bagi setiap organisasi. Sementara untuk strategi yang kedua, diperlukan suatu pengkajian terhadap letak akar persoalan ketidakadilan gender di negara dan masyarakat. Gerakan feminisme di Indonesia adalah gerakan transformasi perempuan untuk menciptakan hubungan antar sesama manusia yang secara fundamental baru, lebih baik, dan lebih adil. Gerakan feminisme bukanlah gerakan yang untuk menyerang laki-laki tetapi merupakan gerakan perlawanan terhadap sistem yang tidak adil dari sistem patriarki. Hematnya, gerakan perempuan merupakan gerakan tranformasi sosial yang bersifat luas, yang merupakan proses penghapusan atau penyingkiran segala bentuk ketidakadilan, penindasan, dominasi, dan diskriminasi dalam sistem yang berlaku di masyarakat.

Flavia M Yunazar 2101718961