Angka kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan meningkat setiap tahun. Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa pada 2017, terdapat 348.446 jumlah pelapor yang terekam dalam daftar. Komnas Perempuan mengatakan tren kekerasan terhadap perempuan pada 2017 itu melonjak tajam dari tahun sebelumnya yang hanya 259.150 kasus. Meski korban makin banyak yang mengadu, tak sedikit pula yang masih memilih bungkam untuk menutupi kasusnya. Azriana mengatakan rata-rata korban merasa tertekan bila harus menguak identitasnya sebagai korban pelecehan seksual. Ada beberapa faktor yang melekat. Salah satunya adalah ketakutan dilaporkan balik oleh pelaku dengan dalih pencemaran nama baik.

 

 

Berbicara mengenai kekearasan fisik maupun non fisik, khususnya kekerasan terhadap perempuan sejatinya berbincang tentang relasi sosial dalam rentang panjang sejarah umat manusia. Kekerasan terhadap kaum perempuan menampakkan diri dalam beragam bentuk, timbul dari ranah sosial, keberagaman budaya, faktor ekonomi, politik. terjadinya paradoks berupa kekerasan terhadap kaum perempuan sering kali menimbulkan Gerakan Feminisme yang tidak saja mencoba untuk menyuarkan sura dari kaum perempuan, namun juga untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan, berusaha juga untuk merekonstruksi peran dan fungsi perempuan demi tercapainya nilai-nilai sosial yang ideal bagi ide kesetaraan dan keadilan. Setidaknya tidak harus ada Gerakan Feminisme yang mengarah kearah ekstrimis, karena bagaimanapun jug Gerakan Feminisme merupakan gerakan transformasi bagi kaum perempuan yang bertujuan untuk menciptakan telasi kaum laki-laki dan juga kaum perempuan ke arah yang lebih baik

Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan  berdasarkan perbedaan kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi, maka kekerasan terhadap perempuan dapat digolongkan ke dalam beberapa bentuk, yaitu kekerasan fisik, seksual, psikologis, ekonomi dan perampasan kemerdekaan. Yang dimaksud dengan kekerasan-kekerasan tersebut adalah sebagai berikut:

 

  1. Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabkan  rasa sakit, cedera, luka atau cacat pada tubuh seseorang dan atau menyebabkan kematian.

 

  1. Kekerasan seksual adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup  pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau di saat korban tidak menghendaki; dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara tidak wajar atau tidak disukai korban, dan atau menjauhkan (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya.

 

  1. Kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan dan ucapan  yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya pada seseorang.

 

  1. Kekerasan ekonomi adalah tiap-tiap perbuatan yang membatasi seseorang untuk bekerja di dalam dan di luar rumah yang menghasilkan uang dan barang, membiarkan korban bekerja untuk dieksploitasi dan menelantarkan anggota keluarga.

 

  1. Perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang adalah  semua perbuatan yang menyebabkan terisolirnya seseorang dari lingkungan sosialnya.

 

Menurut Mansoer Fakih kekerasan terhadap perempuan antara lain pemerkosaan, pelecehan seksual, kekerasan fisik dan juga menyerang psikis sang korban. Feminis mengklasifikasikan kekerasan dalam rumah tangga pada empat kategori yang pertama; adalah tindakan fisik dan psikis, yang kedua; Pemaksaan terhadap pasangan (istri) yang tidak mau atau bahkan jarang ingin melakukan hubungan, yang biasa diistilahkan dengan sexual abuse, yang ketiga; melarang pasangan untuk melakukan silaturahmi dengan teman-temannya, keluarganya dan tidak mengizinkan untuk aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Ini dikenal dengan social abuse, yang Keempat dan terakhir adalah; membatasi dan mengontrol keuangan atau belanja isteri, yang distilahkan economic abuse.

 

Angka-angka kekerasan terhadap kaum perempuan, dan juga kekerasan terhadap anak, sudah bisa dikatakan tinggi, dan cenderung meningkat setiap tahun. Namun Indraswari, Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan, mensinyalir bawa angka-angka ini hanya merupakan puncak gunung es. Kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT) merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang insidennya paling tinggi, dan dapat berbentuk fisik, psikis maupun ekonomi. Di dalam kategori kekerasan seksual, yang paling banyak adalah perkosaan, termasuk perkosaan di dalam perkawinan, yang sejak 2004 diakui di dalam pasal 8a UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKKDRT no. 23/2004). Meski jelas adanya UU KPKDRT no. 23/2004 merupakan kemajuan besar, namun penerapannya masih menemui banyak tantangan. Ini karena faktor kultural dan struktural yang begitu kokoh, saling melengkapi dan merasuk di dalam sanubari masyarakat Indonesia, baik secara individual maupun institusional. Pada tahun 2011 ia mengatakan bahwa perempuan sejatinya tidak mengenakan rok mini jika naik angkot, karena hal ini akan menarik perhatian yang berlebih dari sopir maupun penumpang laki-laki, bukan saja hanya menarik perhatian namun juga dapat membuat para kaum laki-laki yang melihat dapat berpikiran jahat apalagi jika mereka memiliki semacam kebiasaan buruk. Kekerasan terhadap kaum perempuan tentunya terjadi pula di berbagai sektor ranah publik. Mulai dari pelecehan seksual di tempat-tempat umum (jalan raya, kendaraan umum), kegiatan mengemis, prostitusi, buruh jermal dan perkebunan, di pabrik-pabrik maupun di kantor-kantor, dalam kasus lingkungan hidup (seperti misalnya PT Pabrik Semen versus petani pegunungan Kendeng yang mayoritas perempuan) dan tentunya yang Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang selalu menjadi sorotan. Isu TKW ini sangat pelik karena merupakan titik temu antara ranah domestik dan ranah publik yang menjangkau bukan hanya lembaga negara, melainkan juga hubungan internasional. Seorang TKW sering terjepit antara hukum negara pengirim (Indonesia), dan negara penerima di luar negeri. Kedua-duanya eksploitatif, bukan hanya untuk uang, tapi juga untuk kepentingan politik.

 

 

Pada tahun 2016 ada data yang menyatakan bahwa setiap tahunnya tidak kurang dari 340 ribu perempuan Indonesia menikah di usia di bawah 16 tahun. Secara statistik jumlah itu setara dengan 46 persen dari total jumlah perkawinan di Indonesia. Sulawesi Barat dan Kalimantan Selatan merupakan dua provinsi yang menyumbang persentase perkawinan usia anak paling tinggi. Dua provinsi itu menyumbang masing-masing 34% da 33%. Sementara, dua provinsi dengan angka pernikahan anak paling rendah adalah Aceh dan Kepulauan Riau dengan persentase masing-masing 11% dan 12%. Namun harus diakui bahwa angka dan statistik itu boleh jadi tidak valid dan tidak merepresentasikan kondisi sesungguhnya. Lantaran, di lapangan banyak kasus kawin anak yang tidak didaftarkan secara resmi sehingga sedikit sulit untuk diidentifikasi.  Fenomena kawin anak yang seringkali terjadi di masyarakat kita tentu saja menyangkut dengan problem sosial. Salah satu yang paling umum ialah faktor kemiskinan. Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan data-data dan fakta bahwa wilayah-wilayah yang selama ini identik sebagai kantung kemiskinan adalah wilayah yang menyumbang angka kawin usia anak relatif tertinggi. Seiring berjalannya waktu dimana pemikiran masyarakat yang berkembang di kalangan masyarakat bawah dengan latar belakang pendidikan rendah dan ekonomi lemah, menikahkan anak pada usia anak adalah solusi melepaskan diri dari jerat kemiskinan. Namun, dengan berkembangnya zaman dan semakin majunya era teknologi di zaman millennial ini, fenomena kawin anak nyatanya tidak hanya mengecambah di kalangan masyarakat bawah. Hari ini, kawin pada usia muda dan anak juga merambah di kalangan masyarakat kelas menengah perkotaan. Di kalangan masyarakat kelas menengah perkotaan fenomena kawin usia anak lebih sering merupakan ekses negatif dari pergaulan bebas. Banyak orangtua memutuskan menikahkan anak pada usia yang cukup muda agar tidak terjebak pada perilaku seks menyimpang, misalnya terjadi kehamilan di luar nikah, seperti yang sering terjadi dikota-kota metropolitan dimana pergaulan bebas memiliki resiko yang tinggi untuk kehamilan diluar nikah. Keyakinan bahwa nikah di usia belia adalah solusi menghindarkan diri dari pergaulan bebas bahkan disuarakan oleh sejumlah masyarkat di Indonesia. Hingga muncul beberapa gerakan-gerakan yang tercipta dikalangan masyarkat untuk mencegah terjadinya pergaulan bebas, bahkan aparat penegak hukum di Indonesia seperti contoh Polisi, sering kali melakukan penyuluhan-penyuluhan untuk menghindarkan diri dari jahatnya pergaulan bebas. Keyakinan bahwa kawin usia anak merupakan salah satu pemikiran untuk menyelesaikan problem sosial mulai dari kemiskinan hingga problem moralitas agaknya perlu dikoreksi. Pada kenyataannya, kawin usia anak justru potensial melahirkan sejumlah simpul persoalan baru.

 

Argumen nikah usia anak mampu membebaskan keluarga dari kondisi kemiskinan terbantahkan oleh temuan BPS(Badan Pusat Statistik) yang mendapatkan data bahwa hampir 90% pasangan kawin usia anak terpaksa tidak melanjutkan pendidikan. Ini artinya, mereka melepaskan kesempatan untuk mendapat ilmu dan pengetahuan demi meraih masa depan. Dengan adanya data tersebut pula, sebagian besar pasangan nikah usia anak umumnya bekerja di sektor informal dan hidup dengan upah minimum yang tidak mencukupi untuk sekadar hidup layak, seperti contoh menjadi kuli bangunan, mekanik, dan lain sebagainya Selain simpul kemiskinan baru, fenomena kawin usia anak juga berpotensi menambah banyak jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga. Usia remaja, dalam banyak literatur psikologi, sering diidentikkan sebagai masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Masa-masa ini umumnya ditandai dengan kondisi psikologis dan emosional yang labil. Padahal, menikah adalah sebuah fase penting dalam kehidupan yang membutuhkan kesiapan, baik finansial juga mental-emosional. Ketidaksiapan anak secara psikologis dalam menjalani kehidupan rumah tangga berpotensi memunculkan konflik, bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Jika itu terjadi, pihak pertama yang paling mungkin menjadi korban adalah perempuan. Tidak dapat diragukan lagi bahwa fenomena kawin usia anak muncul karena akumulasi berbagai sengkarut persoalan. Mulai dari persoalan ekonomi, moralitas, hingga pemahaman atas ajaran agama. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang memadukan langkah yuridis dan sosiologis untuk meminimalisasi praktik kawin usia anak. Tidak kalah penting dari itu, diperlukan sebuah gerakan yang mampu membangun kepedulian (awareness) publik terhadap dampak buruk kawin usia anak. Gerakan ini penting mengingat sebagian besar masyarakat kadung adaptif pada praktik kawin usia anak. seperti contoh kasus kematian kepada seorang korban perempuan berusia 16 tahun di Indramayu di tangan suaminya sendiri, idealnya bisa menjadi momentum pembelajaran dan penyadaran publik. Bahwa, menikah membutuhkan setidaknya tiga hal penting, yakni kematangan organ reproduksi, kesiapan materi dan finansial, serta kestabilan emosi dan psikologis.

 

Dalam pengertian tentang kasus kekerasan terhadap kaum perempuan  ini kita dapat belajar bahwa kaum perempuan lah yang lebih sering menjadi sasaran untuk melanggar norma-norma sosial, dimana harusnya perempuan adalah salah satu manusia yang patut dihargai dan dihormati. Dengan seringnya terjadi kasus kekerasan terhadap kaum perempuan ini, yang menjadikan kaum perempuan sebagai mayoritas korbannya namun peneggakan hukum di Indonesia masih dianggap berat sebelah jika menyangkut hal ini, dapat dibuktikan dengan kasus yang baru-baru ini tengah viral dikalangan masyarakat. Baiq Nuril, adalah seorang perempuan yang menjadi telah divonis Oleh Mahkamah Agung, Baiq Nuril dinilai melanggar pasal 27 ayat 1 UU ITE dan sebabnya divonis hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp. 500 juta subsider 3 bulan hukuman kurungan. Terpidana kini sedang mengajukan peninjauan kembali atas putusan tersebut.  Baiq Nuril adalah seorang guru yang sering ditelepon oleh kepala sekolah di tempat mereka bekerja di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam percakapan telepon berulangkali kepala sekolah mengungkapkan pelecehan seksual yang akhirnya direkam oleh Nuril karena Nuril merasa tidak nyaman dan tidak suka dilecehkan secara seksual, meski lewan telepon. Transkrip rekaman itu disebarkan oleh kolega Nuril. Akhirnya tahun 2017, Nuril dilaporkan ke polisi dan dijerat hukum. Dari kasus ini kita dapat melihat dimana seorang korban yang merasa dilecehkan memiliki keinginan untuk mendapatkan keadilan sebagai mana mestinya seorang korban, pada kasus ini sang korban mendapatkan kekerasan non-fisik. Jika kita bicara hukum tidak bisa kita hanya bertumpu pada hukum. Namun juga pada budaya. Para penegak hukum harusnya mengedepankan rasa empatinya, jangan hanya tunduk pada kelompok-kelompok intoleran yang merugikan perempuan.

 

Undang-undang ITE ini jelas gender blind. Dan undang-undang ITE ini yang sering digunakan untuk kasus-kasus seperti yang dialami Baiq Nuril. Dalam  kasus Baiq Nuril ini, hakim melakukan diskriminasi yang luar biasa terhadap korban pelecehan seksual. Seharusnya dia seharusnya ditempatkan sebagai korban yang harus dilindungi. Relasi hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak setara itu seharusnya dipertimbangkan oleh hakim dalam memutus sebuah perkara. Banyak putusan pengadilan yang diskriminatif pada perempuan. Beleh dibilang hampir semua kasus yang bersifat kekerasan pada perempuan tidak berpihak pada perempuan sebagai korban. Misalnya dalam kasus yang menimpa korban pemerkosaan di Jambi. Hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian menjatuhkan hukuman enam bulan penjara kepada gadis berusia 15 tahun itu karena menggugurkan kandungan hasil perkosaan oleh kakak kandungnya sendiri. Di Indonesia sendiri sebenarnya belum ada aturan khusus tentang pelecehan seksual. Yang ada cuma di ranah perusahaan, karena ada undang-undang ketenagakerjaan. Di luar itu, jika ada yang mengalami pelecehan seksual, maka yang dipakai dalam penal law hanya undang-undang susila yang mensyarakatkan hanya sentuhan fisik dan dampak yang dirasakan secara langsung. Sementara misalnya untuk kasus Nuril, tidak bisa pelaku dijerat pasal itu karena tidak ada aturan menghukum kekerasan seksual secara verbal, misalnya lewat telepon seperti yang dialami Nuril. Oleh karena itulah mungkin saya yang juga sebagai kaum perempuan sangat berharap dan memohon kepada Pemerintah Pusat Negara Indonesia ini untuk mengkaji ulang tentang kasus-kasus kekerasan yang seringkali terjadi di negeri kita ini, khususnya perlindungan kepada kaum perempuan yang sering kali dirugikan dengan adanya kasus-kasus kekerasan terhadap mereka namun pada akhirnya mereka juga lah yang harus menanggung akibatnya sendiri, sedangkan harusnya Negara kita berdiri pada ideologi pancasila dimana pada sila ke-5 menggunakan kata-kata Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dimana pemerintah harus benar-benar memberikan keadilan yang rata dan setara.

Gabriella Felicita Putri Kurniadi – 2101697345