(Sumber: www.nytimes.com)

Saat ini, kita hidup di dunia yang disekelilingi oleh teknologi. Kehidupan sehari-hari umat manusia kini sangatlah dipermudah dengan hadirnya teknologi-teknologi canggih yang dapat mengantar informasi secepat kilat dalam hitungan detik. Berbagai macam aplikasi media sosial dapat diakses oleh siapapun hanya dengan bermodalkan smartphone dan koneksi internet. Bahkan kini sudah tidak jarang kita menjumpai anak-anak berusia dini yang berkutat dengan tablet atau smartphone dan mengakses konten-konten dunia maya.

 

Dari banyaknya ragam platform media sosial, sebagian besar masyarakat dunia tentunya memiliki setidaknya satu akun media sosial. Baik itu dengan tujuan hanya untuk sekedar mengikuti perkembangan jaman, menjaga tali hubungan dengan kerabat, berbagi dan menerima informasi, dan lain-lain. Namun, seperti halnya segala yang ada di dunia ini, tentu saja kemajuan teknologi memiliki dampak positif dan negatif.

 

Cepatnya penyebaran informasi sangat membantu kita dalam mengikuti perkembangan dunia. Informasi mengenai kejadian yang terjadi di ujung dunia pun dapat kita ketahui dalam hitungan detik. Tak hanya itu, banyak teknologi-teknologi dalam berbagai macam bentuk yang sangat mempermudah kegiatan kita sehari-hari. Kini, banyak orang-orang yang memanfaatkan platform media sosialnya untuk menjadi “social influencer”. Para “social influencer” ini kerap dilihat aktif dalam menyuarakan dampak-dampak buruk dari kemajuan media sosial. Salah satu dampak negatif yang kini marak hadir dalam media sosial adalah body shaming.

 

Online Media dan Cyber Bullying

Body shaming merupakan salah satu bentuk dari bullying. Body shaming adalah penghinaan terhadap keadaan fisik seseorang seperti mengejek atas warna kulit, rambut, bentuk tubuh, bentuk wajah, dan sebagainya. Sering kali dapat kita jumpai body shaming pada kolom komentar di platform media sosial. Siapapun dapat menjadi target dari body shaming. Baik selebriti, maupun masyarakat biasa, orang dewasa, maupun anak-anak. Para pelaku body shaming sepertinya kurang sadar akan dampak yang dapat mereka sebabkan atas kelalaian mereka dalam menggunakan platform media sosialnya. Mereka tidak menyadari apa resiko dari ucapan negatif yang mereka lontarkan tersebut.

 

Saat ini telah tercatat banyak sekali kasus bunuh diri yang disebabkan oleh cyber bullying, terutama body shaming. Para korban dari body shaming kerap merasa minder, malu, merasa tidak cukup, depresi, memiliki hasrat untuk menyakii diri sendiri, dan bahkan hingga bunuh diri.

 

Jeratan UU ITE

Aksi body shaming kini dapat dipidanakan. Aksi tersebut dikategorikan menjadi dua tindakan, yang pertama yakni tindakan dimana seseorang mentransmisikan narasi berupa hinaan, ejekan terhadap bentuk, wajah, warna kulit, postur seseorang menggunakan media sosial dikategorikan masuk UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) Pasal 45 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 3, yang mana dapat diancam hukuman pidana 6 tahun. UU ITE Pasal 27 ayat 3 berbunyi,

 

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

 

Dan kategori kedua yakni melakukan body shaming tersebut secara verbal, langsung ditujukan kepada seseorang, dikenakan Pasal 310 KUHP dengan ancaman hukuman 9 bulan. Kemudian, body shaming yang langsung ditujukan kepada korban dilakukan secara tertulis dalam bentuk narasi, melalui transmisi di media sosial, dikenakan Pasal 311 KUHP dengan hukuman 4 tahun.

 

Tak hanya body shaming, UU ITE juga mencakup kategori-kategori komentar lain yakni,

  • Komentar Mengancam

Untuk kasus komentar bernada ancaman atau menakut-nakuti pihak lain dapat dikenakan Pasal 45B dengan hukuman pidana penjara maksimal empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.

  • Berita Hoax

Untuk kasus hoaks atau berita bohong dan menyesatkan sehingga merugikan pihak lain dapat dikenakan Pasal 45A ayat (1) dengan ancaman pidana penjara maksimal enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Salah satu contoh kasus berita hoax yang baru saja marak menjadi perbincangan adalah kasus Ratna Sarumpaet yang menggunakan operasi plastik guna dugaan hoax politik.

  • Komentar SARA

pada kasus yang menimbulkan rasa benci atau permusuhan berdasarkan SARA juga dapat dikenakan Pasal 45A ayat (2) dengan ancaman pidana penjara maksimal enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Salah satu contoh kasus komentar SARA yang baru saja marak menjadi perbincangan adalaha kasus Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok dengan pidatonya yang dianggap sebagai penistaan agama pada September 2016 silam.

 

Social Media Influencer dan Body Shaming

Maraknnya berita terkait hukuman pidana terhadap aksi body shaming turut di semaraki oleh para social media influencers seperti Tasya Farasya, Sarah Ayu, Jovi Adhiguna, dan masih banyakk lagi. Sarah Ayu, wanita belia cantik blasteran itu juga menunjukan lontaran-lontaran body shaming yang kerap ia jumpai di kolom komentar akun Instagramnya. Dengan hadirnya jeratan undang-undang terhadap cyber bullying,

 

Sarah Ayu beserta sederet selebriti dan social media influencers lainnya dengan semangat menyemarakkan berita ini. Mereka mengunggah jeratan-jeratan tersebut pada akun instagramnya dan mengingatkan netizen untuk lebih waspada. Mereka juga turut berharap semoga dengan adanya jeratan undang-undang terhadap body shaming dan cyber bullying, masyarakat akan menjadi lebih berhati-hati dan bijaksana dalam menggunakan platform media sosialnya dalam mengutarakan komentar baik secara sengaja ataupun tidak, body shaming dan cyber bullying memiliki dampak buruk yang sangat besar bagi korbannya.

Siti Dashira Azuri Farid – 2101654844