Tidak semua orang lahir dalam berkelebihan dan keberuntungan, tetapi semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk bahagia. Pernyataan tersebut menggambarkan ungkapan keadaan anak-anak yang ada di Entikong daerah perbatasan Indonesia  dan Malaysia. Hidup di sebuah daerah yang masih jauh dari hiruk pikuk perkotaan  dan masih terasa suasana perdesaan dengan alam yang melekat dengan mereka. Menjadi warga negara yang tinggal di ujung garis negeri bukanlah menjadi sebuah perkara yang mudah. Apalagi di tengah daerah perbatasan Indonesia yang kebanyakan masih tertinggal, berbanding terbalik dengan daerah perbatasan negara tetangga yang sudah  lebih jauh maju.

Tentu sudah menjadi hal yang mungkin bagi sebagian orang, bahwa pola kehidupan masyarakat yang ada di daerah perbatasan hidup seperti pada dua zona wilayah kenegaraan, mulai dari bahasa yang digunakan untuk berinteraksi adalah bahasa Indonesia dan Melayu bahkan ada juga yang tidak mengenal bahasa Indonesia . Jauh sebelum dulu di perhatikan oleh pemerintahan yang sekarang, untuk bertahan hidup banyak masyarakat yang ada disana justru pergi ke negeri tetangga untuk mencari kerja untuk mengubah nasib, mengenal dua mata uang negara juga mereka tahu karena sebelum seperti sekarang, masyarakat disana melakukan perdagangan ekonomi jual beli dari luar negeri dan dalam negeri masih dengan sangat bebas, sebelum seperti sekarang ini sudah mulai ada peraturan dan keamanan yang ketat.

Anak Entikong

Hidup dengan keterbatasan yang ada tentu bukanlah menjadi suatu penghalang bagi masyarakat yang ada di daerah perbatasan Entikong Indonesia-Malaysia, faktor utama yang menjadi fokus perhatian saya adalah salah satunya untuk anak-anak yang ada disana, untuk bagaimana melihat keadaan realita hidup dengan lingkungan mereka. Anak-anak merupakan generasi penerus bangsa, dimana akan lahir generasi yang akan membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik. Sebagai anak bangsa sudah seharusnya kita perlu untuk peduli akan bagaimana kondisi saudara kita yang mungkin dapat di katakan hidup dengan keadaan situasi yang jauh berbeda dengan kita.

Kunci utama keberhasilan sebuah negara, ada pada Sumber Daya Manusia nya,  lewat pendidikan menjadi salah satu pengaruh besar yang menjadikan individu yang berkualitas. Untuk dapat meraih cita-cita yang tinggi, siapapun itu harus menempuh dengan pendidikan setinggi mungkin. Begitu juga sama halnya dengan anak-anak yang ada di daerah perbatasan, yang saya jumpai mereka memiliki sebuah cita-cita menjadikan mereka ingin meraih masa depan, dengan tetap semangat untuk mendapat ilmu yang nantinya mengantarkan mereka meraih kehidupan yang baru, yang tentunya juga harapan dari orang tua mereka, yang menginginkan anak-anaknya punya masa depan yang tentu lebih baik dari mereka.

Pada tanggal 22 Oktober 2018 lalu saya berkesempatan tergabung sebagai relawan dalam kegiatan 1000 Guru yang berfokus terhadap dunia pendidikan anak-anak Indonesia, yang selalu melakukan kegiatan  yang dinamakan Traveling and Teaching, kegiatan tersebut berarti kita tidak hanya mengeksplore suatu daerah tersebut, namun juga sekalian bisa melakukan kegiatan sosial lewat bidang pendidikan serta kita bisa memberi inspirasi, motifasi, dan suatu pemberian bagi anak-anak di daerah yang betul-betul membutuhkan. Dimana saat ini 1000 Guru juga telah tersebar di seluruh wilayah provinsi yang ada di Indonesia, untuk dapat fokus memperhatikan dalam dunia pendidikan anak-anak Indonesia.

Saya pribadi menyukai kegiatan seperti ini, dan memilih aktif sebagai relawan untuk meluangkan waktu saya dengan lebih positif, melakukan berbagai hal yang mungkin sedikit, namun memiliki nilai besar untuk anak-anak yang ada di daerah-daerah terpencil. Ini menjadi kali kedua bagi saya mengikuti kegiatan yang diadakan oleh 1000 Guru, dengan mengunjungi salah satu sekolah yang ada di Entikong, sebuah nama daerah yang ada di perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Tentunya merupakan menjadi cerita pengalaman pertama saya menginjakan kaki di tanah bumi Borneo. Kali ini Sekolah yang akan didatangi adalah SDN 10 Ngira Entikong Pontianak Kalimantan Barat. Butuh waktu empat jam dari Pontianak untuk tiba di Entikong, lalu harus masuk lagi sekitar dua jam kedalam desa kampung Ngira daerah yang tentu masih dalam pengembangan, membuat infastruktur jalan yang ditempuh tentunya tidak mudah, beberapa panjang kilometer yang masih belum sempurna saya lewati untuk tiba di sekolah tersebut untuk bertemu anak-anak yang ada di perbatasan.

Melewati jalanan yang belum ada pemerataan ini sungguh menantang saya, dengan cuaca saat itu hujan serta jalanan berlobang yang ditutupi lumpur yang tebal, semakin menjadikan perjalanan saya dan teman-teman relawan lainnya semakin terasa berwarna, tentunya buat saya kondisi seperti ini bukan hal yang baru saya rasakan, tetapi sebagian besar teman-teman relawan masih belum biasa dengan jalanan yang begitu cukup memacu adrenalin kami. Keadaan yang saya lihat memang kondisi di dalam daerah perbatasan saat ini masih ada yang belum tersentuh pembangunan, beberapa titik jalan masih belum memadai, hanya terpenuhi dengan seadanya saja, dari beberapa jalanan yang ada di bila tidak memungkinkan masih sangat sulit untuk ditembus dengan kendaraan besar seperti mobil, harus dengan motor atau jalan kaki. Hal inilah yang menjadi permasalahan yang masih saat ini mereka hadapi. Kembali seperti di awal, karena kecintaan saya terhadap dunia pendidikan dan sosial membuat saya untuk terus bersemangat apapun keadaan kondisinya, bagaimana bisa menembus jalan walau terasa berat tetap saya jalani, untuk dapat melihat secara langsung keadaan mereka secara lebih dekat, tentunya yang menggugah mata saya untuk lebih terbuka lagi.

Dalam Bahasa Melayu, Awak Datang Kamek Sambot, yang artinya Kalian Datang Kami Sambut, Setibanya disekolah tersebut, saya dan teman relawan disambut dengan keceriaan serta senyum mereka yang membuat lelah dari perjalanan yang jauh jadi kembali bersemangat, ada juga bapak dan ibu guru yang ikut menyambut kami.  Seperti mendapat suntikan energi positif dari mereka, dengan ketulusan hati yang benar-benar saya rasakan. Kami disambut dari anak-anak  yang sudah siap berbaris di depan halaman sekolahan sambil menyanyikan lagu-lagu nasional.  Setelah itu saat teman relawan yang lain memperkenalkan diri kepada mereka, ada satu siswa yang saya ajak untuk berkenalan dan cerita singkat, namanya Heru siswa kelas lima di SDN 10 Ngira, saat saya bertanya “Heru rumahnya jauh ngga dari sekolah? terus biasa diantar siapa kalo ke sekolah?” dengan wajah polosnya jawaban Heru “Rumah saya jauh kak, kalau ke sekolah saya biasa jalan kaki sama teman, orang tua tidak punya kendaraan” jawaban Heru membuat saya terharu sebagai yang mendengarnya, betapa begitu semangatnya untuk bersekolah walau harus berjalan kaki, berbeda dengan yang anak-anak yang mungkin bisa bersekolah dengan mudah namun terkadang tidak memaksimalkan diri.

Fakta secara kasat mata yang saya lihat, memang masih banyak yang masih perlu dibenahi oleh pemerintah setempat, salah satunya juga keadaan bangunan sekolah yang begitu sederhana, sebagian kelas, masih ada yang berlantaikan papan, serta sarana prasarana sekolah untuk mendukung siswa siswi dalam belajar yang memang sangat terbatas, terlihat belum sempurna untuk mendukung mereka dalam proses kegiatan belajar mengajar dengan baik.

Pak Narom (26) merupakan salah satu guru honor yang ditugaskan mengajar di sekolah tersebut, kami berbincang banyak tentang keadaan warga setempat dan kekurangan serta kebutuhan apa yang diperlukan pada sekolahan yang ada di sana “Yang masih kurang di sekolahan sini banyak dek, paling mendasar adalah perlengkapan, karena banyak materi pendukung perlu alat peraga cuma sulit tidak ada, dan buku paket juga, terus juga tenaga pengajar” ucapnya. Pastinya bahwa sebagai guru tentu ingin juga memberikan yang terbaik bagi keberlangsungan pendidikan, cuman memang benar keterbatasan tenaga pendidik menjadi fokus di Entikong.

Namun melihat jauh dari pada itu, kegigihan mereka untuk bisa dapat terus bersekolah sangat saya rasakan, saya dan tiga teman relawan mendapat bagian masuk di kelas lima dan enam, saat bersama mereka didalam kelas interaksi dengan mereka begitu sangat erat, mereka begitu antusias untuk mendengar dan memperhatikan saat saya dan teman-teman relawan memberi materi di depan, yang awalnya malu-malu, perlahan mereka semakin lama tidak canggung lagi dengan kami, mereka sangat aktif serta mencatat di buku mereka mengenai materi yang saya bagikan dengan teman-teman relawan kebetulan materi yang kami bagikan mengenai tentang Tata Surya dan Pengenalan Profesi. Di 1000 Guru materi yang di sampaikan tidak semua sama, tergantung sesuai kelasnya. Bagi saya mengajar memang bukan pekerjaan yang mudah, kita harus terus mengapresiasi terhadap guru, maupun tenaga pendidik dalam bentuk apapun, karena begitu besar manfaat dan pengorbanan jasa yang diberikan untuk anak Indonesia.

Ada hal menarik disini, begitu memberi materi ada beberapa hal yang sepertinya dapat membuat perasaan ini seperti sedih, beberapa hal contohnya, mereka tidak mengenal beberapa profesi, apa itu Arsitek, Pilot,ndan Seniman, sebagian besar dari mereka saat saya bertanya “Jika besar nanti ingin bercita-cita jadi apa?” mereka hanya menyebutkan ada yang ingin menjadi bercita-cita Petani sama seperti orang tua, Guru, dan Polisi, ada juga yang saat ditanya menjawab, “Tidak punya uang kak, bagaimana caranya?” yang menjadi permasalahannya bukan dari apa yang mereka jawab, tetapi kurangnya pengetahuan akan wawasan mereka untuk mengenal jenis profesi yang lainnya. Dan rasa tidak percaya diri mereka untuk bermimpi besar, Padahal mereka punya potensi yang sama seperti anak-anak yang ada didaerah perkotaan lainnya.

 

Ekonomi

Tidak hanya itu keadaan faktor ekonomi juga ikut menentukan untuk mendukung dalam pendidikan, bagi mereka untuk memiliki tas dan sepatu sekolah yang sudah tidak layak digunakan masih mereka kenakan, karena tidak mampu untuk membeli yang baru, ada juga yang hanya beralaskan sandal, atau bahkan tidak pakai sepatu ataupun sandal. Buku yang digunakan juga cuma seadanya, Memang Rata-rata penghasilan orang tua mereka juga tidak menentu. “Karena mata pencaharian rata-rata penduduk disini tuh profesinya ada seorang petani, ada juga buruh bangunan, pekerja kelapa sawit dan peternak, yang membuat keadaan mereka warga disini juga terbatas, bahkan ada juga yang putus sekolah karena lebih memilih bekerja membantu orang tua dari pada sekolah” ucap Pak Narom sebelumnya.

 

Teknologi

Peran teknologi juga sangat memberi pengaruh besar, karena sulitnya jaringan internet yang ada di daerah tersebut menjadikan sulitnya mereka juga untuk tahu tentang hal-hal baru yang ada diluar sana. Kalau lagi susah sinyal mereka harus pergi jauh, mencari di tempat keramaian, sehingga mungkin ada yang jarang bahkan tidak tersentuh oleh mereka apa itu gadget. Anak-anak di perbatasan sebagian besar dari mereka tumbuh kembang selayaknya perkembangan usia mereka, permainan mereka hanya seadanya, walaupun mereka tetap terlihat menikmati dengan apa yang ada, namun saya berharap besar kedepan akan ada pusat jaringan yang masuk didaerah mereka agar mereka tidak jauh tertinggal lagi.

 

Sebelum meninggalkan mereka, saya dan teman-teman relawan, membagikan potongan kertas kecil yang berbentuk daun, yang nanti bertuliskan harapan mereka, cita-cita mereka, yang dinamakan Pohon Harapan, yang ditempel pada dinding kelas yang tujuannya agar mereka terus mengingat apa yang mereka tuliskan itu menjadi motifasi untuk terus meraih mimpi mereka. Pohon Harapan ini nantinya akan tertempel oleh pihak sekolah agar tetap bertahan sampai mereka lulus dari bangku Sekolah Dasar ini. Saat saya melihat mereka menempelkan impian mereka di Pohon Harapan tersebut, seorang anak bernama Hendri menuliskan impian nya untuk menjadi Bupati, lantas ada hal menarik disini saya terkejut karena sebelumnya saya bertanya dan dia menjawab tidak punya cita-cita, setelah mendengar motifasi dari saya dan teman-teman relawan, anak tersebut sudah seperti memiliki perubahan  harapan dan gambaran untuk dirinya di masa akan datang.Anak-anak Entikong

Tidak hanya itu saya dan teman-teman relawan juga membagikan tas sekolah baru untuk mereka pakai, biar mereka semakin bersemangat untuk pergi ke sekolah, serta bingkisan kecil untuk mereka yang sudah kami isi sebelumnya di tas. Betapa bahagia bisa melihat hal yang mungkin nilai nya sederhana namun lewat kita bisa berdampak besar untuk orang lain, begitu senang raut wajah mereka saat dapat tas baru, alat tulis, dan bingkisan snack yang mungkin mereka tidak pernah rasakan di desa mereka.

Pesan yang saya bagikan untuk mereka saat sebelum kembali pulang adalah “Keterbatasan bukan sebagai penghalang untuk adik-adik dapat maju, dan untuk bermimpi besar, walaupun keadaan adik-adik terbatas dengan yang ada, bukan berarti tidak bisa menjadi orang sukses, harapan kalian masih ada, jika dilakukan dengan mengandalkan Tuhan, tekun belajar, berusaha serta kerja keras, pasti suatu saat kalian akan bisa menjadi orang yang lebih dari apa yang dicita-citakan, dan terus punya keinginan melanjutkan pendidikan setinggi mungkin” sambil saya melihat wajah mereka yang membuat badan saya seketika seperti merinding karena melihat tatapan wajah mereka yang mengandung makna.

Keunikan, keramahan, serta ketulusannya akan terus saya kenang. Entikong akan tersimpan di memori ingatan saya, begitu memberi kesan hangat buat saya, dan menjadi perjalanan berharga dari sebuah nilai kehidupan. Perjalanan saya bersama teman relawan 1000 Guru menelusuri Bumi Borneo telah selesai, namun pesan dan kesan yang kami tinggalkan saya yakin pasti akan teringat juga di ingatan anak-anak yang ada di SDN 10 Ngira Entikong. Bahwa masih ada sesama anak bangsa yang peduli dengan keberadaan mereka.

Ternyata benar dengan realita yang saya temui, kehidupan di daerah perbatasan masih begitu memprihatinkan. Sudah seharusnya kepedulian di mulai dari kita. Apapun bentuknya, kita juga punya hak menyuarakan hal ini, untuk dapat terdengar oleh masyarakat luas, bahkan mereka yang duduk di kursi pimpinan. Dari Entikong mewakili mereka yang ada juga jauh di daerah terpencil, yang butuh perhatian yang lebih lagi, karena mereka adalah bagian dari Indonesia. Sebagai anak muda, sudah seharusnya memiliki kepedulian untuk sesama, tidak harus dengan bentuk yang besar untuk memulainya, mencoba untuk memberi perhatian kepada orang yang ada di sekitar.

Pengalaman ini benar-benar menyentuh saya secara pribadi, tentunya membuat saya kembali belajar mengingat untuk selalu bersyukur dalam keadaan apapun, karena orang di luar sana masih banyak yang belum seberuntung kita, bahkan masih jauh dari taraf hidup yang layak dengan keadaan kita saat ini, walau dengan keterbatasan yang ada, harus untuk tetap berjuang. Jangan pernah takut untuk bermimpi, tetapi hidup untuk mewujudkan mimpimu. Cerita perjalanan menulusuri kehidupan di Entikong Pontianak, garis perbatasan Indonesia dan Malaysia.

Yosua Evan Ompusunggu (2101702061)