Indonesia dan Malaysia adalah negara serumpun yang bertetangga langsung secara darat, tepatnya di pulau Kalimantan atau Borneo. Saya adalah salah satu WNI yang tinggal tidak jauh dari daerah perbatasan ke Malaysia (terutama daerah Kuching, salah satu kota wisata dari Malaysia). Waktu perjalanan yang ditempuh ke Kuching hampir sama dengan waktu yang diperlukan oleh masyarakat kota saya, Pemangkat ke Ibukota Provinsi Kalimantan Barat yaitu Pontianak. Lama perjalanan yang diperlukan sekitar 4 jam menggunakan mobil. Oleh karena itu, tidak sedikit masyarakat yang memilih untuk berlibur, berobat hingga berbelanja ke negara tetangga. Selain jarak yang dekat, ada lagi beberapa faktor yang membuat masyarakat perbatasan jatuh cinta ke negara tetangga. Penasaran’kanapa saja faktornya? Tenang saja, kalian berada di laman yang tepat kok!

Yang akan saya bahas pertama tentunya infrastruktur yang dibangun oleh Pemerintah kedua negara. Infrastruktur di perbatasan jalur darat seringkali tidak terlalu diperhatikan karena yang lebih diperhatikan adalah jalur udara (bandara,etc). Padahal jalur darat ini juga menjadi salah satu cerminan pembangunan bangsa yang digalang oleh pemerintah. Dua jalur yang paling sering digunakan wisatawan dari Kalimantan Barat untuk akses ke Kuching atau sebaliknya adalah perbatasan Entikong dan Aruk. Kedua perbatasan ini bertahan dengan muka lama yang cenderung “tidak layak” untuk waktu yang cukup lama sampai akhirnya pemugaran digalakkan oleh Pemerintah di tahun 2014. Pemugaran ini tentunya terlambat jika dibandingkan dengan perkembangan infrastruktur yang ada di Kuching, Malaysia. Sebagai WNI yang cukup sering berpergian ke Kuching melalui jalur darat, saya bisa merasakan betul perbedaan yang ada. Bukan hanya di gerbang atau pos imigrasinya, namun juga dari permukaan dan lebar jalan yang sangat jauh berbeda.

Hal kedua yang membuat banyak masyarakat daerah perbatasan yang lebih “cinta” produk luar negeri adalah ketimpangan harga yang lumayan jauh. Sebut saja beberapa bahan makanan pokok seperti gula, minyak, hingga aneka minuman dari sari buah ataupun kopi. Hal ini saya bisa saya ceritakan karena sudah saya rasakan sendiri. Contohnya, Kopi sachet, jika di Kuching dijual dengan harga sekitar Rp 50.000,- maka ketika sudah masuk di Indonesia harganya bisa mencapai Rp 110.000,-. Lain halnya dengan minyak granola yang dikenal sehat, jika di Kuching dengan biaya Rp 75.000,- kita sudah bisa mendapatkan 1liter ditambah dengan bonus 100ml, maka di Indonesia (tepatnya Jakarta) kita hanya akan mendapatkan 100ml.

Ternyata perbedaan harga yang signifikan tidak hanya terjadi di beberapa kebutahan pokok, namun juga di dunia pengobatan. Dilansir dari MetroNews.com, biaya berobat di Malaysia bisa lebih murah 30 hingga 40 persen dibanding dengan di Indonesia. Misalnya, kemoterapi di Indonesia bisa dikenakan biaya Rp32 juta hingga Rp40 juta, belum termasuk perawatan Rumah Sakit. Sementara untuk keperluan yang sama di Malaysia hanya habis Rp25 juta, sudah termasuk paket perawatannya juga konsultasi dokter. Kesan Jajang Sumantri (Seorang warga Indonesia yang berobat ke Malaysia), para dokter di negeri Jiran itu terlihat sekali lepas dari kepentingan bisnis. Seperti dalam pemberian obat ataupun pemberian saran agar pasiennya diopname atau rawat inap. Perbedaan yang paling mencolok adalah dokter di sana mengutamakan penanganan penyakitnya, bukan langsung mematok biaya pengobatan dan perawatannya.

Semua perbedaan yang ada tentu tidak terlepas dari tingkat dan kualitas pendidikan yang dapat membentuk mindset dan pola perilaku masyarakat pada umumnya. Dengan tingkat literasi penduduk dewasa yang mencapai 94%, tidak heran jika Malaysia mampu membukukan skor 0,671 di Indeks Pendidikan UNDP. Negeri jiran itu menempati posisi 62 dalam daftar pendidikan terbaik di dunia dan ketiga di ASEAN. Sedangkan, saat ini Indonesia berada di posisi 108 di dunia dengan skor 0,603. Hanya sebanyak 44% penduduk menuntaskan pendidikan menengah. Sementara 11% murid gagal menuntaskan pendidikan alias keluar dari sekolah. Namun semua hal ini tidak bisa kita salahkan ke pemerintah. Perbedaan luas wilayah yang sangat signifikan dimana Indonesia memiliki luas sekitar  1.905 juta km² sedangkan Malaysia luasnya adalah 330,803 km² juga turut berpengaruh. Untuk perbandingannya, Luas Negara Malaysia ini hampir sama dengan Kota Ambon. Perbedaan mencolok diantara Indonesia dan Malaysia dalam hal jumlah penduduk. Berdasarkan data di tahun 2016, Penduduk Indonesia berjumlah 261,1 juta jiwa sedangkan Malaysia 31,2 juta jiwa. Jadi pemerataan pembangunan infrastruktur maupun pendidikan di Indonesia adalah PR wajib yang sangat susah dicapai pemerintah Indonesia (tapi bukan berarti mustahil ya).

Dari berbagai faktor inilah saya dapat menyimpulkan bahwa bukanlah hal yang mudah untuk menyamai perkembangan Negara lain. Ada banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari tingkat pendidikan, jumlah masyarakat (yang akan mempengaruhi ketimpangan pendapatan), pola pikir, hingga lifestyle masyarakat itu sendiri. Saya menulis ini bukan untuk membuat teman-teman yang membaca ini jadi jatuh cinta ke negeri orang. Namun saya menulis tulisan ini sambil merefleksikan diri apakah saya sudah memberikan kontribusi positif ke Indonesia (At least, dengan memberikan prestasi membanggakan atau bahkan ikut menjaga kebersihan sebagai bentuk pelestarian lingkungan). Saya juga berharap teman-teman yang membaca tulisan ini dapat merefleksikan hal yang sama, terutama untuk generasi muda, karena kitalah yang dapat membawa perubahan untuk Indonesia kedepannya.

“Tuhan tidak mengubah nasib suatu bangsa sebelum bangsa itu mengubah nasibnya sendiri”

– Bung Karno

By: Clarisa Emeralda / 2001566241